Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Kolonialisme hingga Ilusi Kemakmuran

23 Juni 2022   15:12 Diperbarui: 24 Juni 2022   10:31 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jujur, ketika hendak memilih judul, saya mengalami kesulitan luar biasa. Beragam pertanyaan muncul di kepala. Tema yang hendak saya tulis pun terasa sangat luas. Saya bingung memilahnya satu persatu agar tulisan ini bisa menjadi lebih fokus. Jangan terkecoh dengan "megahnya" judul di atas.

Jadi sekitar dua hari yang lalu, saya berangkat dari Jogja ke Semarang bersama tante untuk menziarahi kuburan ayah saya. Ini kali pertama saya menziarahi kuburan ayah sejak 5 tahun saya berpisah dengannya. Tak perlu saya mengulas kronologinya, akan menjadi tulisan yang amat panjang nantinya.

Di tengah perjalanan yang cukup panjang itu, saya tentunya banyak berbincang dengan tante saya. Mengapa di awal saya bilang kalau mencari tema dari tulisan ini menjadi amat sulit, hal itu karena perbincangan kami berjalan dari satu tema ke tema yang lain. Tetapi, ada satu segmen perbincangan yang menurut saya amat menarik.

Ketika itu kami singgah di sebuah kedai kopi untuk beristirahat. Saya menanyakan pandangan tante saya perihal kondisi penegakan hukum di negeri ini. Kan, sudah saya bilang kalau ini tema yang amat luas. Untuk memberi latar belakang, tante saya ini seorang praktisi yang memiliki pengalaman belasan tahun di bidang hak asasi manusia dan pemberdayaan masyarakat sipil.

Ketika menjawab pertanyaan saya, beliau memulainya dari kultur penegakan hukum di kalangan aparat penegak hukum itu sendiri. Selama kurang lebih satu jam tante saya bercerita dan selama itu pula pikiran saya pun bekerja untuk menghubungkan tiap pengetahuan yang tersimpan di kepala. Sampai di akhir jawaban, nada suara tante saya yang tadinya optimis perlahan menjadi pesimis.

Kesimpulan yang beliau sampaikan adalah penegakan hukum, sejauh pengalamannya ketika mendampingi para korban tak ada yang benar-benar bersih. Jual beli kasus atau komodifikasi kasus masih menjadi hal yang lumrah di kalangan aparat penegak hukum. Mungkin bagi sebagian pembaca, tidak ada yang baru dari kisah tersebut. Yaaaa memang negara ini diisi oleh para koruptor kok, kira-kira seperti itu celetukan yang mungkin akan muncul dalam hati pembaca yang budiman. Tetapi, perbincangan kami tidak berhenti disitu.

Setelah kopi habis kami pun memutuskan melanjutkan perjalanan. Di mobil, saya masih penasaran dan menggali pertanyaan lebih jauh. "Apa ada yaa negara yang benar-benar bersih dari korupsi?".. "Banyak, negara-negara eropa kan rata-rata bersih" jawabnya. "Apa mereka saat ini sejahtera hanya karena berkat rendahnya korupsi?" hening.

Saya masih belum puas, lalu bertanya bukankah negara-negara Eropa yang saat ini tergolong sebagai negara maju justru dulu awalnya mereka adalah penjajah ya? Sampai disitu, perbincangan kami terjeda. Pikirku, mungkin tante membiarkan saya berpikir sendiri setelah sejak tadi beliau terus memberikan saya jawaban.

Mungkin beberapa pembaca kebingungan, apa yang melatarbelakangi lompatan argumen saya di atas. Maksud saya, di awal saya bertanya soal adakah negara yang benar-benar bersih dari korupsi? Setelah dijawab oleh tante, saya langsung merespon kalau negara-negara Eropa justru dulunya adalah penjajah. Apa hubungannya korupsi dengan penjajah? Apa negara-negara Eropa benar-benar bersih? Pikiran itulah yang membawa saya sampai pada tulisan ini.

Eropa dan Ilusi Kemakmuran

Saya teringat pernah membaca sebuah jurnal yang ditulis oleh salah seorang sarjana di Universitas Gajah Mada yang mengutip buku Swiss dan Kolonialisme karya Andreas Zangger. Dalam buku tersebut diulas bahwa Swiss, negara yang saat ini diidam-idamkan oleh banyak warga dunia karena keindahan alamnya, tingkat kesejahteraan penduduknya dan angka korupsi yang rendah, ternyata di zaman dulu adalah salah satu negara yang ikut terlibat dalam kolonialisme di Asia dan Afrika.

Berdasarkan penelusuran Zangger, Swiss berperan dalam menyuplai tentara mulai dari VOC hingga KNIL dan ikut menyukseskan perdagangan budak di Afrika dan Karibia untuk dipekerjakan di tanah-tanah jajahan. Ketika itu Swiss benar-benar menikmati kekayaan yang mereka hisap dari negara-negara jajahan. Swiss dengan segala kemakmurannya berdiri di atas kemelaratan negara lain. Negara-negara bekas jajahan Swiss-meskipun tidak berkuasa penuh-seperti Indonesia dan Karibia kini masih menanggung sisa-sisa dari kolonialisme tersebut.

Saya mengutip Swiss sebagai contoh dalam tulisan ini karena dalam wacana mainstream, Swiss sangat jarang disebut sebagai salah satu negara yang terlibat dalam proyek besar kolonialisme eropa. Nama-nama pemain besar seperti Spanyol, Portugal, Inggris, Perancis dan Belgia saya kira tak perlu lagi diuraikan di sini. Segala kemakmuran yang mereka peroleh saat ini adalah berkat kolonialisme di masa lalu.

Lalu setelah itu poinnya apa? Tanpa bermaksud meringkas segala kepelikan akademis dan runtutan kaidah penarikan kesimpulan dalam sebuah artikel ilmiah, ya karena tulisan ini dimaksudkan untuk khalayak umum, saya bermaksud menyampaikan bahwa ada sebuah kaitan historis dan sistemik antara kesejahteraan suatu negara, rendahnya korupsi dan sebagainya dengan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tingginya angka korupsi di negara lain.

Jika mengutip Daren Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya Why Nations Fail, mereka menyebutkan bahwa tatkala para penakluk Spanyol membangun koloni di Amerika Latin, mereka membangun institusi politik yang ekstraktif dimana para elit penakluk Spanyol berada pada posisi penguasa dan para penduduk pribumi sebagai budak yang melayani kelas penguasa. Institusi ekonomi yang dibangun pun adalah institusi yang ekstraktif dimana sumber daya alam digunakan untuk kepentingan elit penguasa. Dan hampir semua negara kolonial melakukan hal tersebut.

Warisan institusi tersebutlah yang nantinya akan menentukan watak negara-negara bekas jajahan. Apakah ia akan berakhir menjadi negara yang makmur atau terjebak dalam kemiskinan.

Warisan kolonialisme Belanda tentunya memiliki pengaruh besar terhadap sendi-sendi kehidupan bernegara kita. Selain sistem hukum, sebagaimana yang dikatakan oleh Agus Rahardjo (Ketua KPK 2015-2019) bahwa korupsi adalah salah satu warisan tersebut. Bukan bermaksud mengatakan bahwa akar korupsi di Indonesia akhir pelacakannya berada pada VOC dan Belanda tetapi pola-pola yang diciptakan kolonialisme mampu menjadi ekosistem yang layak huni bagi bertumbuhnya korupsi. Dan korupsi adalah salah satu penyebab kemiskinan suatu negara.

Pasca Indonesia merdeka, kaum pribumi yang telah terbiasa korup hasil bentukan kolonialisme Belanda, terutama dari kalangan priyayi dan bangsawan meneruskan tradisi tersebut. Perkebunan-perkebunan dan tambang yang dulunya menjadi tempat eksploitasi pekerja pribumi, pasca kemerdekaan diambil alih oleh negara.

Tetapi seiring proses, sumber daya dalam jumlah besar tersebut yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat malah diambil alih oleh perusahaan-perusahaan swasta yang tak mengenal kepentingan rakyat, dan hal tersebut didukung oleh negara terutama pada zaman orde baru. Maka benarlah istilah ekonomi ekstraktif yang dikatakan Acemoglu dan Robinson di atas sebagai sumber utama kemiskinan suatu negara. Penjajahan menemukan bentuk barunya.

Kolonialisme hari ini

Tahun 2019 saya pernah terlibat dalam kegiatan advokasi imigran rohingya yang menetap di Makassar. Singkat cerita, selama proses advokasi tersebut saya banyak mendengar kisah pilu dari para imigran mengenai kekejaman pemerintah Myanmar terhadap mereka. Saya pun melakukan riset kecil-kecilan dan menemukan sebuah jawaban yang cukup mencengangkan.

Dalam liputan investigasi yang diturunkan Anadolu Agency pada pertengahan 2020 mengungkapkan bahwa akar penyebab konflik dan kekacauan di Myanmar yang membuat orang-orang rohingya harus mengalami genosida dan terusir dari tanah kelahirannya adalah disebabkan campur tangan negara lain dalam usaha menguasai wilayah Arakan (bagian dari Rakhine) yang diakui memiliki kandungan gas alam dan emas dalam jumlah besar. Di antara negara tersebut ada nama Norwegia dan Singapura, dua negara yang terkenal makmur dan rutin mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan keduanya masuk kedalam jajajaran negara dengan tingkat pendapatan perkapita tertinggi di dunia.

Membaca kisah di atas seketika membawa kita pada sejarah kolonialisme Eropa di masa lalu. Bagaimana strategi kolonialisme berjalan untuk mengeruk kekayaan negara-negara jajahan, penduduknya dijadikan budak, dijadikan bodoh, diadu domba, dan sistem hukum dan pemerintahannya dibuat berantakan. Lalu, negara-negara Eropa tersebut mampu membangun peradaban yang lebih baik di negaranya berkat merampas apa yang dimiliki oleh negara-negara jajahannya ketika itu.

Tak syak lagi, banyak negara Eropa yang saat ini tergolong makmur adalah berkat menikmati surplus kolonialisme masa lalu. Dan hari ini mereka berusaha melanjutkannya tetapi dengan instrumen yang berbeda.

Kekaguman apalagi yang tersisa setelah mengetahui kisah di atas? Artinya kemajuan-kemajuan negara lain yang selama ini kita kagumi ternyata hampir semuanya dibangun di atas mayat-mayat orang tak berdosa. Norwegia dengan tingkat kualitas pendidikannya yang diakui dunia ternyata punya peran terhadap matinya guru-guru di Rakhine akibat hasrat ekonomi esktraktif mereka.

Tulisan ini bermaksud untuk membuka ruang diskusi lebih jauh dengan harapan ada kesadaran yang dibangun di antara pembaca bahwa kemiskinan suatu negara dengan segala hiruk pikuknya seperti korupsi, kejahatan, konflik horizontal, pendidikan yang rendah dan lain-lain adalah fenomena yang tak dapat dipisahkan dari konteks dinamika politik global baik secara historis dan sistemik.

Pola-pola penjajahan di masa lalu, mendapatkan bentuk barunya hari ini. Berangkat dari kesadaran itu, upaya perlawanan terhadapnya tentu akan dilakukan tanpa kembali terjebak dalam logika kolonialisme yang saat ini telah berubah menjadi neo-kolonialisme.

Kebutuhan memahami pola tersebut amatlah penting, agar kita tak terjatuh pada kesimpulan bahwa bangsa Eropa adalah bangsa yang beradab karena mereka saat ini makmur, alamnya terjaga, bebas korupsi, pendidikan terbaik sedangkan bangsa Asia dan Afrika seperti Myanmar, Sudan, Rwanda, Irak, Yaman, Indonesia dan lain-lain adalah bangsa terbelakang karena mereka tak makmur, penuh dengan korupsi, kejahatan, narkoba, konflik horizontal, pendidikan rendah, alamnya rusak  tanpa melihat aspek historis dan sistemik yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar negara tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun