"Yang namanya manusia pasti akan kembali kepada Tuhan" aku berusaha menenangkan.
"Setelah ayah meninggal semua hal di keluarga dibebankan kepadaku, Bang. Pikiranku jadi banyak. Belum lagi urusan adik, biaya hidup keluarga, dan masa depanku" timpalnya.
Sekali lagi aku menemukan orang-orang yang sedang berada dalam gerbong gelap kehidupan.
Setiba di rumah aku mengganti baju sebab jaket dan celanaku telah bersimbah darah. Aku membersihkan diri dan kemudian salat di ujung malam. Dalam kehampaan aku bersyukur telah diberi begitu besar kekuatan. Meskipun sedang menghadapi masalah dan beban yang berat aku masih sehat, masih bisa berpikir jernih, dan masih bisa membantu dan menguatkan orang lain. Aku sadar karena aku kuat makanya Tuhan memberikan semua ini. Barangkali ini cobaan atau mungkin ujian. Hidup terus berjalan. Bukankah hidup ini seperti buku. Di bab yang satu ada kesedihan sedang di bab yang lain ada kebahagiaan. Namun, kalau kita tidak membuka dan membaca bab yang satu kita tidak akan sampai pada bab yang lain.
Tiga tahun sudah berlalu. Luka dan rasa malu itu tetap ada, tapi kami sudah berada di bab yang baru dari kehidupan. Adik perempuanku yang pertama beberapa hari lagi akan menikah, sedangkan si bontot sedang duduk di bangku kuliah. Ayah, dia entah di mana. Sampai hari ini kami tidak tahu bagaimana keadaanya. Semoga di tempat mana pun dia berada dia telah berubah menjadi manusia yang lebih baik. Semoga babak buruk dari hidupnya sudah terlalui. Aku harap dia telah keluar dari gerbong gelap kehidupannya di peron yang akan mengantarkan dia ke gerbong kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H