Mohon tunggu...
Glen Oktavian Turambi
Glen Oktavian Turambi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Graduate of International Relations degree.Studied History, Diplomacy, War Studies, and International Politics

Sangat tertarik dengan topik Hubungan Internasional dan strategi Geopolitik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pentingnya Sistem "Balance of Power" dalam Hubungan Internasional

16 Maret 2023   09:37 Diperbarui: 16 Maret 2023   09:42 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 http://theriskyshift.com/wp-content/uploads/2012/01/BalanceOfPower.jpg Image caption

Jika kita mengikuti berita dunia internasional dalam setahun pasca pemulihan Covid 19 yang mulai dimulai pada 2021 maka terlihat jelas dunia tidak juga menemukan titik tenang dalam hal perdamaian global melainkan terus berkonflik. Pada bulan Februari 2021 terjadi invasi Rusia pada Ukraina kemudian menciptakan bahaya resesi global, dan kedua setelah itu meningkatnya eskalasi konflik antara Republik Rakyat Cina (RRC) dengan Amerika Serikat (AS) di selat Taiwan akibat masalah prinsip pengakuan kemerdekaan.

Jika kita bisa menarik satu garis merah maka jelaslah negara dunia belum memiliki solusi perdamaian yang berkepanjangan untuk menyelesaikan sengketa internasional meskipun sebelumnya terlihat seakan bersatu menghadapi pandemi Covid 19.

Menarik sekali jika kita pikirkan mengapa negara-negara besar dunia tidak mencari posisi gepolitik yang stabil untuk mendapatkan perdamaian atau mencari cara untuk hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa adanya saling memusuhi. Jika teman-teman memiliki pemikiran yang sama dengan tulisan ini maka dapat saya katakan kita memiliki ide pemikiran yang sama terkait pertanyaan mengapa dunia tidak kunjung menemukan solusi perdamaian.

Dalam penjelasan berikut izinkan saya menjelaskan topik utama dari tulisan ini yaitu peran penting konsep "Balance of Power" (perimbangan kekuatan) dalam sistem hubungan internasional untuk perdamaian yang berkelanjutan.

Suatu ketika saat saya sedang mengikuti interview kerja di sebuah perusahaan swasta seorang yang berprofesi sebagai Human Resource memberikan saya sebuah pertanyaan menarik, setelah melihat CV saya dia tertarik dengan latar belakang ilmu HI saya dan kemudian melontarkan sebuah pertanyaan.

Pertanyaan beliau adalah "Mas kok bisa menurut kamu sampe sekarang Rusia dan Ukraina konfliknya enggak selesai-selesai?" di saat itu juga saya langsung spontan menjawab "tidak ada sistem Balance of Power dalam kawasan Eropa sebagai penyeimbang". Konsep tentang Balance of Power merupakan sebuah konsep tua dalam pandangan sejarah ilmu hubungan internasional antara negara bangsa, dalam sejarah pertama kali konsep ini diperkenalkan oleh bangsa Yunani pada zaman kuno.

Pada masa itu sejarawan terkenal Yunani yaitu Thucydides menjelasakan bahwa negara bangsa terkuat saat itu sperti Sparta, Athena, dan Thebes harus menciptakan aliansi bersama demi mencegah munculnya negara Tyrant yang mengancam semua wilayah Yunani.

Yang dimaksudkan disini ialah negara-negara tersebut dapat menemukan sebuah keuntungan jangka panjang dengan menciptakan perdamaian sesaat dibandingkan berkonflik secara terus menerus antara satu dengan yang lain, dengan kerjasama ekonomi, politik, dan militer berkelanjutan maka dalam pandangan Thucydides kawasan Yunani akan menjadi kawasan tempat peradaban maju berkembang oleh karena bersatunya semua kekuatan untuk melawan negara aggressor penngancam kawasan.

Bukan tanpa dasar konsep ini diciptakan sebagai ide sistem internasional penyeimbang bagi sebuah negara, oleh karena fungsi dan perannya dalam menciptakan perdamaian maka sebuah negara eksistensinya sangat membutuhkan stabilitas jika ingin menemukan kemakmuran.

Dalam tulisannya sejarahwan Thucydides kemudian menulis dan mencatat ide ini sebagai sebuah pedoman yang diharapkan di ikuti dan di pahami, saat itu wilayah Yunani sedang dilanda kekecauan besar karena dua kubu kekuatan besar sedang berperang.

Kubu pertama yaitu aliansi liga Delia yang diketuai oleh Athena dan sekutunya yang kedua oleh liga Peloponesia dipimpin oleh Sparta dan sekutunya, masing-masing liga ini beranggotakan beberapa negara kecil yang mendukung liga pilihannya atas dasar pertimbangan kepentingan semata.

Konflik berjalan lama dan rumit meskipun akhirnya dimenangkan oleh Sparta dan liga Peloponesia miliknya akan tetapi membuat semua negara Yunani hancur lebur. Dengan banyaknya korban jiwa menciptakan ekonomi terganggu sehingga membuat banyak negara-negara Yunani menjadi lemah secara kekuatan, akhirnya beberapa negara Yunani saat itu gagal melihat bahwa ancaman terbesar mereka semua adalah bahaya invasi Persia yang menunggu diseberang laut Mediterania.

Mampu saya simpulkan dari penjelasan paragraf sebelumnya konsep Balance of Power merupakan sistem yang membuat semua negara paham dan sadar akan kapasitas kekuatannya dan dampak perang bagi negaranya jika terus berkonflik, dengan demikian prinsip Balance of Power memberikan sugesti bagi semua negara bahwa keberlangsungan semua negara dapat terjadi jika tidak ada satu negara yang dibiarkan terlalu dominan menguasai.

Dunia internasional saat ini tidak jauh berbeda dengan situasi di Yunani dalam kisah perang Peloponesia tersebut, negara kuat seperti AS, RRC,dan Rusia kita ibaratkan sama dengan koalisi negara Athena dan Sparta yang terus saling berperang satu dengan yang lain tanpa mempertimbangkan kerugian satu dengan yang lain.

Kondisi tersebut menciptakan polemik tersendiri bagi negara kecil yang tidak memiliki andil besar dalam konflik pengaruh negara besar, negara-negara kecil seperti Indonesia karena terbatas dalam hal pengaruh politik dan ekonomi selalu berada dalam posisi sulit.   

Dalam menyikapi konflik antara Rusia dan Ukraina misalkan, Indonesia terpaksa harus memposisikan kebijakan dalam negerinya untuk menyesuaikan dengan kondisi global yang mengarah pada ancaman resesi. Presiden Joko Widodo sudah empat kali dalam pidatonya menyatakan kewaspadaan dan kesiapan APBN negara dalam menghadapi gejolak ekonomi.

Situasi global yang tidak menyenangkan tersebut memaksa Presiden Joko Widodo untuk mengerahkan semua aparatur negara agar tidak belanja keuanga negara dengan sembarangan dan selalu membeli produk lokal milik Indonesia, secara lebih lanjut menteri keuangan Indonesia Sri Mulyani sudah mengingatkan dampak resesi pada ekonomi Indonesia akan terlihat pada lemahnya roda perekonomian masyarakat dan negara.

Mampu saya katakan Indonesia bukan satu-satunya negara yang merasakan kerugian tersebut, ada banyak negara tingkat kemampuan menengah dan kecil juga ikut dirugikan akan situasi ini. Karena terbatas dengan pengaruh tersebut kita negara lemah tidak dapat menekan kekuatan negara besar yang berperang dan menimbulkan dampak besar secara global, negara yang minim dengan kekuatan akan sulit untuk melobi negara besar apalagi jika negara lemah tersebut memiliki ketergantungan dengan negara besar.

Jika kita memikirkan sejenak apakah kemudian yang dapat dan harus dilakukan? Apakah jaminannya konsep sistem internasional yang ada dari jaman Yunani kuno dapat di implementasikan pada zaman sekarang, kita semua sadar bahwa Thucydides menggambarkan konflik pada saat itu sangat berbeda dengan kompleksitas situasi dunia pada saat ini.

Mampu saya katakan konsep Balance of Power pernah ada di era modern sebagai penyeimbang kekuatan negara besar di dunia internaisonal, lebih tepatnya tidak saat pada zaman sekarang tapi pada periode perang dingin antara Uni Soviet (Rusia saat ini) dan Amerika Serikat (AS).

Pada periode itu kedua negara besar terlibat dalam konflik perang proxy di negara dunia ketiga untuk memperebutkan pengaruh dan dukungan, konflik besar seperti perang Vietnam, krisis rudal Kuba, dan perang semenanjung Korea menjadi salah satu contoh dari beberapa konflik besar era itu.

Akan tetapi Presiden AS saat itu yang bernama Richard Nixon berhasil membuat perjanjian Dtente dengan Uni Soviet sebagai solusi perdamaian antara kedua negara super power. Saat itu kesepakatan Dtente dikenal luas dengan arti diplomasi pengurangan ketegangan antara dua kekuatan besar.

Alasan mengapa AS dan Uni Soviet mampu duduk bersama menyepakati prinsip ini ialah kedua pihak mampu menciptakan sebuah batasan koprehensif terkait pengaruh kekuatan masing-masing, untuk kemudian diperlihatkan dalam bentuk saling menghormati pengaruh negara lainnya.

Batasan yang terbentuk adalah baik AS dan Uni Soviet sadar akan dampak kekuatan lawan negaranya sehingga menghormati batasan pengaruh untuk tidak mengganggu atau mengancam secara langsung kekuatan mereka, dalam hal ini AS tidak ikut campur terkait urusan politik negara-negara yang berada dalam jangkauan kubu Uni Soviet begitu juga dengan sebaliknya Soviet tidak melakukan kebijakan politik luar negeri di wilayah negara-negara pengaruh AS.

Hasil nyata dari kesepakatan prinsip ini mampu termanifestasikan dalam perjanjian SALT I dan SALT II dimana kedua negara melalui kesempatan ini setuju untuk mengurangi pembuatan dan kepemilikan senjata Nuklir dalam jumlah besar. Dalam perjanjiannya kesepakatan dan penerapan konsep Dtente dunia bukan berarti tidak ada konflik, tetap masih ada konflik di beberapa negara lain.

Akan tetapi akibat kedua negara besar sudah mampu menentukan batasan dalam mengatur pengaruhnya maka yang terjadi adalah setiap konflik di negara lain mampu terawasi dan terkontrol akibat tidak bebasnya pangaruh negara superpower untuk terjun terlibat. Baik AS dan Uni Soviet sadar akan dampak dari penggunaan senjata nuklir tentu sudah jelas, tetapi kesadaran mereka untuk menghormati batas pengaruh kekuatan negara besar yang lain dengan pengaruh yang dimiliki merupakan titik sentral dari perdamaian Dtente dengan Balance of Power sebagai struktur penyanggah.

Hasil akhir dari langkah Balance of Power tersebut pada periode Presiden Richard Nixon sampai pada runtuhnya Uni Soviet pada 1991 negara-negara dunia memiliki jaminan keamanan karena adanya ketegangan yang terbatas, konflik tidak bisa dihentikan karena merupakan dorongan eksistensi sebuah negara untuk hidup akan tetapi ia dapat diawasi dan dibatasi untuk kepentingan yang lebih baik dengan menghormati batasan kekuatan negara lain

Kesimpulan akhir dari tulisan saya ini ialah konflik global pada saat ini dan dampak yang kita rasakan merupakan efek dari tidak adanya jalan kerjasama yang jelas antara negara-negara besar yang bertikai. Negara seperti AS, Rusia, dan RRC berjalan pada jalan yang tidak jelas dan berbahaya karena tidak ada prinsip pendekatan diplomatis yang cukup kuat untuk mengatur mereka dalam berinteraksi.

Bahaya akan eskalasi konflik merupakan bahaya yang cukup berbahaya mengingat negara-negara besar tersebut dengan pengaruh yang di milikinya dapat menarik negara kekuatan sedang dan kecil untuk masuk dalam pusaran konflik, atau masuk merasakan dampak konflik yang di timbulkan.

Oleh karena itu bagi saya prinsip Balance of Power penting untuk dikaji kembali oleh para pengambil keputusan untuk menetapkan politik luar negeri yang lebih stabil dan menjamin ketenangan yang berkelanjutan. Semua negara merasakan akibat konflik ini dan harus segera menyadari pentingnya struktur keseimbangan jika kita ingin merasakan hari esok yang lebih aman, dunia seakan larut dalam pusaran konflik sehingga sama seperti bangsa Athena dan Sparta yang lupa bahwa ancaman sesungguhnya bukan lawan negara mereka tetapi Persia yang siap menyerang.

Kita melihat AS, Rusia, dan RRC berkonflik hebat dalam melebarkan pengaruh tetapi mereka seakan lupa bahaya dampak dari konflik tersebut dan eksalasinya  seperti resesi global dan krisis ekonomi, di ibaratkan sama seperti Persia di zaman Yunani kuno maka dampak resesi global tersebut bisa sangat berbahaya bagi dunia jika tidak diperhatikan, sekian dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun