Sayup-sayup mataku terbuka. Lamat-lamat lalu yang tampak hanya gelap. Masih malam, pikirku. Tapi, seperti tak ada jendela di dinding sana. Bahkan, seperti tak ada bulan di langit sana. Di mana aku? Aku yakin ini mimpi buruk. Lalu kucubit-cubit tangan dan kutampar-tampar wajah, tapi aku tak terjaga dari tidur. Apakah ini kenyataan?
Nampaknya sudah lama aku tidur. Aku mesti bangun. Tapi masih malam? Sungguhkah?Â
Aneh!Â
Aku pikir ini saatnya belanja ke pasar, membeli bahan-bahan untuk warung makan Bu Laksmi. Bukan! Ini belum subuh. Apakah ini tengah malam?Â
Zzzzzzuuuusssshhhhh.Â
Sesuatu melintas cepat di belakangku (kali ini posisiku sudah duduk di atas kasur). Pandanganku pun mengedar ke sekeliling. Bagaimana aku bisa melihat ada sesuatu di sekitarku kalau gelap mencekam begini?Â
Aku berdiri. Melangkahkan kaki. Perlahan-lahan. Belum empat langkah, sekonyong-konyongnya:
"Aaaaakkkhhhhhh!" Aku mementalkan diri ke atas kasur. Menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan.Â
Dari sela-sela jari kuintip, "aaakkkkhhhh, pergi! Pergi! Jangan ganggu aku!" Teriakku memecah kesunyian. Aku berharap ada yang mendengarnya atau kalau ini mimpi semoga aku lekas sadar.Â
Nafasku berkejaran dengan derap jantungku yang bagitu kencang. Sosok itu masih melayang di depanku.Â
"Pergi! Aku mohon, hikshikshikshiks," aku menangis.Â
Aku memejamkan mata sangat dalam. Komat-kamit mulutku berdoa. Lalu ketika kuintip dari sela-sela jari. Huft, untung saja, sosok itu telah pergi.Â
Aku duduk bersandar nakas. Mengatur nafas supaya kembali normal. Di mana aku? Tadi sangat menyeramkan sekali. Tengkorak yang berdarah-darah itu mengerikan betul. Melayang di depanku. Memandangiku dengan mata merah berdarahnya. Aku takut sekali. Aku merinding.Â
Aku harus keluar. Keluar dari sini. Aku mulai berjalan menyusuri kamar gelap ini. Sampai ketika tanganku meraba-raba tembok, aku menyentuh gagang pintu. Aku buka pintu ini.Â
Di ujung sana ada cahaya. Aku akan menghampirinya.Â
Geebbbrrukkk!Â
Aku tersandung benda yang lonjong. Tak keras. Tapi macam tubuh manusia dibungkus kain. Aku tak bisa melihat apa-apa. Hanya sangat gelap. Aku takut sekali. Aku yakin, tadi pocong yang sedang terbaring!Â
Aku berdiri lalu berjalan mundur.Â
Geebbbrruuukkk!Â
Kali ini kepala manusia! Tanpa ada jasadnya, seperi bola saja. Lalu aku terjatuh di atas tumpukan! "Aaakkkhhhhh, ibu!" Lantas aku bangkit lalu segera berlari menggapai cahaya itu. Seram sekali. Aku terjatuh ditumpukan pocong.Â
Ya Tuhan. Siapa yang telah mengirimku ke sini? Ayolah kembalikan aku! Nanti Bu Laksmi akan marah kepadaku dan gajiku bisa bermasalah. Aku tak ingin terjebak di tempat mengerikan ini.Â
Walau lelah bekerja di warung makan Bu Laksmi, karena pelanggannya selalu membeludak. Setiap hari. Tapi, kesibukan itu sangat kusukai. Dengan begitu, aku bisa melupakan masa lalu kelam, membuang jauh-jauh bayangan Mas Tegar.Â
Jujur, aku masih mencintai Mas Tegar. Ingin hidup bersamanya sampai akhir hayat. Di lain sisi membencinya. Semenjak memerintahku untuk menggugurkan darah dagingku sendiri.Â
Aku bisa menahan sakit pukulan yang dia berikan kalau sedang marah. Tapi, saat kehamilanku yang pertama, memerintahkan demikian, aku jadi membencinya.Â
"Anak bisa nanti saja! Sekarang yang kita butuhkan uang!" Macam itu hardik Mas Tegar.Â
Puncak kebencian saat dia memaksaku menggugurkan kandungan. Hampir dua bulan kehamilan. Lantas aku harus merelakan buah hati pertamaku tak lahir ke dunia ini. Sejak itu aku sering bertengkar dengan Mas Tegar. Kala Mas Tegar menjatuhkan talak 3, aku merasa senang karena terbebas dari cengkeramannya serta sedih sebab masih mencintainya.Â
Lalu pengembaraan hidupku selanjutnya, aku bertekad mandiri. Ingin hidup melajang dulu. Sehingga sampailah aku pada warung makan Bu Laksmi. Kala aku butuh, kebetulan warung itu membuka lowongan pegawai. Serta-merta aku pun melamar di sana lantas diterima.Â
Nyatanya tak ada yang spesial pada warung makan itu. Rasa masakannya pun biasa-biasa saja. Menunya sebagaimana warung makan pada umumnya. Tak ada ciri khas unik yang melekat. Tak terlalu besar tapi juga bukan warung yang kecil.
Namun, saban harinya pelanggan selalu membeludak. Kami, pegawai yang berjumlah 5 orang pasti kewalahan. Tak ayal kalau Bu Laskmi menjadi kaya. Sehingga berjejer kontrakan di belakang rumahnya. Di salah satu kamar kontrakan itulah aku tinggal.Â
Aku terus berlari menyibak gelap.Â
Bbbbuuukkkkk.Â
Tubuhku terempas. Aku menabrak sesuatu. Sepertinya hantu lagi! Tubuhnya besar. Aku juga merasakan dia berbulu. Lantas dua bola mata merah di tengah kegelapan terlihat begitu jelas. Mengarah ke arahku!Â
"Raaakkkhhhh!" Hantu itu berteriak. Lari! Aku memacu kaki untuk berlari cepat menembus gelap.Â
Tak jelas makhluk apa itu? Semuanya hanya gelap mencekam kecuali dua bola mata merahnya.Â
Sebelum sampai cahaya di ujung sana, di sepanjang langkah, aku bertemu hantu-hantu. Meski tak terlihat karena gelap, tetap saja bulu kudukku berdiri. Aku takut sekali. Ya Tuhan.Â
"Hikshikshikshikshiks," aku menangis.Â
Tengkorak berdarah-darah dalam kamar, pocong, kepala manusia tanpa jasad, makhluk besar berbulu bermata merah itu aku yakin genderuwo, lalu kuntilanak, sebab kudengar suara tawanya "kikikikikikikikikikikikikiki," lalu suara ribut anak-anak, mereka tuyul yang berlarian sampai di antaranya ada yang menabrakku, lalu aku tersandung kaki wanita yang sedang ngesot, suster ngesot! Dan lainnya, aku merasa di sekitar sini dipenuhi hantu-hantu, aku tak bisa menebak sosok apa itu, yang jelas suara-suara dan pergerakan mereka sangat kurasakan.Â
Hhhuuuufffttt.Â
Akhirnya aku sampai! Cahaya itu berasal dari lampu kamar yang pintunya setengah terbuka. Ketika kubuka lebar, dari langit-langit, berterbangan kafilah kalelawar ke arahku, "kiakkiakiakkiakkiakkiak."
Ada seorang perempuan tidur di atas ranjang. Ya Tuhan! Wajahnya rupa babi! Lalu di sana ada cermin. Aku mendekati cermin lalu "akkkkhhhrrrrr!" Apa yang terjadi dengan mukaku? Mengerikan sekali memandang cermin.Â
Tidak! Itu bukan aku. Ini pasti mimpi buruk. Aku harus mengakhirinya dan kebetulan di meja cermin, ada gelas yang di dalamnya terdapat sebilah pisau. Aku mengambil benda tajam itu....Â
****
Malam Jum'at kliwon ini Bu Laksmi sangat panik. Mukanya pucat. Sedari tadi dia tak bisa tidur sebab ada yang mengusik di hatinya. Dia menunggu gebyar yang menghebohkan sejak tadi. Tapi tak kunjung terdengar, apa mungkin gagal?
Biasanya dari salah satu kamar kontrakannya akan terdengar suara orang berteriak histeris. Memecah kesunyian malam. Tapi malam Jum'at kliwon ini lain, tak ada suara. Hanya hening dan hening.Â
Pikiran Bu Laksmi terus dihantui dugaan-dugaan buruk. Di atas kasur, dia membolak-balikkan badan. Sementara suaminya sudah terlelap. Lalu terpetik ide dalam benaknya, dia pun segara bangkit lalu keluar rumah lalu ke depan kamar salah satu kontrakannya.Â
Di sana, Baqi, sedang merokok di teras depan kamar kontrakannya. Begitu tenang setenang malam, bertolak belakang dengan yang dirasakan Bu Laksmi. Dia hanya berbasi-basi dengan Baqi, salah satu pegawai warung makannya itu. Agar tak terpatri kecurigaan.Â
Bu Laksmi menerka-nerka penyebabnya! Karena Baqi seorang ustad. Orang lurus yang ahli agama. Dekat dengan Tuhan. Dulu dia pernah menuntut ilmu di pondok pesantren selama 10 tahun. Barangkali itu alasannya, makanan yang telah diguna-guna itu tak mempan, pikir Bu Laksmi.Â
"Aaaaakkkkkhhhhhh!" Pekikan panjang. Nyaring sehingga memecah kesunyian malam terdengar dari rumah Bu Laksmi. Sekian detik, sebelum ia membuka pintu rumahnya, petaka itu datang.Â
Bu Laksmi tak pernah absen mempersembahkan sesajen yang ada ayam cemaninya saban malam Jum'at. Tapi, malam Jum'at kliwon: untuk ritual setiap 4 bulan, dia absen pada malam ini, memberi tumbal seorang lelaki, sebab 4 bulan yang lalu dia telah menumbalkan perempuan berusia 24 tahun.Â
Leher Bu Laksmi macam dicekik rantai besi yang panas. Histeris dia berteriak. Lalu orang-orang sekitar mendengar lantas mengurumuni. Dia tak kuasa berbicara. Sekonyong-konyongnya dia merasa sekujur tubuhnya bagai terbakar. Panas! Lantas bentol-bentol merah penuh darah, nanah, dan bau menyengat, menghinggapi seluruh badannya, lalu nafasnya berhenti berhembus, jantungnya berhenti berdetak.Â
Keesokan harinya, pagi hari, Larassati, perempuan berusia 24 tahun yang dikabarkan 4 bulan lalu meninggal dunia, berjalan di desanya. Pagi itu sangat ganjil. Angin menghembuskan aroma kengerian. Orang-orang desa yang melihat Larassati melongok. Geleng-geleng kepala.Â
Aneh!Â
Larassati sampai di rumahnya lantas keluarganya terperanjat seperti para penduduk desa. Seketika, ramai rumahnya oleh orang-orang berkerubung.Â
"Gali kuburan Laras!" Di antara mereka ada yang berkata itu. Berbondong-bondong mereka ke kuburan umum dan menggali sebuah makam.Â
"Allahu Akbar!" Di liang lahat itu tak ada mayat yang terbaring! Tapi sebatang pohon pisang.Â
Kejadian serupa pun dialami, Rudi (30 tahun), Melati (28 tahun), Ginanjar (19 tahun), Ayu (25 tahun), Rizal (27 tahun), Sekar (23 tahun), Sujatmiko (27 tahun), Rika (21 tahun), Rangga (24 tahun). Larassati dan mereka adalah pegawai rumah makan Bu Laksmi.
Burneh, 09 Juni 2023
Rosul Jaya Raya, penikmat cerpen koran dan cerpen-cerpen sastrawan hebatÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H