Sebuah tulisan kegusaran yang dialami oleh seorang kader IPM bernama Rosyad Faruq dengan NBA 10.07. 45576 yang kini menjabat sebagai Ketua Umum PD IPM Kabupaten Garut.Â
Bukan tanpa sebuah alasan mengapa tulisan dalam bentuk artikel ini dimuat dan dipublikasikan secara terbuka kepada seluruh kader khususnya yang berada di Jawa Barat yang katanya terkenal oleh ide dan gagasannya yang brilian dan banyak dari ide-ide kadernya dijadikan sebuah pedoman pergerakan oleh PP IPM.Â
Semoga itu tetap masih ada hingga kini. Tulisan inipun dibuat atas kehendak pribadi yang merupakan kader IPM Jawa Barat, bukan atas nama institusi Pimpinan Daerah. Sehingga gaya bahasa pada artikel ini ditulis dengan bahasa apa adanya. Semoga tulisan ini bisa dinikmati sambil ngopi agar bisa dicermati secara nyantai tanpa amarah yang tidak jelas arahnya.
Membacalah, membacalah, membacalah. Karena kita tak lagi purba!
Bismillahirrahmaanirrahiim.
IPM Jawa Barat lagi ngapain? sebuah kalimat yang terkesan negatif untuk diucapkan, kesannya seperti mencela, merendahkan, atau apapun itu namanya. Tapi sungguh saya nyatakan bahwa tulisan ini tidak ditujukan untuk yang saya sebutkan sebelumnya, kalimat itu saya rasa adalah kalimat yang bisa mewakili apa yang saya rasakan dengan kondisi PW IPM Jabar hari ini yang saya rasa mengalami masa penurunan kualitas terutama di pos gagasan dan pergerakan.
- Samarinda Syndrome
Kegusaran saya berawal dari SamarindaSyndrome. Samarinda Syndrome sepertinya masih menjadi kabut gelap dan sebuah aib bagi kader IPM Jawa Barat. Bagaimana tidak, bayangkan saja bagaimana bangganya saat kader Jawa Barat dapat terpilih sebagai nahkoda Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang artinya menahkodai kapal-kapal IPM yang tertambat di setiap provinsi yang ada di Indonesia.Â
Namun apalah arti tatkala nahkoda resmi kita yang katanya dikudeta oleh kelompok kecil yang bernama Forum Jakarta dan dalam forum itu hadir Ayahanda PP Muhammadiyah. Saya merasa kecewa kenapa harus ada ayahanda, namun bukan kecewa karena hadirnya ayahanda PPMu didalam forum tersebut, saya kecewa karena PP IPM sudah bukan lagi menjadi ortom yang dewasa dibawah PPMu.Â
Bagaimana bisa organisasi otonom yang memiliki AD/ART sendiri untuk mengelola secara penuh dan merdeka dengan segala urusan rumah tangganya bisa diintervensi oleh pihak yang sebenarnya bukan kapasitasnya untuk ikut mencampuri urusan dapur PP IPM. Hingga singkatnya terpiplihlah nahkoda baru yang datang dari dunia antah berantah dan akhirnya menduduki kursi nahkoda PP IPM.
Inilah yang saya sebutkan sebagai Samarinda Syndrome, yang artinya adalah titik awal penurunan kualitas kader IPM Jawa Barat yang disebabkan oleh efek negatif di Muktamar Samarinda sehingga arah pola pikir kader menjadi dominan pragmatis, yang berarti untuk mencapai suatu tujuan dilakukan secara praktis lewat kekuatan struktural, dan yang kini terjadi adanya pergeseran untuk meninggalkan ide dan gagasan.
SS ini pun menjadi efek domino bagi kader-kader IPM Jawa Barat, sehingga disinyalir bahwa kader IPM Jabar kedepannya hanya mencari suatu posisi struktural tertentu dalam ber-IPM.
- SS di Forum Konpiwil
Samarinda Syndrome berubah menjadi bola panas yang berputar di Konfrensi Pimpinan Wilayah PW IPM Jawa Barat yang saat itu dilaksanakan di Islamic Center Bekasi. Bagaimana tidak, bola panas tersebut seakan menjadi sorotan utama peserta Konpiwil yang notabene-nya adalah Pimpinan Daerah se-Jabar.
"Kagok borontok, kapalang belang"Â adalah sebuah istilah bahasa sunda yang artinya terlanjur dilakukan. Peribahasa ini relevan dengan dinamika yang terjadi di forum tersebut.Â
Bagaimana tidak, isu tersebut berubah dari bola panas yang berubah menjadi senjata. Dimulai dari PP IPM yang saat itu hadir dimulai dari Ketua Umum terpilih untuk mengisi sambutan pembukaan yaitu saudara Velandani Prakoso mendapat kesan dan anggapan negatif dari kader PW IPM Jabar.Â
Kemudian, di sebuah forum Konpiwil, PP IPM yang ada dalam forum sebagai peninjau yaitu saudara Salman yang menjabat sebagai Kabid KDI dan Syahrian yang menjabat sebagai Sekbid Advokasi yang keduanya merupakan perwakilan PP IPM di forum Konpiwil. Keduanya dicecar oleh berbagai pertanyaan kader IPM Jabar dengan pertanyaan yang temanya tidak jauh-jauh dari "Bagaimana bisa terjadi ketua umum terpilih muktamar bisa digantikan lewat sebuah putusan forum di Jakarta?".
Seperti dugaan saya yang sudah diprediksi sebelumnya, teringat dengan jelas dalam benak saya bagaimana kalimat seorang negarawan Italia yang bernama Niccolo Machiavelli didalam bukunya yang berjudul Il Prince mengatakan "musuh akan selalu meminta netral, sahabat akan selalu menyatakan perang" nampak secara nyata di forum ini.Â
Perwakilan PP IPM saat itu menjawab pertanyaan tersebut secara "normatif" dan terus berusaha untuk mengalihkan topik isu yang saya rasa mereka tidak sanggup menahannya lagi, berbanding terbalik dengan peserta Konpiwil yanng ngotot untuk mendapat penjelasan yang dapat diterima oleh logika.Â
Tapi sayangnya kebanyakan peserta konpiwil belum menguasai cabang ilmu Logika Cepat sehingga terus terbawa euforia sindrom tersebut sehingga terserang demam panggung yang membuat PP IPM dicecar berbagai pertanyaan padahal seharusnya peserta Konpiwil dapat  bergerak secepat angin, bersatu seperti hutan, serang dan talukan seperti api, dan diamlah seperti gunung yang Sun Tzu katakan dalam bukunya yaitu The Art of War. Sekian penjelasan tentang Samarinda Syndrome dalam Konpiwil.
- SS di Musywil Jabar
Rhenald Khasali didalam bukunya berjudul Disruption menjelaskan arti disruption secara singkat yaitu musuh yang tak terlihat. Seperti yang sudah saya prediksi bahwa Musywil kali ini berisikan orang yang memiliki ambisi menduduki jabatan tertentu namun pastinya memegang teguh mitos bahwa memiliki ambisi jabatan di IPM itu tidak boleh dipertontonkan ke khalayak umum.Â
Musywil yang selalu terkotak-kotakan oleh identitas. Pimpinan Daerah yang berdekatan dengan ibukota dianggap Sunda blasteran Betawi, Pantura yang dengan tegas bahwa mereka itu suku Jawa tapi yah walaupun ada juga yang Sunda-nya, Priangan Timur yang katanya memegang trah asli Sunda sebagai pusat budaya sunda di Jawa Barat, Bandung Raya sebagai Ibukotanya Jabar, dan sebagainya yang kadang kalimat murahan itu membuat tertawa orang yang mengerti, bagaimana bagi seorang politisi di IPM ngos-ngosan memutar kalimat agar dapat meraup suara untuk memuluskan kepentingan dan ambisinya. Saya saksikan dinamika itu, arti dari sebuah tujuan utama dari perang adalah untuk menang.Â
Hingga pada akhirnya terpilihlah saudara Gigin Dzulgina yang menjadi Kapten bagi IPM Jabar. Tapi sayangnya, Jabar yang dulu menentang PP IPM karena urusan remeh sehingga SS menjadi musuh yang tidak terlihat dan tidak diprediksikan sebelumnya berhasil menggulingkan kerajaan tanpa perang berkepanjangan yang Sun Tzu katakan.Â
Saudara Gigin digantikan oleh Saudara Fikri Zainur yang istilahnya dalam sepakbola adalah supersub atau bintang yang tidak disangka, tapi  yang saya tegaskan saya tidak menganggap sdr.Fikri Zainur sebagai David dalam kisah David and Goliath karena Goliath disini adaah PW IPM Jabar dan David itu sendiri adalah SamarindaSyndrome.Â
Saya sendiri pun tidak mempedulikan konspirasi pasca Musywil, karena itu bukan fokus dalam tema artikel ini dan inti bagian ini adalah SamarindaSyndrome masih menjadi musuh tak kasat mata bagi kader IPM Jabar saat ini yang menyerang lewat alam bawah sadar.
- Kondisi Saat Ini
Inilah sebenarnya bagian yang terpenting dari keseluruhan ngibul diatas. Bahwa yang saya rasakan hingga hari ini adalah kekhawatiran saya akan kondisi saat ini, ketika sekretariat bukan lagi menjadi majelis ilmu, sekretariat hanyalah menjadi tempat kumpul untuk rapat sesaat. Forum-forum diskusi yang semakin jarang terlihat, kursi sofa yang banyak diduduki dan dikotori oleh kucing, bukan lagi diduduki oleh kader yang berdiskusi membincangkan syaiun hingga menemukan something, buku-buku yang usang dan berdebu karena tidak ada yang menyentuhnya, sebagian besar pimpinan yang belum bisa membedakan mana tupoksi dan program kerja, mana yang dulunya banyak mengkritik kini diam tak berkutik, kritik konstruktif yang hilang oleh  kritik destruktif bahkan kini muncul kritik fiktif.
Ditambah kurang jelasnya arah dan tujuan kebijakan PW IPM Jabar karena disetiap forum seperti Konpiwil dan Rakorda yang dirasa banyak memfokuskan pada isu seputar struktural dan kekuasaan. Bukan lagi pada ide dan gagasan.Â
Sehingga saya teringat pesan Mahbub Djunaidi yang berbunyi Seorang Politisi berfikir pemilu berikutnya, seorang Negarawan berfikir negara 100 tahun berikutnya yang artinya bisa jadi suatu saat nanti IPM Jabar hanya melahirkan politisi bukan lagi melahirkan intelektual ulama ataupun ulama intelektual..
Terakhir, saya sarankan kepada PW IPM Jabar bahwa yang perlu kita pulihkan terlebih dahulu adalah SamarindaSyndrome ini, dimulai dari struktural PW sendiri sebagai pemegang mandataris sah kader IPM Jawa Barat dan banyak mengadakan forum diskursus diberbagai kesempatan.
Semoga kita dapat memperbaiki kondisi kejumudan yang melanda Ikatan, tidak menjadi kader walaa yamuut, walaa yahya. Tidak bermutu, memakan biaya dan tidak menjadi organisasi yang rapat merapatkan apa yang akan dirapatkan pada rapat selanjutnya.
Â
"Pemuda tidak menawarkan pengalaman,
tapi Pemuda menawarkan masa depan!."
Â
Nuun WalQolami Wamaa Yasthuruun.
Â
Rosyad Faruq
10.07. 45576
Kader IPM Jawa Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H