Dari kubu pemerintah melalui pembicaraan telepon dengan CNN, Presiden Abdel Fattah al-Burhan menyatakan bahwa kelompok milisi RSF berupaya melakukan kudeta dengan cara mengulingkan dirinya dan semua elemen pemerintahan Sudan, secara jelas melalui wawancara CNN Abdel Fattah al-Burhan menyatakan kelompok RSF berniat menangkap dan membunuhnya. Dari sisi lain wawancara dengan juru bicara kubu milisi RSF menyatakan bahwa mereka berniat menangkap Presiden Abdel Fattah al-Burhan atas alasan pelanggaran pada keadilan bagi masyarakat Sudan, dimata mereka Presiden Sudan sudah mencederai kepercayaan masayrakat dan wajib mendapatkan hukuman melalui pengadilan.
Akibat dari persaingan kedua kubu inilah mengakibatkan kekacauan konflik politik, militer, dan ekonomi kembali melanda Sudan pada tahun 2023, setelah pada 2019 sebelumnya Sudan pernah melalui suasana ketakutan akibat kudeta militer kini kondisi kekacauan kembali terjadi. Segenap masayarakat internasional bereaksi akibat situasi berbahaya ini dengan mencoba memberikan solusi gencatan senjata dan menekan kedua belah pihak untuk membuka jalan pembicaraan damai, akan tetapi sampai saat ini konflik masih terus berlanjut tanpa ada upaya rekonsiliasi perdamaian yang serius.
Secara garis besar dapat saya katakan konflik Sudan tahun 2023 ini merupakan konflik yang dilatar belakangi oleh masalah etnis, politik kekuasaan, dan percampuran antara masalah manajemen pemerintahan yang kacau disertai kondisi ekonomi yang buruk. Secara garis besar situasi negara Sudan dari dalam sudah berada di ujung kehancuran akan tetapi dari luar terlihat masih stabil bertahan untuk tetap terlihat seakan stabil, oleh karenanya bisa jadi hal tersebut yang mendorong banyak negara membuka jalur diplomasi kerjasama dengan negara ini. Akan tetapi banyak pihak yang lalai dalam mempertimbangkan faktor keamanan mengenai stabilitas internal negara itu sebagai tolak ukur variabel untuk membuka jalur kerjasama diplomasi.
Dalam analisa saya terdapat lebih banyak kerugiaan jika membuka hubungan diplomasi dengan negara seperti Sudan yang pada dasarnya memiliki sistem pemerintah tidak stabil rentan dengan isu perebutan kekuasaan atau konflik vertikal dan horizontal antar etnis. Dalam pembahasan selanjutnya akan saya paparkan pandangan mengapa Indonesia harus melakukan evaluasi kembali terkait hubungan kerjasama diplomasi dengan negara Sudan.
Sudan dapat saya kategorikan sebagai Failed States (negara gagal) sesuai dengan data resmi dari situs World Population Review yang di review oleh berbagai sumber sebagai Lembaga dengan kredibilitas cukup baik dengan data akurat dan tidak bias politik. Dalam survey tersebut Sudan masuk sebagai kategori negara gagal karena memiliki tiga faktor kegagalan utama yaitu pertama gagal dalam melindungi stabilitas keamanan negaranya sehingga jalannya pemerintahan rentan akan munculnya kelompok pemberontak, separatis, teroris, dan milisi tentara paramiliter yang memiliki tujuan menggulingkan pemerintahan.
Kedua gagal dalam menjaga kekuatan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan sehingga rentan terjadi manajemen keuangan yang salah berakibat munculnya gejolak krisis keuangan nasional menyebabkan munculnya kerusuhan dan konflik di masyarakat. Yang ketiga dan terakhir adalah gagal dalam menjalankan birokrasi yang bersih dan benar sehingga mengakibatkan manajemen pengelolaan negara tidak bisa melakukan tindakan tegas melawan kasus korupsi, kejahatan, kriminal, dan melindungi kepercayaan masyarakat.
Semua ketiga faktor tersebut secara bersama melekat dengan negara Sudan dan gaya pemerintahan Presiden Abdel Fattah al-Burhan saat ini, sehingga sudah jelas bahwa Sudan masuk dalam kategori besar 10 negara gagal dengan tingkat indikator menurut World Population Review masuk dalam tingkat High Alert (waspada tinggi). Gejala utama yang terlihat dari masuknya Sudan sebagai kategori negara gagal adalah munculnya kasus situasi perang sipil yang diakibatkan oleh ambisi perebutan kekuasaan oleh kelompok tertentu dan tingginya korupsi pada level pemerintahan sehingga semua lapisan masyarakat tidak memiliki kepercayaan pada kepala negara dan otoritas kekuasaannya.
Berdasarkan penggambaran tersebut Sudan jelas tidak memiliki masa depan yang cerah sebagai sebuah negara berkembang yang berhasil membawa keberhasilan pembangunan sumber daya masyarakat yang maju dan sejahtera, publik internasional dapat memberikan penilaian buruk pada Sudan akibat kerugian yang dirasakan semua warga asing yang tinggal di negara ini. Pada negara Sudan sendiri meskipun ada upaya untuk membawa perubahan pemerintahan lebih kearah demokrasi melalui Juba Peace Agreement tahun 2020, akan tetapi upaya tersebut tidak membuahkan hasil signifikan kepada perubahan pola kekuasaan pemerintah yang tetap berhaluan otoriter, korup, dan minim akan kesejahteraan ekonomi.
Dalam pandangan saya Indonesia dalam memiliki hubungan kerjasama dengan negara Sudan memiliki banyak kerugiaan dibandingkan keuntungan, dengan statusnya sebagai negara gagal Indonesia tidak bisa berharap banyak kebijakan kerjasama dapat berjalan baik secara diplomatis dengan negara ini. Karena kondisi Sudan sebagai negara gagal sudah berhasil dipetakan oleh berbagai ahli pengamat cenderung akan memunculkan konflik maka kekacauan perang sipil dan krisis ekonomi sudah tentu akan menjadi faktor penghambat dalam kerjasama dimasa depan.
Bagi saya solusi yang paling tepat dan efisien adalah mengkaji kembali hubungan kerjasama dilplomatis Indonesia dengan negara yang memiliki status negara gagal oleh lembaga internasional maupun oleh pengamat internasional. Tidak hanya Sudan bagi saya semua 10 negara dengan status mulai dari High Alert sampai pada Very High Alert dari kajian indikator Failed States lembaga World Population Review harus menjadi perhatian Indonesia, kedepan Indonesia harus membatasi dan mengurangi hubungan kerjasamanya dengan negara-negara tersebut berdasar faktor minimnya keuntungan dengan negara-negara tersebut. Sebagai sebuah negara Indonesia sangat dirugikan dengan acuan sudah memberikan jaminan keselamatan kepada masyarakatnya bahwa berpergian, berbisnis, maupun menempu studi lanjut menuju negara tersebut dapat berjalan aman tetapi dilain sisi justru mendapat ancaman keamanan dan keselamatan setelah tiba disana.
Ditambah lagi jika Indonesia sudah terlanjur membentuk hubungan kerjasama ekonomi maka sudah tentu pihak-pihak yang terkait entah perusahaan dan pemerintah akan berada dalam kondisi sulit melewati situasi konflik perang sipil seperti di Sudan saat ini. Kerugiaan materi dan keuangan akibat hancurnya situasi finansial di Sudan merupakan hasil malapetaka akibat adanya perang perebutan kekuasaan, secara umum saya tidak melihat ada keuntungan apa-apa dari semua ini bagi Indonesia.