Dalam liputan investigasi yang diturunkan Anadolu Agency pada pertengahan 2020 mengungkapkan bahwa akar penyebab konflik dan kekacauan di Myanmar yang membuat orang-orang rohingya harus mengalami genosida dan terusir dari tanah kelahirannya adalah disebabkan campur tangan negara lain dalam usaha menguasai wilayah Arakan (bagian dari Rakhine) yang diakui memiliki kandungan gas alam dan emas dalam jumlah besar. Di antara negara tersebut ada nama Norwegia dan Singapura, dua negara yang terkenal makmur dan rutin mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan keduanya masuk kedalam jajajaran negara dengan tingkat pendapatan perkapita tertinggi di dunia.
Membaca kisah di atas seketika membawa kita pada sejarah kolonialisme Eropa di masa lalu. Bagaimana strategi kolonialisme berjalan untuk mengeruk kekayaan negara-negara jajahan, penduduknya dijadikan budak, dijadikan bodoh, diadu domba, dan sistem hukum dan pemerintahannya dibuat berantakan. Lalu, negara-negara Eropa tersebut mampu membangun peradaban yang lebih baik di negaranya berkat merampas apa yang dimiliki oleh negara-negara jajahannya ketika itu.
Tak syak lagi, banyak negara Eropa yang saat ini tergolong makmur adalah berkat menikmati surplus kolonialisme masa lalu. Dan hari ini mereka berusaha melanjutkannya tetapi dengan instrumen yang berbeda.
Kekaguman apalagi yang tersisa setelah mengetahui kisah di atas? Artinya kemajuan-kemajuan negara lain yang selama ini kita kagumi ternyata hampir semuanya dibangun di atas mayat-mayat orang tak berdosa. Norwegia dengan tingkat kualitas pendidikannya yang diakui dunia ternyata punya peran terhadap matinya guru-guru di Rakhine akibat hasrat ekonomi esktraktif mereka.
Tulisan ini bermaksud untuk membuka ruang diskusi lebih jauh dengan harapan ada kesadaran yang dibangun di antara pembaca bahwa kemiskinan suatu negara dengan segala hiruk pikuknya seperti korupsi, kejahatan, konflik horizontal, pendidikan yang rendah dan lain-lain adalah fenomena yang tak dapat dipisahkan dari konteks dinamika politik global baik secara historis dan sistemik.
Pola-pola penjajahan di masa lalu, mendapatkan bentuk barunya hari ini. Berangkat dari kesadaran itu, upaya perlawanan terhadapnya tentu akan dilakukan tanpa kembali terjebak dalam logika kolonialisme yang saat ini telah berubah menjadi neo-kolonialisme.
Kebutuhan memahami pola tersebut amatlah penting, agar kita tak terjatuh pada kesimpulan bahwa bangsa Eropa adalah bangsa yang beradab karena mereka saat ini makmur, alamnya terjaga, bebas korupsi, pendidikan terbaik sedangkan bangsa Asia dan Afrika seperti Myanmar, Sudan, Rwanda, Irak, Yaman, Indonesia dan lain-lain adalah bangsa terbelakang karena mereka tak makmur, penuh dengan korupsi, kejahatan, narkoba, konflik horizontal, pendidikan rendah, alamnya rusak  tanpa melihat aspek historis dan sistemik yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar negara tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H