Sepanjang malam aku tidak bisa tertidur. Pikiranku masih tertuju pada ibu dan adik-adikku. Aku anak lelaki satu-satunya dalam keluarga. Ada beban tersendiri meski ibu tak ingin aku ikut terbebani dengan masalah yang kami hadapi. Usiaku 25 tahun, sudah menikah. Aku merasa harus menjadi penopang dan penguat untuk ibu terlebih untuk adik-adikku yang masuk usia gadis. Memang mereka masih dalam perkuliahan. Dua di antara mereka akan wisuda tahun depan.
Pagi itu aku menangis sejadi-jadinya. Iya, aku adalah orang yang sangat sentimen terlebih jika berurusan dengan ibu. Aku berkali-kali sesenggukan kalau mengingat beliau. Melihat perjuangan dia untuk menjadikan kami manusia yang baik. Ayah masih sehat, tapi dia bukan lelaki yang patut dijadikan contoh. Dia tidak bekerja. Dia hanya lalu-lalang dari warung ke warung. Main judi dan mabuk-mabukan hal yang biasa baginya. Satu-satunya yang bisa dijadikan contoh dari beliau barangkali hanya tangannya yang tidak pernah menyentuh kami anak-anaknya atau pun ibu. Dia tidak pernah memukul. Bagiku dia hanya menumpang hidup pada ibu, perempuan yang seharusnya jadi tulang rusuk, tapi dipaksakan jadi tulang punggung. Pagi itu ibu meneleponku dan di ujung sana terdengar suara terbata-bata seperti orang menngis.
"Ada apa, Bu?" aku bertanya.
"Ayahmu, Nak. Dia menghamili anak gadis orang." Jawab beliau
Aku merasa seperti disambar petir. Seketika lututku lemah dan bibir jadi kelu.
Dia memiliki tiga anak perempuan dan satu anak lelaki usia 25 tahun sudah menikah pula. Pada usia menginjak 52 tahun, ia berbuat bejat. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak bisa kubayangkan bagaimana ibu akan menanggung semua rasa malu itu atau masa depan adik-adikku. Belum sembuh rasanya malu setahun lalu ketika ia digelandang polisi karena kasus perjudian. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku memaki sejadi-jadinya.
"Ada apa, Bang?" berkali-kali istri menanyakan itu, tapi tak bisa kujawab. Hanya air mata yang terus mengalir di pipiku. Aku memang tidak peduli dengan perbuatan ayah. Sejak kecil aku sudah kehilangan dia. Sejak kecil aku sudah tahu bagaimana perangainya. Satu-satunya yang tak bisa aku terima penderitaan dan rasa malu yang harus ditanggung perempuan yang membesarkanku.
Aku menyuruh istri untuk berkemas karena harus pulang ke rumah ibu saat ini juga. Sejak menikah aku memang pindah ke tempat yang lebih dekat dengan tempatku kerja. Meski tidak begitu jauh dari rumah orang tua. Jaraknya sekitar 25 kilometer. Aku kuatkan diri untuk memberitahu istri apa yang terjadi.
"Ayah menghamili anak gadis orang" ucapku lirih.
Dia menoleh dan memelukku serta menangis sejadi-jadinya.
"Ayo ke sana, Sayang. Aku mau memeluk ibu. Kita harus menguatkan ibu. Abang anak yang paling tua. Adik-adik abang butuh pelindung dan saat ini itu menjadi tanggung jawab abang" pinta istri.
Kami berangkat ke rumah orang tua. Sepanjang jalan aku tak habis pikir kenapa ini terjadi di keluarga kami. Bagaimana nasib adik-adikku.
Mendekati tempat ibu tinggal aku tak kuasa menahan malu. Aku tak bisa menoleh ke kiri atau kanan padahal dulunya aku anak yang sering azan dan tadarusan di masjid saat Ramadan.
Sesampai di rumah, aku kembali menangis sejadi-jadinya melihat ibu yang begitu kurus. Sejatinya beliau orang yang sangat periang sehingga dia begitu awet muda, tapi hari ini beliau terlihat cepat sekali menua. Tubuhnya ringkih dan pipinya menyusut. Ternyata sudah dua hari dua malam tidak sekali pun matanya terpejam. Pikirannya kalut. Aku memeluknya dan berusaha menguatkan meski aku pun sangat rapuh. Sementara lelaki itu telah hilang entah ke mana meniggalkan luka dan malu yang menganga. Sementara adikku yang paling bungsu, duduk di kelas satu SMA, tak kuasa membendung tangisnya. Ia memelukku dan menangis begitu menyayat. Tak kuasa kubendung air mataku. Perih.
Sejak hari itu aku sempatkan di sela-sela padatnya kerjaan untuk memastikan kesehatan ibu dan memberi beliau semangat.
Dua hari kemudian aku dan istri kembali ke sana. Kali ini kami akan menginap. Aku mengalahkan pekerjaan. Biarlah kali ini aku harus berangkat dari rumah ibu. Meski aku sering pulang dini hari. Bagiku tak apa selama itu untuk kebaikan ibu. Sama halnya dengan malam ini. Aku harus pulang larut. Jam dua dini hari. Sebelum berangkat ke tempat kerja petang ini aku sempatkan ke rumah sakit. Aku dengar ada dua orang dari kampung ibu tinggal yang sedang masuk rumah sakit. Aku ingin menjenguk. Tiba-tiba saja tebersit. Di sana aku mendengar cerita yang satunya karena ada masalah hidup darah tingginya kumat sedangkan yang satu lagi gangguan pencernaan, tapi anaknya kalut memikirkan keadaan ayahnya. Masalah lain dari hidup, pikirku. Di sini aku melihat setiap manusia akan memasuki gerbang gelap kehidupan. Sekuat apa pun kita berusaha untuk berbuat yang terbaik terkadang Tuhan memiliki rencana lain. Aku paham.
Pulang dari kerja larut malam sedang langit tiada henti bergemuruh. Sepertinya akan hujan. Aku mengebut sepeda motor agar tak kena hujan atau setidaknya bisa sampai di rumah sebelum hujan turun. Di depan aku lihat ada beberapa remaja di tengah jalan. Malam-malam seperti ini ada apa pikirku. Aku khawatir mereka akan berbuat sesuatu yang buruk terhadapku, apalagi di masa yang penuh dengan ketidakpastian dan maraknya kriminalitas.
Aku pelankan sepeda motor dan aku perhatikan dengan jelas. Sepertinya ada yang jatuh dari sepeda motor. Aku lewati begitu saja, tapi sekali lagi ada dorongan kuat dari dalam hati untuk berhenti sejenak. Aku melihat banyak darah berceceran. Aku perhatikan lebih jelas dan aku mengenal anak yang bersimbah darah itu. Kami satu kampung. Aku perhatikan kondisinya, harus segera dibawa ke klinik atau rumah sakit. Aku menaikkan dia ke sepeda motor untuk dibawa berobat. Sepanjang perjalanan dia mengeluh.
"Aku suntuk, Bang. Suntuk kali" katanya berkali-kali.
"Suntuk kenapa?
"Selepas ayah pergi, aku suntuk terus, Bang?" jawabnya
"Yang namanya manusia pasti akan kembali kepada Tuhan" aku berusaha menenangkan.
"Setelah ayah meninggal semua hal di keluarga dibebankan kepadaku, Bang. Pikiranku jadi banyak. Belum lagi urusan adik, biaya hidup keluarga, dan masa depanku" timpalnya.
Sekali lagi aku menemukan orang-orang yang sedang berada dalam gerbong gelap kehidupan.
Setiba di rumah aku mengganti baju sebab jaket dan celanaku telah bersimbah darah. Aku membersihkan diri dan kemudian salat di ujung malam. Dalam kehampaan aku bersyukur telah diberi begitu besar kekuatan. Meskipun sedang menghadapi masalah dan beban yang berat aku masih sehat, masih bisa berpikir jernih, dan masih bisa membantu dan menguatkan orang lain. Aku sadar karena aku kuat makanya Tuhan memberikan semua ini. Barangkali ini cobaan atau mungkin ujian. Hidup terus berjalan. Bukankah hidup ini seperti buku. Di bab yang satu ada kesedihan sedang di bab yang lain ada kebahagiaan. Namun, kalau kita tidak membuka dan membaca bab yang satu kita tidak akan sampai pada bab yang lain.
Tiga tahun sudah berlalu. Luka dan rasa malu itu tetap ada, tapi kami sudah berada di bab yang baru dari kehidupan. Adik perempuanku yang pertama beberapa hari lagi akan menikah, sedangkan si bontot sedang duduk di bangku kuliah. Ayah, dia entah di mana. Sampai hari ini kami tidak tahu bagaimana keadaanya. Semoga di tempat mana pun dia berada dia telah berubah menjadi manusia yang lebih baik. Semoga babak buruk dari hidupnya sudah terlalui. Aku harap dia telah keluar dari gerbong gelap kehidupannya di peron yang akan mengantarkan dia ke gerbong kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H