Walau lelah bekerja di warung makan Bu Laksmi, karena pelanggannya selalu membeludak. Setiap hari. Tapi, kesibukan itu sangat kusukai. Dengan begitu, aku bisa melupakan masa lalu kelam, membuang jauh-jauh bayangan Mas Tegar.Â
Jujur, aku masih mencintai Mas Tegar. Ingin hidup bersamanya sampai akhir hayat. Di lain sisi membencinya. Semenjak memerintahku untuk menggugurkan darah dagingku sendiri.Â
Aku bisa menahan sakit pukulan yang dia berikan kalau sedang marah. Tapi, saat kehamilanku yang pertama, memerintahkan demikian, aku jadi membencinya.Â
"Anak bisa nanti saja! Sekarang yang kita butuhkan uang!" Macam itu hardik Mas Tegar.Â
Puncak kebencian saat dia memaksaku menggugurkan kandungan. Hampir dua bulan kehamilan. Lantas aku harus merelakan buah hati pertamaku tak lahir ke dunia ini. Sejak itu aku sering bertengkar dengan Mas Tegar. Kala Mas Tegar menjatuhkan talak 3, aku merasa senang karena terbebas dari cengkeramannya serta sedih sebab masih mencintainya.Â
Lalu pengembaraan hidupku selanjutnya, aku bertekad mandiri. Ingin hidup melajang dulu. Sehingga sampailah aku pada warung makan Bu Laksmi. Kala aku butuh, kebetulan warung itu membuka lowongan pegawai. Serta-merta aku pun melamar di sana lantas diterima.Â
Nyatanya tak ada yang spesial pada warung makan itu. Rasa masakannya pun biasa-biasa saja. Menunya sebagaimana warung makan pada umumnya. Tak ada ciri khas unik yang melekat. Tak terlalu besar tapi juga bukan warung yang kecil.
Namun, saban harinya pelanggan selalu membeludak. Kami, pegawai yang berjumlah 5 orang pasti kewalahan. Tak ayal kalau Bu Laskmi menjadi kaya. Sehingga berjejer kontrakan di belakang rumahnya. Di salah satu kamar kontrakan itulah aku tinggal.Â
Aku terus berlari menyibak gelap.Â
Bbbbuuukkkkk.Â
Tubuhku terempas. Aku menabrak sesuatu. Sepertinya hantu lagi! Tubuhnya besar. Aku juga merasakan dia berbulu. Lantas dua bola mata merah di tengah kegelapan terlihat begitu jelas. Mengarah ke arahku!Â