Aku diberi senapan oleh Sutarji. "Dapat dari Kenpetai Jepang, bekas gudang senjata Jepang," katanya. Sungguh aku tak tahu apa-apa soal perang. Kerjaku setiap hari hanya santri yang rakus membaca buku. Tak pernah olahraga. Kalau sekadar menarik pelatuk, siapa yang tak tahu? Tapi menembak tepat sasaran ke jantung atau kepala musuh yang mustahil. Apalagi persenjataan tentara Inggris itu canggih. Mereka punya tank dan pesawat tempur yang kuat. Sementara orang-orang Surabaya ini, barang mengoperasikan tank saja tak tahu, walau sudah mendapatkannya dari gudang bekas senjata penjajah.
****
Di tengah kecamuk perang, kepalaku dijitak Kek Sutarno. "Tempatmu bukan di sini!"
"Terus di mana Kek?" Balasku.
"Bodoh! Tempatmu itu ikut upacara bendera! Jangan pikirkan hal lain selain bendera merah putih yang terhormat itu. Dahulu para pejuang menumpahkan darah untuk mengibarkannya! Lihatlah para petugas bendera, mereka memegang bendera dengan hormat!"
Sekonyong-konyong aku sudah di kelilingi oleh santri lain di depan kamar mandi. Mereka bilang aku kesurupan. Kata mereka, aku bergerak ke sana kemari bagai seorang aktor sedang bermain peran film perang.Â
Bercakap-cakap sendiri dan menembak-nembak seolah-olah memegang senapan padahal hanya sepotong papan. Aku meminum air yang diberikan temanku. Azan subuh berkumandang. Aku harus ke masjid lalu mandi lalu bersiap-siap ikut upacara bendera.
Surabaya 09 Juli 2024
Catatan: Cerpen tersebut pas 700 kata
Tautan: https://bit.ly/KONGSIVolume1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H