" Le, Ngga.. Rungokno Bapak. Ngene yo Le, iki Bapak apene takon dilut."
Sidang dimulai. Ruang tamu itu dihadiri oleh hakim agung, yaitu bapakku; Jaksa, yaitu Mbah Kakung; Pengacaraku, yaitu Ibuk dan tersangka, yaitu aku sendiri.
"Pripun Pak?"
"Le, Kowe ki wis ndue calon opo urung to jane?" perlahan tapi pasti, aku menjawab.
"Dereng Pak." Pasti bapakku sudah menebak. Anaknya ini tidak pernah dekat dengan siapapun sejak belum merantau.
"Ngene, Le. Koncone Bapak enek sing ndue anak wadon, umur e patang tahun neng ngisormu." Terang bapak.
"Enten potone, Pak?" Rasa penasaranku tersulut.
"Yoh, lha ora enek. Aku lali ora njaluk potone. Lek awakmu gelem, langsung ae janjian neng endi ketemu, engko tak baturi." Yang dimaksud bapak adalah sistem ta'aruf.
Aku nggak menolak. Sepanjang perjalanan hidupku, aku tidak pernah menolak arahan orang tuaku. Soal sekolah, kuliah, pekerjaan, dan sekarang soal jodoh. Tak pernah sekali pun kecewa. Yakin jika pilihan mereka adalah pilihan yang terbaik. Bukan karena anaknya tak laku-laku.
#
Hari itupun tiba. Kami janjian di warung lalapan bebek Ponorogo. Kami makan dulu, karena memang lapar. Bapak sengaja tidak makan sejak berangkat demi menghindari kekenyangan.