Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sarjana S-1

Cerpen pertamanya: Bentuk Sebuah Barokah memenangkan lomba cerpen se-kabupaten tingkat santri. Cerpennya: Putri Kuning memenangkan lomba cerpen nasional tingkat mahasiswa. Cerpennya: Mengapa Perempuan Itu Melajang terbit di media nasional Kompas.id (Rabu, 16 Oktober 2024). Cerpennya: Hutan Larangan Cak Badrun terbit di Instagram Cerpen Sastra. Tiga kali juara sayembara cerpen di Kompasiana yang diadakan Pulpen. Cerpennya Bintang Kehidupan dibukukan oleh Gramedia bersama cerpen pemenang sayembara lainnya. Penikmat sastra (novel; cerpen; esai). Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Pengamen

11 November 2024   18:53 Diperbarui: 11 November 2024   18:53 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Lebih sebulan Suparto menumpang di rumah pamannya. Dia sangat malu. Meski pamannya memaklumi, tentu saja dia mesti cepat-cepat minggat. 

 "Tak perlu terburu-buru, Nak. Anggap saja ini rumah sendiri. Carilah kontrakan saat kau sudah kerja nanti" Kata pamannya selalu.

 Persetan dengan bekerja! Dipanggil interview saja belum pernah, bentaknya sambil membanting amplop coklat yang berisi berkas-berkas lalu menginjak-injaknya---dia selalu gagal karena tak punya: orang dalam, pengalaman, atau uang menyogok. Kemudian, Suparto mohon diri pada pamannya. Sudah dikepak pakaiannya ke dalam tas; gitar kesayangannya ditenteng. Dia meninggalkan rumah pamannya. Melangkah semakin jauh.

 Sampai malam mengapung di langit, Suparto terus melangkah. Sejak pagi hingga sekarang, dia bertanya pada orang-orang, adakah seorang yang mengontrakkan kamar, dan tak seorang pun menjawab: ada. Bulan pucat di kelilingi bintang-bintang kelabu di langit. Kini, dia melangkah di sisi pabrik menjulang. Itulah di antara pabrik yang mencari pekerja tapi mesti yang sudah berpengalaman, sehingga menolak orang-orang macam Suparto. 

 Hingga dia tiba di terminal bus. Dia menatap pengamen-pengamen bersuara buruk dan berantakan petikan gitarnya. Mereka sekadar menjual tampang duka. Dia merogoh sakunya, dan mendapati uangnya sedikit---hanya cukup untuk makan dua hari. Di sanalah dia mulai memetik gitarnya yang sedari tadi ditenteng. Dia menyanyikan lagu. Kelak dia akan menjual gitarnya, lalu membeli gitar kecil.  

Begitulah awalnya Suparto jadi pengamen.

***

Mudah saja bagi ayah dan ibu Pras menggelontorkan uang untuk anak sulung itu. Keduanya guru. Di negara maju begitu, gaji guru terbilang besar. Memang begitu seharusnya, karena ilmu sejatinya sangat mahal! Dan, keduanya sangat senang, karena sudah terukur ke arah mana masa depan Pras. Tapi, tetap saja keduanya campur tangan di setiap langkah Pras. 

"Kau mesti menyebarkan ilmu musik itu, Nak." Kata ibunya. 

"Ya, aku sepakat. Aku akan mendaftarkanmu jadi guru musik di suatu sekolah." Kata ayahnya. 

Pada akhirnya Pras menerima keputusan demikian meski ia telah menolaknya ulang-alik. Yang penting ia bisa terus menyanyi dan memetik gitar serta harpa; pun menggesek biola. Ia kemudian jadi pengamen jalanan. Selembar sertifikat sekolah musik dan bakatnya, membuatnya jadi seniman jalanan yang resmi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun