Dewi Sri memahami geliat ketidaksepakatan itu.Â
Dia menjauhiku kala itu. Aku berharap dia hadir dalam wisudaku S1. Tapi, dirinya sama sekali tak muncul. Katanya, dia malu bertemu keluargaku. Dan, aku terus berharap dia kembali hadir dalam hidupku. Mengisi kekosongan cintaku. Pada wisudaku S2, lagi-lagi dia tak datang.Â
Maka, tanpa cinta, dengan terpaksa, aku menyetujui perjodohan yang ditetapkan keluargaku dengan orang serumpun bernama Sekar Dara. Ya, aku akui Dewi Sri sebenarnya kalah cantik ketimbang Sekar Dara. Kulit Dewi Sri agak gelap. Sementara, kulit Sekar Dara putih. Bukan hanya itu, dari banyak sisi, kecantikan Sekar Dara melebihi Dewi Sri.Â
Namun, meski begitu, sampai sekarang, sampai mempunyai tiga anak, Sekar Dara belum memekarkan cinta di hatiku. Kasih sayang yang aku berikan selama ini sebatas kepalsuan; aku bersembunyi di balik topeng kemunafikan. Â
Lamunanku lamur. Ini saatnya masuk kelas. Dosen perempuan muda menyapa dan mengajakku mengobrol. Demi menjaga kesopanan, aku meladeninya. Sekonyong-konyong sesuatu di dalam perutku bergemuruh bagai ombak. Aku merasa mual. Aku pamit padanya, bergegas ke kamar mandi, lalu berjongkok sambil muntah-muntah.
Kemudian, cepat-cepat aku mengambil tas laptop di kantor, lalu masuk ke dalam kelas. Para mahasiswa aku perintah membaca doa. Aku membuka laptop. Aku berdiri di hadapan mereka. Ketika memandang deretan mahasiswa perempuan, aku tak sanggup melanjutkan bicara.Â
Sesuatu dalam perutku memukul-mukul. Ada yang bergelegak di sana. Hendak melesak keluar.Â
Syahdan, aku muntah-muntah di depan mereka. Â Â Â
Kemudian, aku pulang. Izin mengajar hari ini. Dan, aku sepenuhnya meringkuk di atas kasur—istirahat.
***
Tubuhku moksa; menjelma kupu-kupu yang memendarkan cahaya kuning. Aku mengepakkan sayap. Mengejar kupu-kupu biru yang terbang menuju sungai anggur merah.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!