Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Pembaca sastra (novel; cerpen; esai), pendengar kajian filsafat dan musik, penonton kearifan lokal; sepak bola timnas Indonesia; kartun, pemain game Mobile Legends. Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kupu-kupu Biru

17 Agustus 2024   15:34 Diperbarui: 17 Agustus 2024   16:49 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayup-sayup kelopak mataku menguak. Tatkala sempurna terbuka, bola mataku menatap Sekar Dara, Istriku, yang berdiri di samping pintu kamar. Sekonyong-konyong aku teringat perempuan bermuka manis; rambut dikuncir kuda; kulitnya kuning langsat, semalam, dalam mimpiku. Pada saat bersamaan, perutku terasa bergejolak, terwujud sesuatu yang saling berperang.

 Aku tak mampu menahan kecamuk itu. 

 Syahdan, aku muntah-muntah di atas kasur. 

"Kalau tak enak badan, istirahat saja, Kak. Tak usah pergi ke kampus. Biar aku yang mengantar Mirna berangkat sekolah." Kata Sekar Dara. 

"Tidak. Tidak. Badanku baik-baik saja." 

Tanpa memandang Sekar Dara lagi, aku mengayunkan kaki menuju kamar mandi. 

Tatkala air yang aku tadah---beberapa kali---dalam gayung mengguyur tubuhku, ingatanku berserobok pada mimpi semalam. Betapa indahnya perempuan itu. Berkali lipat lebih cantik dari Sekar Dara. Sekilas, rupanya mirip Dewi Sri, tapi, kecantikannya juga berkali lipat melebihi Dewi Sri. 

Aku mengambil sabun pada tempat sabun yang melekat di dinding. Busa-busa sabun memenuhi telapak tanganku. Aku pegang kemaluanku yang sudah mengeras. Serta-merta, aku ingat kalau ini perbuatan negatif dan aku bisa melampiaskan hasrat pada Sekar Dara. Serta-merta, perempuan dalam mimpi semalam hadir di anganku dalam keadaan telanjang. 

***

Lapar menghantam perutku. Maka, aku memutuskan mencari rumah makan. Tak lama, setelah menemukannya, aku menepikan motor Supra X yang aku tunggangi, pada tempat parkir rumah makan, di pinggir sungai susu. Separuh rumah makan berdinding kayu yang luas ini di pinggir sungai susu, dan separuhnya lagi menjorok ke sungai susu. 

Di sini, semua pelanggan laki-laki tampan. Sementara, semua pelanggan perempuan cantik. Kalau dilihat-lihat, perkiraan mereka semua berumur tiga puluhan tahun. 

Pelayan cantik menghampiri mejaku. Aku menyampaikan menu: nasi jagung dan bebek bumbu hitam. Ya, semua menu tersedia di sini. Di meja seberang sana, seorang lelaki tampan dan perempuan cantik menyantap pizza. Di meja lain ada yang terhidang: hamburger, spageti, pai, sandwich, nasi bukhari, ramen, dimsum, nasi lemak, nasi uduk, nasi jollof, vegemite, dan entah apalagi pandanganku tak bisa menjangkau seluruh pelanggan---tak mungkin aku berkeliling dan memandang ke meja mereka satu persatu.

Di tengah menyantap menu yang sudah diantar pelayan perempuan, aku menatap lanskap sungai susu. Di atasnya, aku tak henti-hentinya memandang kupu-kupu yang mengepakkan sayap ke sana kemari, yang memendarkan cahaya biru persis cahaya kunang-kunang. Sekonyong-konyong kupu-kupu itu terbang mendekat. Makin mendekat; terbang memasuki rumah makan ini---masuk melalui sisi rumah makan tanpa dinding yang menjorok ke sungai susu. 

Tampaknya, hanya aku seorang di dalam sini yang fokus memandang kupu-kupu itu. 

Kupu-kupu yang terbang berkitar-kitar itu moksa. 

Wujudnya berubah. 

Pendar cahayanya meraksasa. Badan lalu tangan lalu kaki lalu kepala, terbentuk dari kemilap biru. Menjadi wujud perempuan.  

Wajah perempuan itu sangat manis. Wajahnya di puncak kecantikan. 

Payudaranya menyembul. Terlihat kemontokannya---karena sedikit tersingkap pakaian bagian dada. Tubuhnya tak ramping dan tak gendut, melainkan sedang dengan lekukan seksi. Rambut panjangnya dikuncir kuda. Kulitnya tak putih dan tak hitam, melainkan kuning langsat. 

Indah sekali. Demikian seksi. Tak pernah aku menatap perempuan seindah dan seseksi itu. 

Sekilas saja, sekian detik saja. 

Kemudian tubuh seksinya dilahap cahaya kebiruan. Moksa; kembali menjelma kupu-kupu. Mengepakkan sayap; menjauhi rumah makan ini. Meski keindahan perempuan itu sudah menjauh dari bola mataku, tapi bayangnya tetap tertinggal di ingatanku---tak kunjung sirna. Menumbuhkan perasaan, yang sama, yang sama, sebagaimana pada Dewi Sri dahulu kala. 

Ah, sial! Aku tak mampu menangkap kedua pencuri hatiku itu.

Ketika aku menyapukan pandangan ke sekeliling, serta-merta aku terperanjat dan kebingungan. Para pelanggan perempuan, pelayan perempuan, serta kasir perempuan, warna kulit mereka berubah hitam serupa jelaga, keseksian tubuh mereka (pada payudara dan bokong dan bodi) mengempis, wajah mereka kosong: tanpa mata tanpa hidung tanpa bibir, rambut mereka memutih dan awut-awutan. 

Syahdan, aku tak mampu menatap rupa buruk mereka berlarut-larut. 

Sekonyong-konyong, aku bangun dari tidur lalu muntah-muntah tatkala memandang Sekar Dara.

Sepanjang perjalanan ke sekolah dasar Mirna (anak keduaku dan Sekar Dara yang berumur delapan tahun) mimpi semalam dan kejadian muntah-muntah tadi pagi terus terngiang-ngiang. Dua kali, pagi ini aku muntah-muntah. Bukan karena aku merasa tak enak badan. Aku merasa badanku sehat. Muntah-muntah yang pertama ketika bangun tidur---di atas kasur, dan muntah-muntah yang kedua---di depan pintu rumah---ketika berpamitan: hendak berangkat mengantar Mirna lalu ke kampus; seusai mencium kening Sekar Dara.

***

"Setelah wisuda nanti, aku akan segera menikahimu, Sri."

"Ya, aku menunggu momen bahagia itu, Damsi." 

Janjiku yang ulang-alik aku ucapkan pada Dewi Sri, tak pernah tergapai. Kisah cinta kami hanyalah semburat kenangan. Kami tak bisa hidup bersama karena keluargaku tak sepakat aku menikah dengan orang yang bukan serumpun. 

Merepotkan menyatukan dua adat dalam perhelatan pernikahan nanti dan menghabiskan banyak biaya, dalih keluargaku. 

Dewi Sri memahami geliat ketidaksepakatan itu. 

Dia menjauhiku kala itu. Aku berharap dia hadir dalam wisudaku S1. Tapi, dirinya sama sekali tak muncul. Katanya, dia malu bertemu keluargaku. Dan, aku terus berharap dia kembali hadir dalam hidupku. Mengisi kekosongan cintaku. Pada wisudaku S2, lagi-lagi dia tak datang. 

Maka, tanpa cinta, dengan terpaksa, aku menyetujui perjodohan yang ditetapkan keluargaku dengan orang serumpun bernama Sekar Dara. Ya, aku akui Dewi Sri sebenarnya kalah cantik ketimbang Sekar Dara. Kulit Dewi Sri agak gelap. Sementara, kulit Sekar Dara putih. Bukan hanya itu, dari banyak sisi, kecantikan Sekar Dara melebihi Dewi Sri. 

Namun, meski begitu, sampai sekarang, sampai mempunyai tiga anak, Sekar Dara belum memekarkan cinta di hatiku. Kasih sayang yang aku berikan selama ini sebatas kepalsuan; aku bersembunyi di balik topeng kemunafikan.  

Lamunanku lamur. Ini saatnya masuk kelas. Dosen perempuan muda menyapa dan mengajakku mengobrol. Demi menjaga kesopanan, aku meladeninya. Sekonyong-konyong sesuatu di dalam perutku bergemuruh bagai ombak. Aku merasa mual. Aku pamit padanya, bergegas ke kamar mandi, lalu berjongkok sambil muntah-muntah.

Kemudian, cepat-cepat aku mengambil tas laptop di kantor, lalu masuk ke dalam kelas. Para mahasiswa aku perintah membaca doa. Aku membuka laptop. Aku berdiri di hadapan mereka. Ketika memandang deretan mahasiswa perempuan, aku tak sanggup melanjutkan bicara. 

Sesuatu dalam perutku memukul-mukul. Ada yang bergelegak di sana. Hendak melesak keluar. 

Syahdan, aku muntah-muntah di depan mereka.      

Kemudian, aku pulang. Izin mengajar hari ini. Dan, aku sepenuhnya meringkuk di atas kasur—istirahat.

***

Tubuhku moksa; menjelma kupu-kupu yang memendarkan cahaya kuning. Aku mengepakkan sayap. Mengejar kupu-kupu biru yang terbang menuju sungai anggur merah. 

Aku tak ingin kembali ke dunia yang penuh kepalsuan. 

Biarlah di sini wujudku sebagai apapun, lebih baik daripada menjadi manusia tanpa makna tanpa cinta, yang hanya menjalani hidup. 

Aku tak ingin sayup-sayup kelopak mataku terbuka; melempar diriku ke dunia yang membosankan. Andai kata, dahulu, aku bisa menikahi Dewi Sri, barangkali hidupku tak mungkin seburuk ini. 

Sayapku terus mengepak. Berusaha sekuat mungkin menggapai kupu-kupu biru yang terbang kian menjauh itu. Aku ingin, aku ingin, mencium bibir kupu-kupu biru yang sangat cantik itu. Sekilas (kalau dia berubah wujud menjadi perempuan) bibirnya mirip Dewi Sri. 

Ah, sial! Aku tak pernah bisa mendapatkan dua bibir indah itu.

Kupu-kupu biru itu berhenti di dekat bukit hijau. Mengisap nektar bunga yang mekar. 

Sekonyong-konyong kupu-kupu biru itu menjelma perempuan bermuka manis ... dan, tubuhku serta-merta memendarkan cahaya kuning yang meraksasa---seperti yang sebelumnya terjadi pada kupu-kupu biru itu. Aku menjelma manusia kembali. Aku mengejar perempuan bergaun biru itu, yang sedang berlari-lari kecil. 

Hap, aku berhasil memeluk tubuhnya yang berada di puncak keindahan dan keseksian. 

Kami berpelukan hangat. Menggeliat di atas tanah berumput tipis seperti tanah lapangan sepak bola.       

Jikalau Nabi Idris saja meninggalkan sandalnya agar bisa kembali lagi ke tempat ini, maka aku tak ingin sedetik saja kembali pulang, untuk merawat dunia yang bagai taman tak berbunga. Aku tak ingin kembali bangun dari mimpi indah ini; aku ingin selamanya tinggal di sini. 

Sayup-sayup kelopak mataku menguak ....   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun