Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Cerpen pertamanya "Bentuk Sebuah Barokah" memenangkan lomba cerpen se-kabupaten tingkat santri. Cerpennya "Putri Kuning" memenangkan lomba cerpen nasional tingkat mahasiswa. Cerpennya "Mengapa Perempuan Itu Melajang" terbit di media nasional Kompas.id (Rabu, 16 Oktober 2024). Cerpennya "Hutan Larangan Cak Badrun" terbit di Instagram Cerpen Sastra. Tiga kali juara sayembara cerpen di Kompasiana yang diadakan Pulpen. Penikmat sastra (novel; cerpen; esai). Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Upacara Bendera

9 Juli 2024   22:51 Diperbarui: 14 Juli 2024   21:33 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Besok tanggal merah. Tujuh belas Agustus. Tanggal merah artinya hari libur. Tapi besok pagi, kami (para siswa) tidak boleh lesap dalam tidur. 

Kami harus bangun pagi untuk ikut upacara bendera. Kata guru: sebagai bentuk mengenang jasa pahlawan. Padahal menurutku, mengenang kepatriotan pahlawan dengan membaca sejarah. 

Para guru (selain guru sejarah) belum tentu membaca buku sejarah. Tentu saja tak akan sempat, karena mereka sibuk dengan berkas-berkas. 

Sementara para siswa diberi bejibun tugas yang menurutku kurang berguna. Aku malas mengerjakan tetek bengek itu, karena menyita waktuku membaca buku.

Malam ini aku lihat pesantren lengang. Lampu-lampu seluruh asrama sudah dipadamkan, begitu pun lampu gedung sekolah, masjid, kantor, kantin, koperasi, balai tamu, dan gedung utama. Sekadar kamar mandi yang masih benderang. 

***

Beberapa hari yang lalu, Sutarji (kawanku) ikut menarik pelatuk senapannya ke mobil yang di dalamnya duduk Jenderal Mallaby di dekat Jembatan Merah. Sayangnya aku tak ikut menembak Jenderal berwajah angkuh itu, karena sibuk saling tembak-menembak dengan tentara keparat.

"Tarno! Tarno! Ayo cepat keluar." Pintu rumahku diketuk keras. Andaikan aku telat keluar, tentu pintu yang sudah reot itu roboh. Rumah ini dan warga lainnya, sangat berbeda sekali dengan pemukiman di Surabaya pada masa depan. 

Rumah zaman ini kecil, sekadar berdinding kayu dan beratap daun rumbai. Yang besar hanya rumah gubernur, residen, dan bangsawan.  

"Ada apa Tarji?" Aku penasaran apa yang hendak dia katakan. Wajahnya tegang dan berbias amarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun