"Ayo ke sana, Sayang. Aku mau memeluk ibu. Kita harus menguatkan ibu. Abang anak yang paling tua. Adik-adik abang butuh pelindung dan saat ini itu menjadi tanggung jawab abang" pinta istri.
Kami berangkat ke rumah orang tua. Sepanjang jalan aku tak habis pikir kenapa ini terjadi di keluarga kami. Bagaimana nasib adik-adikku.
Mendekati tempat ibu tinggal aku tak kuasa menahan malu. Aku tak bisa menoleh ke kiri atau kanan padahal dulunya aku anak yang sering azan dan tadarusan di masjid saat Ramadan.
Sesampai di rumah, aku kembali menangis sejadi-jadinya melihat ibu yang begitu kurus. Sejatinya beliau orang yang sangat periang sehingga dia begitu awet muda, tapi hari ini beliau terlihat cepat sekali menua. Tubuhnya ringkih dan pipinya menyusut. Ternyata sudah dua hari dua malam tidak sekali pun matanya terpejam. Pikirannya kalut. Aku memeluknya dan berusaha menguatkan meski aku pun sangat rapuh. Sementara lelaki itu telah hilang entah ke mana meniggalkan luka dan malu yang menganga. Sementara adikku yang paling bungsu, duduk di kelas satu SMA, tak kuasa membendung tangisnya. Ia memelukku dan menangis begitu menyayat. Tak kuasa kubendung air mataku. Perih.
Sejak hari itu aku sempatkan di sela-sela padatnya kerjaan untuk memastikan kesehatan ibu dan memberi beliau semangat.
Dua hari kemudian aku dan istri kembali ke sana. Kali ini kami akan menginap. Aku mengalahkan pekerjaan. Biarlah kali ini aku harus berangkat dari rumah ibu. Meski aku sering pulang dini hari. Bagiku tak apa selama itu untuk kebaikan ibu. Sama halnya dengan malam ini. Aku harus pulang larut. Jam dua dini hari. Sebelum berangkat ke tempat kerja petang ini aku sempatkan ke rumah sakit. Aku dengar ada dua orang dari kampung ibu tinggal yang sedang masuk rumah sakit. Aku ingin menjenguk. Tiba-tiba saja tebersit. Di sana aku mendengar cerita yang satunya karena ada masalah hidup darah tingginya kumat sedangkan yang satu lagi gangguan pencernaan, tapi anaknya kalut memikirkan keadaan ayahnya. Masalah lain dari hidup, pikirku. Di sini aku melihat setiap manusia akan memasuki gerbang gelap kehidupan. Sekuat apa pun kita berusaha untuk berbuat yang terbaik terkadang Tuhan memiliki rencana lain. Aku paham.
Pulang dari kerja larut malam sedang langit tiada henti bergemuruh. Sepertinya akan hujan. Aku mengebut sepeda motor agar tak kena hujan atau setidaknya bisa sampai di rumah sebelum hujan turun. Di depan aku lihat ada beberapa remaja di tengah jalan. Malam-malam seperti ini ada apa pikirku. Aku khawatir mereka akan berbuat sesuatu yang buruk terhadapku, apalagi di masa yang penuh dengan ketidakpastian dan maraknya kriminalitas.
Aku pelankan sepeda motor dan aku perhatikan dengan jelas. Sepertinya ada yang jatuh dari sepeda motor. Aku lewati begitu saja, tapi sekali lagi ada dorongan kuat dari dalam hati untuk berhenti sejenak. Aku melihat banyak darah berceceran. Aku perhatikan lebih jelas dan aku mengenal anak yang bersimbah darah itu. Kami satu kampung. Aku perhatikan kondisinya, harus segera dibawa ke klinik atau rumah sakit. Aku menaikkan dia ke sepeda motor untuk dibawa berobat. Sepanjang perjalanan dia mengeluh.
"Aku suntuk, Bang. Suntuk kali" katanya berkali-kali.
"Suntuk kenapa?
"Selepas ayah pergi, aku suntuk terus, Bang?" jawabnya