Mohon tunggu...
Enok Roswati
Enok Roswati Mohon Tunggu... Guru - PNS, Penulis, Pebisnis

Hal terindah adalah dapat memberikan kebermanfaatan untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Perjuangan Menggapai Cinta Anak Didikku"

6 Februari 2022   12:30 Diperbarui: 6 Februari 2022   12:32 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagaimana aku mengajak mereka pada duniaku? Jika, dunia mereka saja sangat sulit untuk aku masuki. Setiap hari menghadapi mereka, bagiku adalah sebuah teka-teki yang harus dipecahkan. Perisai yang mereka bangun terlalu tinggi untuk aku gapai. Jika disepertiga malam gadis seusiaku akan meminta dipertemukan dengan jodohnya, namun aku hanya meminta satu pada Rabb-ku ijinkan aku menggapai cinta anak didikku."

-Malika Shakayla Putri Rivansyah-

"Bunda Malika... Bunda Malika... Bunda Malika..." Teriak anak-anak berlari menghampiri Malika dengan tergopoh-gopoh. Bunda dan Yanda adalah sebutan untuk Ibu Bapak Guru di sekolah tersebut. Baru saja Malika akan memasukan satu suap makan siangnya, tiba-tiba harus segera menutup bekal makan siangnya. Dengan terburu-buru menghampiri anak-anak menuju pintu ruang guru.

"Ada apa?" tanya Malika cemas. "Itu Avi dan Alfa masuk ke kamar mandi terus pintunya dikunci..." lapor kakak kelasnya. "Astagfirullahhal'adzhim..." spontan Malika menepuk keningnya. "Kamar mandi yang mana?" tanya Malika. "Kamar mandi yang ada di bawah tangga" jawab anak-anak. 'Waduh itu kan kamar mandi yang diperuntukkan untuk tamu yayasan. Ish.... dasar bocil' gerutu Malika dalam hatinya. Seribu langkah dikerahkan bersama anak-anak menuju kamar mandi tersebut.

Gadis yang baru saja menyelesaikan pendidikan S2 nya di luar negeri ini memutuskan mencari petualangan baru di dunia pendidikan. Berbekal ijazah S1 ekonominya, dia coba-coba melamar pada sebuah Sekolah Dasar Inklusi swasta di sebuah daerah yang dimiliki oleh sebuah Yayasan Pendidikan yang terkenal dengan keunikan dan keramahannya terhadap anak.

Sekolah Inklusi adalah suatu sekolah yang menyambut semua peserta didik tanpa memandang jenis kelamin, etnis, latar belakang layaknya sosial, ekonomi, hingga kebutuhan pendidikan. Semua peserta didik  dapat belajar, berkontribusi, dan melakukan semua aspek dalam kehidupan di sekolah. Intinya sekolah inklusi adalah sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus di tengah anak-anak reguler. Dalam satu kelas terdapat 1-4 orang anak yang berkebutuhan khusus dengan satu GPK, tergantung dari kebijakan sekolahnya masing-masing tentunya.

Sekolah ini memiliki cara tersendiri untuk merekrut tenaga pendidiknya, karena sekolah tersebut memiliki ciri khasnya yang unik dan berbeda dari sekolah lain pada umumnya, sehingga bagi mereka ijazah seseorang hanyalah formalitas saja, yang dibutuhkan adalah tenaga pendidik  yang memiliki kompetensi sesuai dengan atmosfir yang telah dibangun pada sekolah tersebut. Serangkaian tes yang berhasil dilewatinya, mengantarkan gadis tersebut menjadi seorang GPK (Guru Pendamping Khusus) untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Setibanya di depan kamar mandi, Malika dikejutkan dengan kehebohan anak didiknya. Lantai yang dipenuhi dengan lumpur,  sandal berantakan yang begitu kotor, juga jejak telapak tangan berlumpur  memenuhi dinding menuju kamar mandi tersebut. Malika kembali ternganga ketika melihat ABD (Alat Bantu Dengar) mereka, tergeletak di depan kamar mandi begitu saja.

'Astaga... bagaimana jika ABD ini terinjak, apa yang harus aku katakan kepada kedua orangtuanya. Satu ABD saja harganya bisa mencapai harga untuk satu buah motor keluaran terbaru dikalikan sepasang. Belum lagi biaya perawatannya, bisa terbayang berapa nominal yang harus dikeluarkan oleh kedua orangtua dua bocil ini. Waduh... habislah aku, dasar bocil...' gerutu Malika. Ya, Malika ditugaskan menjadi GPK untuk dua orang anak ABK yang memiliki spesifikasi Tuna Rungu.

Jobdesk Malika sebetulnya hanya satu yaitu mendampingi dan mendidik kedua anak didiknya saja. Sudah hampir satu bulan, anak didiknya masih belum bisa menerima kehadiran Malika di tengah mereka. Selalu ada saja, ulah dua bocil (bocah cilik) ini yang membuat Malika pusing tujuh keliling dengan berbagai tingkahnya.

Di hari pertama menjadi guru mereka, dengan terang-terangan mereka menolak kehadiran Malika. Entah tontonan darimana hingga aksi mereka meludahi Malika, menjadi hal lucu bagi mereka. Hari berikutnya, Malika harus memanjat pohon jambu untuk mengambil sandal mereka yang sengaja disangkutkan, seringkali mereka menyembunyikan sandal atau sepatu Malika, pernah pula dengan trik jahilnya, Malika dikunci disebuah ruangan namun dengan kecerdikannya, Malika akhirnya bisa keluar dari ruangan itu. Pernah pula, ketika Malika diminta membuatkan minuman oleh Kepala Sekolah untuk tamu yang datang, mereka menjahili dengan menaburkan garam pada minuman itu.

Banyak lagi ulah mereka lainnya, menghiasi guru muda ini. Setiap ulah yang mereka lakukan, akan diakhiri dengan MA (Mendengar Aktif) suatu metode yang dilakukan ketika anak didik melakukan kesalahan tanpa harus mencap dan menghakimi mereka. Mereka diminta mengeluarkan pendapatnya, memberi nama untuk perasaan mereka, hingga akhirnya mereka paham dan mengakui kesalahan yang telah dilakukan. Dengan begitu seorang anak akan merasa dihargai dan dihormati, mereka pun akan jera untuk tidak mengulangi kesalahannya.

Kasih sayang seorang Malika begitu besar untuk kedua anak didiknya. Hingga akhirnya Malika akan tertawa sendiri jika mengingat alasan mereka melakukan setiap ulahnya. Setelah harinya berakhir dengan kedua anak itu, rasanya dunia Malika kembali normal.

"Door...door...door..." Malika mencoba mencari perhatian dari kedua bocil itu, tapi mereka tak bergeming sama sekali. Sedikit mengintip dari lubang angin, membuat Malika tersenyum sendiri. Ternyata kedua anak itu sedang main air bersama. Gedoran pintu yang begitu keras, tidak mereka hiraukan selain tidak terdengar bagi meraka, juga keasyikan bermain air-lah yang membuat mereka mengabaikan gedoran pintu tersebut.

Malika terus mengawasi dari lubang angin, khawatir mereka melakukan sesuatu yang berbahaya. Mengingat diujung kamar mandi ada cairan pembersih, khawatir mereka memainkannya. Berbagai cara dilakukan untuk mencari perhatian mereka. Pintu kamar mandi yang dislot dari dalam membuat Malika kesulitan membukanya. Terlintas untuk mendobrak tapi pintunya terlalu kuat. Sudah hampir 30 menit mereka berada di dalam kamar mandi.

Saat ini anak-anak yang lain sudah masuk ke kelasnya masing-masing, tinggallah Malika seorang diri mencari cara membuka pintu itu. Kamar mandi ini terpisah dari gedung utama sekolah sehingga akan sulit menemukan orang lain berlalu lalang. Jika mencari bantuan, khawatir mereka tidak ada yang mengawasi. Tidak ada pilihan lain, akhirnya Malika berbalik hendak mencari bantuan. Langkah kakinya terhenti, ketika mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka.

"Mbuuu..." ucap Avi dengan bibir yang gemetar menghentikan langkah Malika. Avi keluar disusul Alfa masih mengenakan baju yang basah kuyup. Bahagia karena akhirnya mereka telah keluar juga dari agenda main airnya. Kesal, cemas dan lucu melihat mereka seperti anak ayam kecebur di got bercampur jadi satu bagi Malika. Segera Malika menghampiri mereka berdua.

"Sudah main airnya?" tanya Malika dengan mensejajarkan tingginya. Avi dan Alfa adalah anak kelas 1 SD, dua anak yang memiliki dunia yang sama, jika mereka bertemu seperti panci dengan tutupnya yang tidak bisa dipisahkan. Tangan dan kaki mereka sudah keriput, bibir mereka yang sudah biru, belum lagi baju mereka yang basah kuyup. Mereka diam menunduk, sorot mata Malika menelisik seolah meminta penjelasan. Avi dan Alfa mereka saling melirik, lirikan mata mereka seolah merencanakan sesuatu. Jari Avi seolah sedang berhitung satu, dua, tiga tanpa diketahui Malika.

"Bruuk..." ternyata mereka mendorong bahu Malika secara bersamaan membuat Malika tercengkal ke belakang hingga ambruk. "Aaww... Avi... Alfa... jangan lari... ganti baju dulu... " teriak Malika melihat mereka berlari.

"Bleweee..." Avi dan Alfa menjulurkan lidahnya mengejek Malika yang terjatuh, kemudian berlari sekerasnya. "Argh... dasar bocil... awas ya..." teriak Malika segera mengejar kedua anak didiknya. Malika mengerahkan tenaga sisanya berhubung belum sempat makan siang, mengejar kedua bocah itu menuju gerbang sekolah. Melihat ada satpam sekolah melintas, spontan Malika meminta bantuan.

"Bapak Satpam tolong tangkap mereka..." satpam yang sedang melintas segera berbalik dan berhasil menangkap kedua bocil tersebut. "Ayo, mau kemana lagi nih..." ucap Pa Satpam yang sudah sangat hapal dengan kedua bocah ini. "Kasihan tuh, bundanya harus lari-lari ngejar kalian" nasihat Pa satpam yang seolah angin lalu bagi dua bocil itu. Untung saja mereka masih kelas 1 dengan porsi tubuh mereka yang masih mungil memudahkan Pak satpam menangkap mereka, tapi tetap saja energi mereka yang tidak ada habisnya seperti batrai alkaline, membuat Malika kewalahan.

"Maksih ya Pa, maaf merepotkan" ucap Malika yang diangguki oleh Pa Satpam tersenyum ramah. Malika terengah-engah hampir kehabisan nafas, segera memegang kedua tangan anak didiknya. Membuat kedua bocil itu tidak bisa berkutik. "Sekarang ikut bunda..."Titah Malika yang tidak bisa dibantah lagi. 

Malika membawa mereka ke ruang Inklusi, ruang khusus yang digunakan untuk anak-anak ABK belajar apabila sudah tidak kondusif di kelas atau harus menyelesaikan Pogsus (Program Khusus) setiap anak ABK. Segera Malika mengeluarkan handuk, mengeringkan tubuh mereka yang masih basah, kemudian mengganti pakaian mereka yang masih basah dengan pakaian kering yang disimpan di loker masing-masing anak.

Karena sekolah mereka menerapkan sistem full day sehingga peralatan mereka sudah tersedia lengkap di lokernya masing-masing, termasuk pakaian ganti yang dibawa dari rumah. Minyak kayu putih tidak lupa dioleskan pada tubuh mereka agar hangat. Setelah selesai dengan pakaian yang nyaman, Malika membawakan teh hangat untuk kedua anak didiknya.

"Minumlah..." pinta Malika diiringi dengan gerak isyarat agar mereka paham. Mereka menyesap teh buatan Malika. Tampak sangat menikmati hingga gelas tersebut kosong. Malika hanya diam menatap mereka.

"Hatchi... Hatchi..." Avi mulai merasa hidungnya gatal, beberapa kali dia bersin-bersin. Berbeda dengan Avi, Alfa raut wajahnya nampak merah, rupanya Alfa demam. Malika langsung menyentuh kening mereka berdua, menghela nafas panjang.

"Tuh, kan kalian jadi sakit... sekarang bunda tanya. Setelah tadi bunda tinggal sebentar waktu istirahat siang, kalian kemana?" tanya Malika lembut diiringi dengan gerak isyarat agar mereka lebih paham. Mata teduh Malika seolah menghipnotis kedua bocil yang selalu berulah ini.

"Avi ama Afa main di kebun buat itana..." jawab Avi yang masih belum terdengar jelas dari artikulasinya. "Setelah buat istana di kebun dengan lumpur terus..." gali Malika. "Avi, Afa ma..di..." jelas Alfa. "Mandi tapi main air iya?" mereka tersenyum cengengesan.

"Tadi kenapa dorong bunda, terus kalian lari?" tanya Malika ketus, mereka menunduk. "Ta-kut bun-da ma..ah... ki-ta" aku Avi, yang diangguki Alfa. "Takut bunda marah?" mereka mengangguk kompak. "Bunda gak marah, kalian mau main tanah atau main air tadi. Tapi harusnya kalian ijin bunda dulu, agar bunda bisa menjaga kalian. Paham?" tutur Malika lembut, ada penegasan diakhir kalimatnya.

"Sekarang bunda tanya, boleh tidak kita dorong orang yang lebih tua? Apakah itu anak yang baik?" Malika meminta pendapat mereka. Kompak mereka menggelengkan kepalanya. "Menurut kalian, benar atau salah apa yang telah kalian lakukan tadi?" mereka serempak menggeleng.

"Ya, sudah nanti kita bicara lagi. Sekarang kalian tiduran dulu aja ya... bunda ambilkan makanan dan obat dulu agar kalian lekas sembuh." Malika membantu mereka berbaring di kasur yang telah disediakan di ruang inklusi tersebut. Setelah menaikkan selimut keduanya memastikan mereka tidur dengan nyaman, Malika segera melangkah ke luar. Namun, ujung hijab Malika seolah ada yang menarik, membuat Malika harus menghentikan langkahnya langsung berbalik. Rupanya tangan mungil mereka menarik hijabnya.

"Bun-da... ma... af..." ucap mereka bersamaan, mata mereka berkaca-kaca seolah air mata itu sebentar lagi akan segera mengalir. Malika terharu mendengar permintaan maaf mereka. "Avi ca-yang... bunda..." ujar Avi "Afa u-ga..."artikulasi mereka masih sangat terbatas, namun Malika mampu memahami bahasa mereka. Malika segera terduduk dan merentangkan tangannya menyambut mereka. Kedua bocil yang selalu membuat ulah itu akhirnya berhamburan dalam pelukan Malika.

"Bunda juga sayang kalian... janji ya sama bunda mulai sekarang mau jadi anak yang baik..." kepala mereka mengangguk dalam pelukannya. Malika mengurai pelukannya sembari menyodorkan jari kelingkingnya, mereka menyambutnya 'janji jari kelingking' itulah yang biasa mereka lakukan diakhir MA yang telah dilakukan, namun tidak jamin akan tidak terulang lagi. Hehehe... begitulah anak-anak mudah meminta maaf, memaafkan, dan melupakan sesuatu.

***

Setelah selesai memberi makan dan obat pada kedua anak didiknya. Memastikan mereka tertidur terlebih dahulu, barulah Malika harus segera beranjak untuk menyelesaikan kekacauan yang telah dibuat kedua bocil itu, walau kesal sayangnya Malika sudah terlanjur jatuh cinta pada kedua anaknya. Mereka dengan dunia imajinasi yang begitu luas, terkadang sulit untuk menjadi jalan pikiran orang dewasa.

Dimulai dengan membersihkan kebun dengan banyak daun dan ranting yang mereka sebut dengan membuat istana. Setelah dilihat, Malika menggelengkan kepalanya sendiri. Bagaimana mungkin sebuah istana yang mereka sebut itu ternyata adalah sebuah lubang besar yang dikelilingi daun dan ranting pohon, juga beberapa botol kemasan minuman yang tergeletak seperti sudah diisi air. Tampak tanah menjadi basah membuatnya menjadi lumpur. Khawatir ada yang celaka dengan ulah mereka, akhirnya Malika menutup lubang itu dengan tanah dan menyapu daun, ranting, dan botol yang berserakan hingga tempat itu bersih kembali.

Setelah selesai urusan dengan kebun, sekarang Malika harus membersihkan kamar mandi dengan semua kekacauannya. Mulai dari dinding sepanjang jalan menuju kamar mandi yang harus dibersihkan, meletakkan kembali barang-barang yang ada di kamar mandi pada posisi semula, membersihkan dinding yang dipenuhi dengan busa, hingga harus membersihkan sandal mereka yang dipenuhi dengan lumpur. Rasanya Malika sudah lelah, peluh bercucuran di keningnya. Pekerjaan yang tersisa tinggal membersihkan lantai di luar kamar mandi.

            

"Tap... tap... tap..." sebelum Malika membersihkan lantai, terdengar suara langkah yang mendekati dirinya. Refleks Malika segera berbalik, didapatinya dua bocil itu tengah memegang alat pel. "Lho, sudah bangun..." Malika meresa heran dengan kehadiran dua orang anak itu, segera menyentuh kening dua anak itu memastikan jika demamnya sudah turun.

Tiba-tiba tangan Malika dituntun oleh kedua anak itu, memintanya untuk istirahat dan duduk di kursi tidak jauh dari sana. "Kalian mau apa?" tanya Malika yang masih belum paham maksud mereka. "Ba-tu... Un-da..." jawab Alfa, Avi membusungkan dadanya jumawa. Malika menaikan sebelah alisnya seakan belum mempercayai niat mereka.

Selintas Malika terpikir apa ini trik mereka untuk main air lagi ya... jangan sampai terjebak lagi dengan akal bulus kedua anak yang terlampau kreatif ini. Namun, jauh diluar dugaan, ternyata mereka memang membersihkan lantai itu dengan benar. Malika hanya memperhatikan saja, karena kedua anak itu melarang gurunya untuk melakukan. Ternyata hari ini, mereka belajar tentang bertanggung jawab atas perbuatannya.

"Yeah.... Alhamdulillah, sudah selesai pekerjaannya..." teriak Malika ketika kedua anak itu meletakkan alat kebersihan di tempatnya. Kedua anak itu segera menghampiri dan memeluk bundanya. "Terima kasih ya, anak-anak bunda yang ganteng sudah bantu bunda" senyum merekah terlukis diwajah guru muda itu.

"Kruyuk... kruyuk... kruyuk..." terdengar bunyi perut yang minta segera diisi dari kedua anaknya bersahutan. "Laper lagi..." tanya Malika lembut yang diangguki mereka berdua, walau awalnya mereka menggeleng karena malu, tapi akhirnya mengangguk dengan mengerjapkan kedua matanya. "Hahaha...." mereka bertiga akhirnya tertawa bersama. "Yuk, kita ke dapur bunda masakin sesuatu, terus kita makan..." ajak Malika menggandeng tangan kedua bocil dengan riangnya.

Kegiatan hari ini diakhiri dengan makan sepiring nasi goreng buatan Malika bersama kedua anak didiknya. Tawa canda menghiasi meja makan di dapur itu, banyak pelajaran baru yang didapat kedua anak didiknya hari ini. Pelajaran hari ini jauh lebih berharga dari sebuah pelajaran akademik yang mereka tinggalkan selepas istirahat siang. Pelajaran tentang nilai kehidupan, akan jauh lebih berharga untuk menjadi bekal masa depan mereka, dibanding selalu memaksakan tuntutan akademik yang terlalu berat bagi mereka.

'Kunci menggapai cinta anak didikku, ternyata adalah kesabaran untuk memberikan mereka waktu menerima kehadiran orang baru dalam dunia mereka. Mereka adalah anak yang sangat peka dengan sebuah rasa, kasih sayang yang tulus adalah jalan memasuki dunianya. Mendidik dengan hati adalah cara menarik mereka pada dunia nyata.' 

"Catatan Guru Pendamping Khusus"

-Malika Shakayla Putri Rivansyah-

*** Selesai ***

Terima kasih bagi yang telah berkunjung membaca cerpen ini dari awal hingga akhir. 

Masih ingin membaca petualanga Ibu guru Malika bersama dua bocil berikutnya? 

Yuk, tinggalkan komentar... dukungan para pembaca akan menambah semangat penulis, untuk menuliskan cerita baru berikutnya... ^_^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun