Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan

Membaca adalah bagian dari hidup saya, terutama karya-karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Musabab Membunuh Muntaha

13 Juli 2024   18:45 Diperbarui: 13 Juli 2024   19:11 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Toa masjid mengudarakan kematian Muntaha di pagi yang masih basah, di akhir Januari. Beberapa menit sebelumnya, Abdul Malik mendapati seonggok mayat terkapar, di depan kuburan desa. Darah menggenang. Penyebabnya luka-luka sayatan di badan dan kepala yang bocor. Merah pekat menyedihkan. Abdul Malik tergopoh-gopoh mengabari warga desa. Lalu ada yang menelepon polisi dan supir ambulans, pergi ke masjid, dan berkerumun di sekitar mayat. Belum habis keterperangahan mereka atas pembunuhan misterius, dua hari setelahnya jatuh kabar: saya, seorang guru PAUD dan sekolah negeri di kota, menyerahkan diri ke polisi karena mengaku sebagai pembunuh Muntaha! 

Ini sungguhan. Saya sedang tidak gila atau kerasukan dan tidak dituduh apalagi dicurigai siapa pun. Warga desa tak akan menyangka. 

"Siapa yang menyuruhmu mengakui kejahatan yang tak kau lakukan?" Kiai Badar menanyai saya.

"Mohon maaf Kiai, memang saya pelaku pembunuhnya." 

"Kau diancam siapa Badrus? Katakan Badrus. Uang berapa yang diberikan pengancam itu padamu Badrus. Aku tak percaya kau pelakunya," demikianlah Kiai Badar bergeleng-geleng kepala, tak percaya. Warga lain pun sama. 

Saya pendatang di desa ini. Saya memperistri Badriyah, putri pemilik lembaga SD dan PAUD di desa ini. Selanjutnya saya resmi menjadi penduduk dan mengabdi di desa ini. Desa yang banyak monyet-monyet berkeliaran, di sawah, di sungai, di hutan bambu, dan di dekat kuburan desa. 

"Mengapa banyak monyet di sini? Tanya saya pada Istri, Badriyah. 

"Entahlah, tapi terceritalah, konon dahulu kala ada pangeran monyet yang membuat perjanjian dengan Bhuju' Perreng[1] agar kaum monyet bisa hidup berdampingan dengan manusia di sini." Jawab Badriyah. 

Tak ada yang berani memelihara monyet di desa ini. Semacam menjadi pantangan. Tapi lain dengan Muntaha, dialah satu-satunya orang yang memelihara monyet. Desas-desusnya, monyet itu didapat dari menangkapnya di hutan bambu. 

****

Lima belas tahun saya akan mendekam di balik jeruji ini. Umur saya masih dua sembilan. Saya akan bebas di umur empat dua. Sebab sudah setahun saya di sini. Saya satu sel dengan Pak Ganjar. Umurnya lebih dari setengah abad. Wajahnya menenangkan, orangnya baik, dan berbudi juga. 

Pernah saya tanyai, "atas kesalahan apa bapak di penjara?" 

Jawabnya, "saya kepergok mencuri setandan pisang lalu dilaporkan. Pemilik toko buah itu orang kaya, sebabnya saya dijebloskan ke sini."

Kami para napi dikumpulkan ketika jam kerja, mandi, makan, dan upacara. Hingga saya banyak mengenal mereka dan kejahatan yang mereka perbuat. Saya memang pandai bersosial. Mencari kawan banyak-banyak. Di desa pun saya bergaul dengan yang muda dan yang tua. Saya heran betul, ini penjara satu-satunya di kota ini, tapi tak saya temukan dua pejabat kota yang diberitakan korupsi dua bulan lalu---kabar ini saya dapat dari Badriyah yang Minggu lalu berkunjung bersama ayah mertua. Entah berada di penjara mana dua koruptor itu. Barangkali penjara di kota lain yang lebih seram, atau ... Entahlah saya tak ingin buruk sangka. Semoga mereka menerima hukuman setimpal. 

Saat saya berkomunikasi dengan beberapa napi, memang betul mereka bertindak kriminal karena melarat, terhimpit kebutuhan. Barangkali rata-rata napi di penjara ini pun melarat. Merampas dan mencuri, tetap kejahatan, tapi perut yang laparlah jadi musabab. Saya tak setuju dengan kejahatan tapi sisi lain hati saya teriris mengetahui musababnya. 

Lebih besar dosa saya daripada dosa mereka. Saya membunuh murni rencana saya sendiri. Barang siapa membunuh sesama muslim, ibarat membunuh seluruh umat muslim, demikian tutur Nabi Muhammad. Saya nian menyesalinya. Andai waktu bisa saya putar kembali. Andai saja.... 

Di penjara saya tetap meneruskan hobi membaca dan menulis. Badriyah dan keluarga kala membesuk saya, tentu membawa buku. Mereka tahu saya suka buku. Oh, iya, terbersit ide. Saya akan mengarang cerpen dan akan saya kirimkan ke media masa seperti yang sudah-sudah. Kali ini kisah saya sendiri yang akan saya tulis. Hari Minggu mendatang, ketika Badriyah dan keluarga menjenguk, akan saya serahkan naskahnya agar diketik oleh Badriyah lalu dikirimkan ke media masa lewat email. 

Seutas senyum di bibir saya. Saya mulai menulis begini:

Toa masjid mengudarakan kematian Muntaha di pagi yang masih basah, di akhir Januari. Beberapa menit sebelumnya, Abdul Malik mendapati seonggok mayat terkapar, di depan kuburan desa.... 

****

Saya menenteng celurit. Malam kelam tanpa rembulan. Angin berkesiur merinding. Suara binatang malam bersahut-sahutan. Muntaha melangkah di jalan setapak, depan kuburan desa, ke arah barat. Saya mengendap-ngendap. Saya sudah tahu akan ke mana dia melangkah dan kekejian apa yang akan dia perbuat di masa mendatang. 

Jantung saya berpacu bagai lari kuda liar. Saya belum pernah merasakan sensasi ini. Kini saya sudah lima langkah di belakang Muntaha. Dia tak bersenjata. Berjalan bersandal jepit, bersarung coklat, dan berkaos abu-abu. Dia menghentikan langkah. Sadar ada yang berjalan di belakangnya. 

Ketika dia menengok ke belakang, teriakan panjang memohon ampun dan minta pertolongan. Melolong-lolong. Sayangnya kuburan itu jauh dari rumah-rumah penduduk. Pergulatannya adalah dia tak sempat menghindar! Saya jatuhkan dia ke tanah. Saya sayat-sayat seluruh tubuhnya. Saya bacok kepalanya. Dia melolong-lolong kesakitan. Membunuh sepinya malam. Lambat laun suaranya hilang tak bersisa ditelan gelap. Saya cerabut celurit yang memacak di kepalanya. Darah menggenang. 

Lalu saya masuk ke kuburan. Berdiri di sisi makam Bhuju' Perreng. Saya tancapkan celurit yang bermandi darah di sisi makamnya yang berbeda dengan makam lainnya sebab dikijing sekaligus didirikan bangunan megah dan beratap. 

Saya telah membebaskan penderitaan Anjani kelak. Anjani, putri cantik berumur enam tahun. Walau cantik, tapi dia paling sulit menangkap pelajaran di kelas PAUD, daripada teman-teman sebayanya. Di desa ini, anak berusia tanggung bersekolah di lembaga mertua saya. PAUD dan SD. Saya kebagian mengajar PAUD di hari Kamis dan Sabtu, di samping pekerjaan saya mengajar sekolah negeri di kota. Anjani, penderitaannya kelak tak akan terjadi sebab saya telah membunuh pelakunya, Ayahnya sendiri, Muntaha! 

Saya mendengar dari Badriyah kalau Muntaha pernah dipenjara gara-gara menggondol motor Raihan, remaja desa. Dan Muntaha senang berjudi. Saya mendengar dari warga desa bahwa harta-harta keluarganya terus-menerus dihisap untuk membayar utang berjudi Muntaha. Saya tahu juga malam ini, Muntaha hendak ke rumah Pak Qomar mencuri karung-karung cabai hasil panen. 

Lalu saya teringat Anjani yang bodoh karena tak dididik dengan baik. Lalu saya teringat monyet bernama Topan yang dipelihara, eh bukan, lebih tepatnya dikurung Muntaha. Monyet itu akan menjadi bodoh karena tak bisa berkembang dengan habitatnya. Lalu saya teringat mimpi yang datang tiga malam berturut-turut. Lalu saya teringat kisah Nabi Khidir membunuh seseorang sebab di masa mendatang orang itu akan berbuat onar. 

Ya, mimpi yang datang tiga malam berturut-turut seperti disampaikan Tuhan melalu malaikat yang menjelma suara-suara  dalam tidur saya. Di mimpi itu, kelak Muntaha akan memperkosa anaknya sendiri saat Anjani berumur sembilan belas. Anjani anak didik saya. Saya tak terima. Kelak Muntaha akan menjual tanah sangkolan[2] keluarganya buat membayar utang berjudi. Kelak dia akan menjambret tas Ibu Mertua saya. Saya tak terima. Kelak dia akan mencuri panen cabai Pak Qomar di akhri Januari. Dan terakhir, kelak dia akan membunuh saya! Bangsat, saya mengumpat dalam mimpi. Lalu muncul suara-suara agar saya membunuh Muntaha supaya dia tak berbuat onar di masa mendatang. 

Sudah ada adegannya dalam mimpi saya. Di malam kelam tanpa rembulan. Angin berkesiur merinding. Suara binatang malam bersahut-sahutan. Malam ini, di akhir Januari, saya sukses membunuh Muntaha. Kalau meleset, sayalah yang akan dibunuh olehnya. Muntaha akan merampas celurit di tangan saya dan menghabisi nyawa saya. 

****

Sekonyong-konyong tangis saya membuncah. Air mata membasahi kertas naskah cerpen saya. Lengang. Pak Ganjar sudah terlelap. 

Ucapan Kiai Badar sebelum saya menyerahkan diri ke kantor polisi terngiang-ngiang, maka saya tuliskan dalam cerpen saya. Lalu saya yang pendatang ke desa itu, bisa menjadi penduduk desa sebab menikahi Badriyah pun saya tuliskan dalam cerpen saya. Sekonyong-konyong saya teringat monyet-monyet di desa dan Bhuju' Perreng, lalu saya tuliskan juga dalam cerpen saya. Selanjutnya kejadian sekilas saya di penjara yang mengusik benak, saya tuliskan dalam cerpen saya. Lalu, hhmm, saya tulis saja kalau saya sedang mengarang cerpen di penjara dalam cerpen saya. Tentu paragraf-paragraf cerpen saya, saya rangkai-rangkai, yang tertulis belakangan saya letakkan di permulaan cerpen dan sebaliknya. 

Tak luput pula saya akan menuliskan keadaan tokoh "saya" dalam penjara yang dibanjur kesedihan sebab menuliskan kisah pembunuhannya sendiri. Lalu saya akan menuliskan kalimat-kalimat pada paragraf terakhir atau tiga puluh satu begini: 

Seusai membunuh Muntaha, saya merenung dua hari dan mendapat kesimpulan. Kalau suara-suara di mimpi saya bukan dari Tuhan melalui malaikat yang menjelma, tapi dari para jin. Saya bukan nabi. Bukan wali. Bukan sufi. Bukan kiai. Bukan ustad. Sungguh setan adalah musuh yang nyata. Lalu saya menemui Kiai Badar dan menyerahkan diri pada polisi. 

Surabaya, 3 April 2024

[1] Bhuju' Perreng: Bhuju' artinya sesepuh yang punya kekeramatan di masa lalu dan berjasa pada masyarkat (Madura) sehingga makamnya dikeramatkan. Perreng artinya bambu. Bhuju' Perreng adalah julukan bagi sesepuh tersebut. 

[2] Tanah Sangkolan: Tanah yang diwariskan leluhur turun-temurun dan tak boleh dilepas (dijual) oleh generasinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun