Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Pembaca sastra (novel; cerpen; esai), pendengar kajian filsafat dan musik, penonton kearifan lokal; sepak bola timnas Indonesia; kartun, pemain game Mobile Legends. Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Upacara Bendera

9 Juli 2024   22:51 Diperbarui: 14 Juli 2024   21:33 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Besok tanggal merah. Tujuh belas Agustus. Tanggal merah artinya hari libur. Tapi besok pagi, kami (para siswa) tidak boleh lesap dalam tidur. 

Kami harus bangun pagi untuk ikut upacara bendera. Kata guru: sebagai bentuk mengenang jasa pahlawan. Padahal menurutku, mengenang kepatriotan pahlawan dengan membaca sejarah. 

Para guru (selain guru sejarah) belum tentu membaca buku sejarah. Tentu saja tak akan sempat, karena mereka sibuk dengan berkas-berkas. 

Sementara para siswa diberi bejibun tugas yang menurutku kurang berguna. Aku malas mengerjakan tetek bengek itu, karena menyita waktuku membaca buku.

Malam ini aku lihat pesantren lengang. Lampu-lampu seluruh asrama sudah dipadamkan, begitu pun lampu gedung sekolah, masjid, kantor, kantin, koperasi, balai tamu, dan gedung utama. Sekadar kamar mandi yang masih benderang. 

***

Beberapa hari yang lalu, Sutarji (kawanku) ikut menarik pelatuk senapannya ke mobil yang di dalamnya duduk Jenderal Mallaby di dekat Jembatan Merah. Sayangnya aku tak ikut menembak Jenderal berwajah angkuh itu, karena sibuk saling tembak-menembak dengan tentara keparat.

"Tarno! Tarno! Ayo cepat keluar." Pintu rumahku diketuk keras. Andaikan aku telat keluar, tentu pintu yang sudah reot itu roboh. Rumah ini dan warga lainnya, sangat berbeda sekali dengan pemukiman di Surabaya pada masa depan. 

Rumah zaman ini kecil, sekadar berdinding kayu dan beratap daun rumbai. Yang besar hanya rumah gubernur, residen, dan bangsawan.  

"Ada apa Tarji?" Aku penasaran apa yang hendak dia katakan. Wajahnya tegang dan berbias amarah.

"Lihat surat ini." Selebaran itu sudah berpindah tangan. Sutarji tak bisa membaca, maka aku yang membacakan. Maklum zaman ini, tak akan ada yang memikirkan sekolah, tapi yang mencuat-cuat di pikiran semua orang sebatas sebenar-benarnya kebebasan dari penjajahan.

Sutarji berkisah kalau suara yang memekikkan telinga datang dari pesawat Inggris yang membelah langit. Pesawat itu tidak menjatuhkan bom-bom, tapi surat-surat dalam jumlah banyak. Semua orang terperanjat. Ketakutan mendera seperti rasa lapar mereka. Khawatir pesawat itu menjatuhkan bom di atap rumah mereka.

Kemudian semua orang berduyun-duyun ke rumah Pak Hadiman. Beliau orang paling berpunya di kampung ini. Di sana, orang-orang mengerubungi balai-balai yang diletakkan di depan rumah beliau. 

Radio teronggok di tengah balai-balai. Menguarkan suara agak krunyek-krunyek dari pidato Bung Tomo yang menggeletarkan Indonesia. Suara Bung Tomo mengobarkan jiwa kami (masa bodo dengan suara agak krunyek-krunyek). Persis sejarah! Apakah aku menjadi bagian dari sejarah?

***

Aku mengayunkan kaki ke kamar mandi pesantren. Di sana dua puluh kamar mandi berderet. Aku pergi ke yang paling ujung karena di langit-langitnya berlubang. 

Ketiakku mengapit novel Pramoedya Ananta Toer dan tangan menggenggam senter. Aku ingat nama kakek dari kakekku adalah Sutarno (serupa dengan namaku). Beliau bagian dari pahlawan.

Sebelumnya aku sudah meletakkan tangga di bawah lubang itu. Aku menaiki satu demi satu anak tangga hingga puncak. Lantas tangga itu aku tarik ke atas, aku letakkan di sisi kanan pada tempat persembunyianku ini. 

Sekarang sudah jam satu malam. Aku malas ikut upacara bendera esok hari, karenanya bersembunyi di atas langit-langit kamar mandi ini. Aku membaca novel dicahayai senter. Waktu terus berguguran. Tak terasa sudah hampir subuh.

Sekonyong-konyong arwah Kek Sutarno datang. Aku terlonjak. Bulu kudukku merinding. Tubuhku terpacak tak bisa bergerak. Aku bergeletar ketakutan.

***

Aku diberi senapan oleh Sutarji. "Dapat dari Kenpetai Jepang, bekas gudang senjata Jepang," katanya. Sungguh aku tak tahu apa-apa soal perang. Kerjaku setiap hari hanya santri yang rakus membaca buku. Tak pernah olahraga. Kalau sekadar menarik pelatuk, siapa yang tak tahu? Tapi menembak tepat sasaran ke jantung atau kepala musuh yang mustahil. Apalagi persenjataan tentara Inggris itu canggih. Mereka punya tank dan pesawat tempur yang kuat. Sementara orang-orang Surabaya ini, barang mengoperasikan tank saja tak tahu, walau sudah mendapatkannya dari gudang bekas senjata penjajah.

****

Di tengah kecamuk perang, kepalaku dijitak Kek Sutarno. "Tempatmu bukan di sini!"

"Terus di mana Kek?" Balasku.

"Bodoh! Tempatmu itu ikut upacara bendera! Jangan pikirkan hal lain selain bendera merah putih yang terhormat itu. Dahulu para pejuang menumpahkan darah untuk mengibarkannya! Lihatlah para petugas bendera, mereka memegang bendera dengan hormat!"

Sekonyong-konyong aku sudah di kelilingi oleh santri lain di depan kamar mandi. Mereka bilang aku kesurupan. Kata mereka, aku bergerak ke sana kemari bagai seorang aktor sedang bermain peran film perang. 

Bercakap-cakap sendiri dan menembak-nembak seolah-olah memegang senapan padahal hanya sepotong papan. Aku meminum air yang diberikan temanku. Azan subuh berkumandang. Aku harus ke masjid lalu mandi lalu bersiap-siap ikut upacara bendera.

Surabaya 09 Juli 2024

Catatan: Cerpen tersebut pas 700 kata

Tautan: https://bit.ly/KONGSIVolume1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun