Lebih sebulan Suparto menumpang di rumah pamannya. Dia sangat malu. Meski pamannya memaklumi, tentu saja dia mesti cepat-cepat minggat.Â
 "Tak perlu terburu-buru, Nak. Anggap saja ini rumah sendiri. Carilah kontrakan saat kau sudah kerja nanti" Kata pamannya selalu.
 Persetan dengan bekerja! Dipanggil interview saja belum pernah, bentaknya sambil membanting amplop coklat yang berisi berkas-berkas lalu menginjak-injaknya---dia selalu gagal karena tak punya: orang dalam, pengalaman, atau uang menyogok. Kemudian, Suparto mohon diri pada pamannya. Sudah dikepak pakaiannya ke dalam tas; gitar kesayangannya ditenteng. Dia meninggalkan rumah pamannya. Melangkah semakin jauh.
 Sampai malam mengapung di langit, Suparto terus melangkah. Sejak pagi hingga sekarang, dia bertanya pada orang-orang, adakah seorang yang mengontrakkan kamar, dan tak seorang pun menjawab: ada. Bulan pucat di kelilingi bintang-bintang kelabu di langit. Kini, dia melangkah di sisi pabrik menjulang. Itulah di antara pabrik yang mencari pekerja tapi mesti yang sudah berpengalaman, sehingga menolak orang-orang macam Suparto.Â
 Hingga dia tiba di terminal bus. Dia menatap pengamen-pengamen bersuara buruk dan berantakan petikan gitarnya. Mereka sekadar menjual tampang duka. Dia merogoh sakunya, dan mendapati uangnya sedikit---hanya cukup untuk makan dua hari. Di sanalah dia mulai memetik gitarnya yang sedari tadi ditenteng. Dia menyanyikan lagu. Kelak dia akan menjual gitarnya, lalu membeli gitar kecil. Â
Begitulah awalnya Suparto jadi pengamen.
***
Mudah saja bagi ayah dan ibu Pras menggelontorkan uang untuk anak sulung itu. Keduanya guru. Di negara maju begitu, gaji guru terbilang besar. Memang begitu seharusnya, karena ilmu sejatinya sangat mahal! Dan, keduanya sangat senang, karena sudah terukur ke arah mana masa depan Pras. Tapi, tetap saja keduanya campur tangan di setiap langkah Pras.Â
"Kau mesti menyebarkan ilmu musik itu, Nak." Kata ibunya.Â
"Ya, aku sepakat. Aku akan mendaftarkanmu jadi guru musik di suatu sekolah." Kata ayahnya.Â
Pada akhirnya Pras menerima keputusan demikian meski ia telah menolaknya ulang-alik. Yang penting ia bisa terus menyanyi dan memetik gitar serta harpa; pun menggesek biola. Ia kemudian jadi pengamen jalanan. Selembar sertifikat sekolah musik dan bakatnya, membuatnya jadi seniman jalanan yang resmi.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!