Jika kita mengikuti perkembangan berita terbaru dalam dunia internasional saat ini maka isu konflik Sudan adalah masalah terbaru yang berpengaruh pada Indonesia dari segi keselamatan WNI kita yang ada disana. Pada tanggal 15 April 2023 kemarin terjadi konflik bersenjata antara kelompok paramiliter Rapid Suppot Forces (RSF) dan Angkatan Bersenjata Sudan yang memulai awal penyebab peperangan terjadi, konflik ini menyebabkan banyak sekali masyarakat internasional yang tinggal di negara ini memilih kabur keluar negeri sebagai solusi keselamatan. Melansir dari data KBRI Kahrtoum warga Indonesia yang tinggal di Sudan mencapai 1209 WNI, saat ini 897 orang berhasil di evakuasi dan 538 diantaranya mayoritas adalah mahasiswa.
Dari data tersebut yang dirilis oleh KBRI Kahrtoum kita bisa melihat bahwa hubungan diplomasi Indonesia dan Sudan terjalin sehingga banyak masyarakat kita memilih untuk bekerja disana atau memilih untuk melanjutkan studi disana, secara mayoritas dari grafik data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas WNI yang berada disana adalah mahasiswa melanjutkan studi pendidikan. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyatakan bahwa sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk menjamin keselamatan WNI di Sudan dengan mengatur rencana evakuasi semua WNI, lebih lanjut Menlu Retno menjamin keselamatan semua WNI dengan keamanan dan fasilitas yang baik seperti kendaraan bus demi menunjang evakuasi yang aman dan lancar.
Evakuasi ini merupakan evakuasi tahap 1 yang secara bertahap dilakukan sampai semua WNI berhasil diselamatkan keluar dari negara Sudan dan kembali ke Indonesia melalui jalur transit di negara ketiga yang lebih aman. Sudah tentu keselamatan semua WNI merupakan prioritas penting bagi negara Indonesia dalam menjamin keselamatan warganya baik itu di negara sendiri maupun di negara lain, jika demikian bentuk prinsip dasar tentang peran negara dalam menjaga dan melindungi warganya maka apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kasus konflik Sudan ini.
Sebelum menjelaskan lebih jauh pandangan saya dan solusi yang akan saya berikan terkait menyikapi masalah ini maka terlebih dahulu perlu saya paparkan akar penyebab konflik Sudan secara singkat agar membantu memahami situasi kondisi di negara tersebut. Dalam konflik ini sejarah awal sampai terjadi peperangan diawali oleh persaingan dua panglima perang yang menghendaki perubahan kekuasaan dengan visi yang berbeda. Pada kubu pertama terdapat kelompok pemberontak RSF yang dipimpin oleh panglima perang bernama Mohammed Hamdan Dagalo atau lebih dikenal dengan nama Hemedti, dan kubu yang kedua adalah Angkatan Bersenjatan Sudan mewakili militer pemerintah dipimpin oleh Abdel Fattah al-Burhan sebagai kepala negara juga panglima tertinggi militer.
Kedua pemimpin tersebut pada awalnya merupakan sekutu dekat yang memiliki hubungan baik di masa lalu, akan tetapi perbedaan pandangan mengakibatkan keduanya saling menggulingkan satu sama lain dari politik kekuasaan. Pada periode tahun 1989 sampai tahun 2019 pemerintahan Sudan pernah dipimpin secara ortoriter oleh seorang Presiden bernama Omar Hassan Ahmad al-Bashir sebagai kepala negara yang memerintah dengan tangan besi, selama 30 tahun berbagai konflik muncul di Sudan akibat manajemen kekuasaan pemerintah yang kacau dan berbagai macam masalah pengelolaan ekonomi yang salah mengakibatkan banyaknya muncul konflik kelompok milisi bersenjata tidak adanya upaya serius dalam memecahkan berbagai masalah kemanusiaan disana. Kedua tokoh konflik perang sipil Sudan saat ini Mohammed Hamdan Dagalo dan Abdel Fattah al-Burhan secara aktif hidup pada periode pemerintahan otoriter Omar Hassan Ahmad al-Bashir, keduanya merasakan dengan jelas kelemahan pemerintah dan ekspolitasi dari kekuasaan otoriter yang menyebabkan kesengsaraan masyarakat Sudan secara berkelanjutan.
Pada tahun 2019 keduanya bersama-sama melancarkan kudeta menggulingkan kekuasaan Omar Hassan Ahmad al-Bashir demi mengubah negara Sudan terbebas dari pemerintahan otoriter dan meruntuhkan kekuasaan pemerintahan sebelumnya, sebagai hasilnya Omar Hassan Ahmad al-Bashir berhasil turun dari kekuasaan menandai berakhirnya kediktatoran dan dimulainya agenda untuk transisi kekuasaan menuju pemerintah demokrasi. Dengan cara kudeta militer Abdel Fattah al-Burhan merebut kekuasaan dari Omar Hassan Ahmad al-Bashir dibantu dengan pasukan RSF yang dipimpin oleh Mohammed Hamdan Dagalo, keduanya kemudian mendirikan pemerintahan Junta Militer dengan memberi janji kepada masyarakat akan ada pemerintah yang lebih baik.
Setelah pemerintahan Junta Militer baru terbentuk dengan Abdel Fattah al-Burhan sebagai kepala negara muncul masalah baru yaitu bagaimana memasukan pasukan milisi RSF dalam pemerintah dan militer Sudan, RSF banyak memiliki jasa dalam perebutan kekuasaan sekaligus menjamin kemenangan bagi koalisi militer Abdel Fattah al-Burhan akan tetapi di sisi lain RSF juga memiliki banyak sejarah kelam seperti salah satunya melakukan pembantaian massal dikenal dengan nama Kahrtoum Massacre yang pada saat itu terjadi akibat penolakan aksi damai masyarakat yang mengkritik Abdel Fattah al-Burhan dan rezim kekuasaanya.
Secara mendasar ada dua kendala mengapa sulit memasukan RSF kedalam pasukan utama militer pemerintah Sudan, pertama secara struktur pasukan RSF merupakan kelompok milisi yang secara prinsip tersusun dari elemen kelompok masyarakat berbasis suku dan etnis sebagai latar kesatuan, kelompok ini secara etnis berlatar Arab-Sudan yang dikenal disana dengan nama Janjaweed. Dalam hal ini bisa terlihat kesatuan militer ini akan sulit masuk dalam pasukan nasional karena hanya membatasi keanggotaan pada etnis tertentu. Kedua dalam struktur militer kelompok RSF juga memiliki kendala karena berbasis kelompok luar yang tidak tergabung dalam struktur utama tentara militer Sudan, kelompok ini bisa saya katakan setara dengan ormas bersenjata karena anggotanya hanya direkrut dari kalangan masyarakat biasa kemudian dilatih dan diberi senjata api tanpa ada proses seleksi ketat secara psikologis dan mental seperti tentara nasional.
Bisa kita simpulkan bersama anggota RSF hanya merupakan orang-orang dengan latar pelatihan militer yang sedikit dan mentah, jika sebuah kelompok militer memiliki pelatihan militer yang sedikit tanpa melalui pelatihan utama seperti tentara militer nasional maka masalah moral tentu menjadi masalah utama. Kelompok dengan latar seperti ini rentan melakukan tindakan melanggar hukum perang karena tidak memiliki latar pembentukan nilai patriotisme kebangsaan yang sama dengan tentara nasional sehingga sering terjadi kasus dimana kelompok seperti ini tidak peduli pada prinsip kemanusiaan, secara jelas kasus Khartoum Massacre dan berbagai kekerasan yang dilakukan RSF pada masyarakat Sudan sudah menunjukkan kebenaran analisa ini. Â
Serangan yang dilakukan kelompok RSF pada tanggal 15 April 2023 merebut titik penting pemerintahan Sudan seperti ibukota Khartoum dan bandara internasional Khartoum merupakan aksi yang diprakarsai oleh Mohammed Hamdan Dagalo sebagai upaya melawan pemerintahan jenderal Abdel Fattah al-Burhan yang diklaim tidak memiliki mandat dukungan dari masyarakat. Kedua kubu masing-masing mempertahankan klaim tindakannya berdasar pada kehendak kepentingan masyarakat, melalui wawancara oleh media CNN kedua fraksi menyatakan pendapat yang berbeda.
Dari kubu pemerintah melalui pembicaraan telepon dengan CNN, Presiden Abdel Fattah al-Burhan menyatakan bahwa kelompok milisi RSF berupaya melakukan kudeta dengan cara mengulingkan dirinya dan semua elemen pemerintahan Sudan, secara jelas melalui wawancara CNN Abdel Fattah al-Burhan menyatakan kelompok RSF berniat menangkap dan membunuhnya. Dari sisi lain wawancara dengan juru bicara kubu milisi RSF menyatakan bahwa mereka berniat menangkap Presiden Abdel Fattah al-Burhan atas alasan pelanggaran pada keadilan bagi masyarakat Sudan, dimata mereka Presiden Sudan sudah mencederai kepercayaan masayrakat dan wajib mendapatkan hukuman melalui pengadilan.
Akibat dari persaingan kedua kubu inilah mengakibatkan kekacauan konflik politik, militer, dan ekonomi kembali melanda Sudan pada tahun 2023, setelah pada 2019 sebelumnya Sudan pernah melalui suasana ketakutan akibat kudeta militer kini kondisi kekacauan kembali terjadi. Segenap masayarakat internasional bereaksi akibat situasi berbahaya ini dengan mencoba memberikan solusi gencatan senjata dan menekan kedua belah pihak untuk membuka jalan pembicaraan damai, akan tetapi sampai saat ini konflik masih terus berlanjut tanpa ada upaya rekonsiliasi perdamaian yang serius.
Secara garis besar dapat saya katakan konflik Sudan tahun 2023 ini merupakan konflik yang dilatar belakangi oleh masalah etnis, politik kekuasaan, dan percampuran antara masalah manajemen pemerintahan yang kacau disertai kondisi ekonomi yang buruk. Secara garis besar situasi negara Sudan dari dalam sudah berada di ujung kehancuran akan tetapi dari luar terlihat masih stabil bertahan untuk tetap terlihat seakan stabil, oleh karenanya bisa jadi hal tersebut yang mendorong banyak negara membuka jalur diplomasi kerjasama dengan negara ini. Akan tetapi banyak pihak yang lalai dalam mempertimbangkan faktor keamanan mengenai stabilitas internal negara itu sebagai tolak ukur variabel untuk membuka jalur kerjasama diplomasi.
Dalam analisa saya terdapat lebih banyak kerugiaan jika membuka hubungan diplomasi dengan negara seperti Sudan yang pada dasarnya memiliki sistem pemerintah tidak stabil rentan dengan isu perebutan kekuasaan atau konflik vertikal dan horizontal antar etnis. Dalam pembahasan selanjutnya akan saya paparkan pandangan mengapa Indonesia harus melakukan evaluasi kembali terkait hubungan kerjasama diplomasi dengan negara Sudan.
Sudan dapat saya kategorikan sebagai Failed States (negara gagal) sesuai dengan data resmi dari situs World Population Review yang di review oleh berbagai sumber sebagai Lembaga dengan kredibilitas cukup baik dengan data akurat dan tidak bias politik. Dalam survey tersebut Sudan masuk sebagai kategori negara gagal karena memiliki tiga faktor kegagalan utama yaitu pertama gagal dalam melindungi stabilitas keamanan negaranya sehingga jalannya pemerintahan rentan akan munculnya kelompok pemberontak, separatis, teroris, dan milisi tentara paramiliter yang memiliki tujuan menggulingkan pemerintahan.
Kedua gagal dalam menjaga kekuatan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan sehingga rentan terjadi manajemen keuangan yang salah berakibat munculnya gejolak krisis keuangan nasional menyebabkan munculnya kerusuhan dan konflik di masyarakat. Yang ketiga dan terakhir adalah gagal dalam menjalankan birokrasi yang bersih dan benar sehingga mengakibatkan manajemen pengelolaan negara tidak bisa melakukan tindakan tegas melawan kasus korupsi, kejahatan, kriminal, dan melindungi kepercayaan masyarakat.
Semua ketiga faktor tersebut secara bersama melekat dengan negara Sudan dan gaya pemerintahan Presiden Abdel Fattah al-Burhan saat ini, sehingga sudah jelas bahwa Sudan masuk dalam kategori besar 10 negara gagal dengan tingkat indikator menurut World Population Review masuk dalam tingkat High Alert (waspada tinggi). Gejala utama yang terlihat dari masuknya Sudan sebagai kategori negara gagal adalah munculnya kasus situasi perang sipil yang diakibatkan oleh ambisi perebutan kekuasaan oleh kelompok tertentu dan tingginya korupsi pada level pemerintahan sehingga semua lapisan masyarakat tidak memiliki kepercayaan pada kepala negara dan otoritas kekuasaannya.
Berdasarkan penggambaran tersebut Sudan jelas tidak memiliki masa depan yang cerah sebagai sebuah negara berkembang yang berhasil membawa keberhasilan pembangunan sumber daya masyarakat yang maju dan sejahtera, publik internasional dapat memberikan penilaian buruk pada Sudan akibat kerugian yang dirasakan semua warga asing yang tinggal di negara ini. Pada negara Sudan sendiri meskipun ada upaya untuk membawa perubahan pemerintahan lebih kearah demokrasi melalui Juba Peace Agreement tahun 2020, akan tetapi upaya tersebut tidak membuahkan hasil signifikan kepada perubahan pola kekuasaan pemerintah yang tetap berhaluan otoriter, korup, dan minim akan kesejahteraan ekonomi.
Dalam pandangan saya Indonesia dalam memiliki hubungan kerjasama dengan negara Sudan memiliki banyak kerugiaan dibandingkan keuntungan, dengan statusnya sebagai negara gagal Indonesia tidak bisa berharap banyak kebijakan kerjasama dapat berjalan baik secara diplomatis dengan negara ini. Karena kondisi Sudan sebagai negara gagal sudah berhasil dipetakan oleh berbagai ahli pengamat cenderung akan memunculkan konflik maka kekacauan perang sipil dan krisis ekonomi sudah tentu akan menjadi faktor penghambat dalam kerjasama dimasa depan.
Bagi saya solusi yang paling tepat dan efisien adalah mengkaji kembali hubungan kerjasama dilplomatis Indonesia dengan negara yang memiliki status negara gagal oleh lembaga internasional maupun oleh pengamat internasional. Tidak hanya Sudan bagi saya semua 10 negara dengan status mulai dari High Alert sampai pada Very High Alert dari kajian indikator Failed States lembaga World Population Review harus menjadi perhatian Indonesia, kedepan Indonesia harus membatasi dan mengurangi hubungan kerjasamanya dengan negara-negara tersebut berdasar faktor minimnya keuntungan dengan negara-negara tersebut. Sebagai sebuah negara Indonesia sangat dirugikan dengan acuan sudah memberikan jaminan keselamatan kepada masyarakatnya bahwa berpergian, berbisnis, maupun menempu studi lanjut menuju negara tersebut dapat berjalan aman tetapi dilain sisi justru mendapat ancaman keamanan dan keselamatan setelah tiba disana.
Ditambah lagi jika Indonesia sudah terlanjur membentuk hubungan kerjasama ekonomi maka sudah tentu pihak-pihak yang terkait entah perusahaan dan pemerintah akan berada dalam kondisi sulit melewati situasi konflik perang sipil seperti di Sudan saat ini. Kerugiaan materi dan keuangan akibat hancurnya situasi finansial di Sudan merupakan hasil malapetaka akibat adanya perang perebutan kekuasaan, secara umum saya tidak melihat ada keuntungan apa-apa dari semua ini bagi Indonesia.
Kemudian contoh kasus nyata bagi hubungaan Sudan Indonesia adalah kerjasama pendidikan dimana seperti data dari KBRI Khartoum mayoritas WNI tinggal disana adalah mahasiswa yang sedang menepuh studi lanjut, jika kita melihat situasi sekarang dimana pemerintah Indonesia berupaya maksimal dalam melakukan evakuasi seluruh pelajar Indonesia akibat dampak konflik perang sipil tersebut maka hal ini menunjukkan jaminan keamanan studi di Sudan sangatlah rendah. Indonesia mengirimkan ratusan pelajar mahasiswa untuk menempuh studi lanjut pendidikan disana tetapi tidak mempertimbangan faktor keamanan untuk kondisi ketika mereka tinggal disana, melalui beberapa variabel kondisi negara Sudan sangat tidak relevan untuk dijadikan tempat studi lanjut.
Poin utama yang ingin saya sampaikan adalah sebaiknya demi menghindari situasi yang mengancam keselamatan bagi WNI di luar negeri dan kerugian bisnis jangka panjang, Indonesia harus menolak membuka hubungan diplomasi dengan negara berstatus negara gagal yang memiliki indikator High Alert sampai Very High Alert, jika sudah terlanjur membuka jalur hubungan diplomasi paling tidak hubungan kerjasamanya dibatasi dalam tolak ukur WNI yang datang kesana dibatasi tidak lebih dari 50 orang dan kerjasama ekonominya di tempatkan pada level minimum atau kecil.
Mungkin ini terdengar solusi sedikit berani tetapi saya memandang ini sebagai solusi terbaik demi menjaga keselamatan WNI dan stabilitas hubungan kerjasama bilateral Indonesia. Saya sudah melihat data statistik KBRI Khartoum bahwa mayoritas WNI kita yang tinggal disana berstatus sebagai mahasiswa yang melanjutkan studi S2, setelah mendalami data tersebut saya berhasil menemukan pola bahwasannya mahasiswa Indonesia yang tertarik kuliah di Sudan pada dasarnya sangat berminat pada studi ilmu tentang Islam dan Ilmu Bahasa Arab.
Hal ini dipertegas oleh pernyataan Duta Besar Indonesia di Sudan Bapak Sunarko pada pernyataannya tentang empat universitas unggulan di Sudan melalui berita media Sevima. Pada pernyataannya Bapak Sunarko selaku Duta Besar Indonesia di Sudan mengatakan ilmu keislaman menjadi daya Tarik tersendiri bagi mahasiswa Indonesia untuk memperdalam ilmu pendidikannya, oleh karenanya magister ilmu S2 tentang ilmu Islam dan bahasa Arab menjadi jurusan unggulan bagi yang tertarik untuk melanjutkan studi di Sudan.
Karena sekarang Sudan dilanda oleh kekacauan konflik perang sipil maka usul saya bagi pihak-pihak yang mengadakan kerjasama dengan lembaga pendidikan di Indonesia untuk kedepannya mengganti Sudan sebagai tujuan kuliah dengan negara lain yang berbeda. Bagi saya negara Turki dan Mesir dapat menjadi alternatif studi arab dan studi Islam yang baik untuk menggantikan Sudan sebagai pilihan tempat negara tujuan kuliah, beberapa faktor mengapa saya memilih Turki dan Mesir karena varian pilihan beasiswa dari kedua negara tersebut cukup banyak dan terjangkau bagi pelajar Indonesia, kemudian lebih lanjut kedua negara tersebut tidak masuk dalam kategori negara gagal seperti Sudan sehingga menempuh studi lanjut disana merupakan opsi alternatif terbaik bagi saya karena alasan keselamatan dan akses pendidikan yang bagus menjadi faktor pertimbangan penting.
Kesimpulan penutup dari tulisan saya disini ialah faktor kondisi sebuah negara harus menjadi tolak ukur penting bagi Indonesia jika ingin membuka hubungan diplomasi dan kerjasama bilateral. Negara-negara yang termasuk dalam status negara gagal dengan faktor utama seperti lemahnya peran pemerintah dalam menjaga stabilitas negaranya merupakan kode peringatan penting bagi semua pihak pemerintah Indonesia untuk selalu cermat dalam melihat kondisi kerjasama bilateral jangka panjang. Sudan merupakan sebuah negara dengan berbagai masalah kompleks seperti krisis ekonomi, konflik perang saudara, indeks korupsi yang tinggi, serta tidak adanya stabilitas kekuasaan pemerintah yang stabil.
Semua ini sudah menujukkan bahwa Sudan sangatlah tidak layak untuk dijadikan negara dengan kerjasama studi lanjut pendidikan bagi pelajar Indonesia, secara langsung masalah keamanan dan keselamatan WNI tetap harus diutamakan oleh pemerintah untuk melindungi semua masyarakatnya, oleh karenanya menurut saya semua kerjasama Indonesia dengan negara berstatus sebagai negara gagal harus dikaji kembali bahkan jangan dibuka jika belum memiliki hubungan diplomatis.
Dengan berbagai pertimbangan bagi saya studi lanjut tentang ilmu Islam dan bahasa Arab di Sudan bisa diahlikan pada negara lain sebagai alternatif, negara Turki dan Mesir bisa mejadi solusi pengganti terbaik dengan tolak ukur banyaknya beasiswa yang diberikan oleh kedua negara tersebut dan kondisi kedua negara tidak masuk dalam kategori negara gagal. Jika Indonesia berpegang pada prinsip menghindari membuka kerjasama bilateral dengan negara berstatus negara gagal saya yakin Indonesia tidak akan mendapatkan banyak kerugian dimasa depan, terima kasih.
Daftar Pustaka
WEB:
https://sevima.com/4-universitas-di-sudan-ini-bisa-jadi-pilihan-tempat-kuliah/
https://www.sipri.org/yearbook/2022/07
https://worldpopulationreview.com/country-rankings/failed-states
https://edition.cnn.com/2023/04/26/africa/sudan-conflict-explained-intl
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H