Tak ada riwayat Nusman menjadi paskibra semasa sekolah dulu. Badannya kecil hingga tongkat stand microphone mesti dipendekkan. Beberapa hari yang lalu dia dan istrinya berlibur ke Korea Selatan. Mulus sekali jalan hidupnya. Meski tak punya bakat mengelola yayasan, sekonyong-konyong dia menjadi pewaris pemilik yayasan. Dia anak cowok sendiri di keluarganya, dan paling tertua.
Nusman melangkah. Tubuhnya digagah-gagahkan menantang matahari, padahal tubuhnya tak pantas berjalan begitu. Langkah kakinya diderap-derapkan, dan tampak kaku gerakannya. Menaiki tangga gelanggang.Â
Sebelumnya, dia telah menghafal kertas pidato yang dikarang oleh kawannya seorang penulis. Akan membacakannya saat ini. Dia juga sudah tahu apa-apa yang mesti dilakukan pembina upaca, lewat menontonnya di Youtube. Karena kalau bertanya ke guru-guru---bawahannya---akan sangat malu.Â
Dia mengecek microphone, "cek cek cek," lalu menyampaikan salam dan penghormatan. Di tengah-tengah pidatonya, sekonyong-konyong dia menatap suatu yang ganjil. Serangga-serangga seolah mengerubungi kepalanya. Dia menatap kepala guru-guru honorer itu meleleh, serupa es batu mencair di bawah matahari. Murid-murid di seberang sana, terperangah. Baik yang menjadi paskibra atau anggota upacara. Ingatannya mengembara pada uang sekolah yang dia korupsi untuk keperluan hasratnya. Dan, jiwanya terganggu. Dia selalu diliputi rasa bersalah hingga sering berhalusinasi. Apakah demikian suatu kemerdekaan? Â Â Â Â Â
Surabaya, 30 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H