Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan

Membaca adalah bagian dari hidup saya, terutama karya-karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Musabab Membunuh Muntaha

13 Juli 2024   18:45 Diperbarui: 13 Juli 2024   19:11 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jantung saya berpacu bagai lari kuda liar. Saya belum pernah merasakan sensasi ini. Kini saya sudah lima langkah di belakang Muntaha. Dia tak bersenjata. Berjalan bersandal jepit, bersarung coklat, dan berkaos abu-abu. Dia menghentikan langkah. Sadar ada yang berjalan di belakangnya. 

Ketika dia menengok ke belakang, teriakan panjang memohon ampun dan minta pertolongan. Melolong-lolong. Sayangnya kuburan itu jauh dari rumah-rumah penduduk. Pergulatannya adalah dia tak sempat menghindar! Saya jatuhkan dia ke tanah. Saya sayat-sayat seluruh tubuhnya. Saya bacok kepalanya. Dia melolong-lolong kesakitan. Membunuh sepinya malam. Lambat laun suaranya hilang tak bersisa ditelan gelap. Saya cerabut celurit yang memacak di kepalanya. Darah menggenang. 

Lalu saya masuk ke kuburan. Berdiri di sisi makam Bhuju' Perreng. Saya tancapkan celurit yang bermandi darah di sisi makamnya yang berbeda dengan makam lainnya sebab dikijing sekaligus didirikan bangunan megah dan beratap. 

Saya telah membebaskan penderitaan Anjani kelak. Anjani, putri cantik berumur enam tahun. Walau cantik, tapi dia paling sulit menangkap pelajaran di kelas PAUD, daripada teman-teman sebayanya. Di desa ini, anak berusia tanggung bersekolah di lembaga mertua saya. PAUD dan SD. Saya kebagian mengajar PAUD di hari Kamis dan Sabtu, di samping pekerjaan saya mengajar sekolah negeri di kota. Anjani, penderitaannya kelak tak akan terjadi sebab saya telah membunuh pelakunya, Ayahnya sendiri, Muntaha! 

Saya mendengar dari Badriyah kalau Muntaha pernah dipenjara gara-gara menggondol motor Raihan, remaja desa. Dan Muntaha senang berjudi. Saya mendengar dari warga desa bahwa harta-harta keluarganya terus-menerus dihisap untuk membayar utang berjudi Muntaha. Saya tahu juga malam ini, Muntaha hendak ke rumah Pak Qomar mencuri karung-karung cabai hasil panen. 

Lalu saya teringat Anjani yang bodoh karena tak dididik dengan baik. Lalu saya teringat monyet bernama Topan yang dipelihara, eh bukan, lebih tepatnya dikurung Muntaha. Monyet itu akan menjadi bodoh karena tak bisa berkembang dengan habitatnya. Lalu saya teringat mimpi yang datang tiga malam berturut-turut. Lalu saya teringat kisah Nabi Khidir membunuh seseorang sebab di masa mendatang orang itu akan berbuat onar. 

Ya, mimpi yang datang tiga malam berturut-turut seperti disampaikan Tuhan melalu malaikat yang menjelma suara-suara  dalam tidur saya. Di mimpi itu, kelak Muntaha akan memperkosa anaknya sendiri saat Anjani berumur sembilan belas. Anjani anak didik saya. Saya tak terima. Kelak Muntaha akan menjual tanah sangkolan[2] keluarganya buat membayar utang berjudi. Kelak dia akan menjambret tas Ibu Mertua saya. Saya tak terima. Kelak dia akan mencuri panen cabai Pak Qomar di akhri Januari. Dan terakhir, kelak dia akan membunuh saya! Bangsat, saya mengumpat dalam mimpi. Lalu muncul suara-suara agar saya membunuh Muntaha supaya dia tak berbuat onar di masa mendatang. 

Sudah ada adegannya dalam mimpi saya. Di malam kelam tanpa rembulan. Angin berkesiur merinding. Suara binatang malam bersahut-sahutan. Malam ini, di akhir Januari, saya sukses membunuh Muntaha. Kalau meleset, sayalah yang akan dibunuh olehnya. Muntaha akan merampas celurit di tangan saya dan menghabisi nyawa saya. 

****

Sekonyong-konyong tangis saya membuncah. Air mata membasahi kertas naskah cerpen saya. Lengang. Pak Ganjar sudah terlelap. 

Ucapan Kiai Badar sebelum saya menyerahkan diri ke kantor polisi terngiang-ngiang, maka saya tuliskan dalam cerpen saya. Lalu saya yang pendatang ke desa itu, bisa menjadi penduduk desa sebab menikahi Badriyah pun saya tuliskan dalam cerpen saya. Sekonyong-konyong saya teringat monyet-monyet di desa dan Bhuju' Perreng, lalu saya tuliskan juga dalam cerpen saya. Selanjutnya kejadian sekilas saya di penjara yang mengusik benak, saya tuliskan dalam cerpen saya. Lalu, hhmm, saya tulis saja kalau saya sedang mengarang cerpen di penjara dalam cerpen saya. Tentu paragraf-paragraf cerpen saya, saya rangkai-rangkai, yang tertulis belakangan saya letakkan di permulaan cerpen dan sebaliknya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun