Sinopsis:
Kakak beradik, Clarissa dan Violetta, jatuh cinta pada Brian, siswa baru pindahan luar kota, kakak kembar dari Richie. Brian sendiri, seolah ingin menguasai keduanya. Selain itu, seperti ada rencana yang sedang dijalankan oleh Brian untuk membalas pada keluarga Clarissa dan Violetta. Adik kembarnya, Richie, tidak setuju dengan rencana jahat kakaknya itu, karena Richie sendiri sudah jatuh cinta pada Violetta. Rencana pembalasan apa yang sedang dijalankan oleh Brian terhadap keluarga Clarissa dan Violetta, dan juga ada dendam apa di antar kedua keluarga tersebut? Apakah Brian juga mencintai salah satu di antara kakak-beradik Clarissa dan Violetta? Siapa sebenarnya si kembar misterius Brian dan Richie yang pindahan dari luar kota itu? Bagaimana latar belakang perseteruan antar keluarga Brian-Richie dengan keluarga Clarissa-Violetta? Ikutilah cerita sekuel dari "Pisau Hati" yang telah pernah Anda baca di Kompasiana sebelumnya... ^_^
Bab 1
"Violetta, cepat sedikit, nanti kita terlambat," Clarissa mempercepat langkah-langkah kakinya di sepanjang koridor lebar menuju tangga ke lantai dua di sekolah SMU itu. Sementara adiknya, Violetta, menyusul di belakangnya.
Violetta, sang adik, berusaha mengimbangi langkah-langkah kaki sang kakak yang tergesa-gesa menaiki tangga. Tapi tampaknya ia kesusahan, karena tangannya sibuk memegangi kaca rias bergagang untuk melihat hasil dandanan di wajahnya.
Salahnya sendiri, kenapa sampai terlambat bangun di hari pertama masuk sekolah di tingkatan terakhir sekolah SMU itu. Mungkin karena tadi malam tidur terlalu larut setelah berpesta-pora dengan teman-teman segengnya.
Dari belakang, Violetta melihat sosok kakaknya yang bertubuh semampai dengan rambut tergerai melangkah memasuki kelas dengan hati-hati, mungkin takut kalau-kalau sang guru sudah memasuki kelas duluan. Dalam hati, Violetta menertawakan kakaknya yang selalu ingin menaati peraturan itu. Lihat saja, cara berpakaiannya pun begitu rapi, seragam yang benar-benar dikenakan pada tempatnya. Sedangkan ia sendiri, walaupun berpakaian seragam, namun banyak aksesoris metal yang melekat di badannya. Mulai dari rambut ikal yang diikat tinggi semaunya, telinga, leher, tangan, pinggang, sampai ke kaki, semuanya tampak urakan karena penuh dengan beraneka-macam aksesori.
Ups! Langkahnya sampai di ambang pintu, untunglah sang guru belum masuk. Dengan santai, Violetta melenggang menuju bangku di barisan belakang. Ia lebih memilih duduk di bangku belakang, karena bisa santai dan agak luput dari perhatian guru. Sedangkan Clarissa sendiri sudah menduduki bangku di barisan depan dengan beberapa siswa perempuan yang lain.
"Violetta, sini, Violet!" Seorang siswa laki-laki melambaikan tangan, memanggil Violetta yang sambil berjalan mengedarkan pandangannya mencari bangku kosong di barisan belakang.
"Hei, Josh, kosong ini?" Violetta menjatuhkan badannya ke bangku kosong di samping Josh, siswa laki-laki yang bertubuh kekar dan berwajah lumayan ganteng. "Sudah lama datang?" Violetta berbasa-basi sambil memasukkan tasnya ke dalam laci.
"Iya, aku sengaja datang pagian supaya bisa mencari tempat duduk yang paling strategis buat kita berdua." Senyum Josh mengembang ketika mengucapkan kalimat itu.
"He-eh'," Violetta mengeluarkan HP-nya dari dalam tas, lalu mengecek kalau-kalau ada panggilan tak terjawab. Maklumlah, teman-temannya sangat banyak dan sering mengajaknya ke sana kemari. Cocoklah, karena Violetta memang hobinya kelayapan.
Nah, tadi malam saja sudah ada enam panggilan tak terjawab. Masing-masing dari Mike, Rob, John, Stella, Stacy, dan Erick. Belum lagi pagi ini, ada satu, dua, ...
"Selamat pagi, anak-anak." Keasyikan Violetta memerika HP-nya, terusik oleh suara guru perempuan yang masuk dengan membawa dua orang siswa laki-laki. Seisi kelas langsung heboh, karena kedua siswa laki-laki itu berwajah amat mirip, dan ya ampun, Violetta langsung membelalakkan matanya. Apakah ia sedang bermimpi? Rasanya, seperti melihat dua orang pangeran berkuda putih yang baru datang dari langit, alangkah tampannya!
Bukan hanya Violetta saja yang terbelalak, karena suasana kelas yang langsung ricuh, terutama oleh suara para siswa perempuan yang saling berbisik-bisik, ikut menandakan kalau mereka juga terpengaruh.
"Halo... halo... halo...!" Ibu Guru yang berdiri di samping kedua siswa laki-laki itu memukul-mukul papan tulis untuk mendiamkan suasana kelas yang ribut. Setelah suasana agak tenang, barulah Ibu Guru itu berkata, "Ini adalah teman baru kita yang akan duduk di kelas ini. Mereka baru pindah dari luar kota. Mari kita persilakan mereka memperkenalkan diri." Ibu Guru mengangguk kepada kedua siswa baru itu, sebagai isyarat agar mereka berbicara.
Salah seorang di antara kedua siswa baru itu maju selangkah ke dapan, menganggukkan kepalanya sekali, lalu membuka mulut. "Hai, teman-teman." Ia melambaikan tangan dengan sopan. "Nama saya Richie, umur 19 tahun, dan ini adalah kakak kembar saya, namanya Brian."
Walaupun mereka amat mirip, bertubuh tinggi atletis, dan sama-sama berwajah tampan, tapi begitu menatap mereka, akan langsung mengetahui perbedaan di antara keduanya. Karena yang berbicara tadi adalah yang berwajah lebih ramah dengan senyum manis, sedangkan yang satunya lagi, sang kakak yang bernama Brian, bertampang cool dan hanya sebentar saja tadi tersenyum agak dingin.
Violetta merasakan hatinya berdebar ketika menatap sang kakak yang sampai sekarang belum membuka mulut. Siapa namanya tadi? Brian? Ah, sungguh sebuah nama yang spesial dan seketika menggetarkan hatinya ketika melihatnya untuk pertama kali. Entah mengapa, mungkin merasa diperhatikan, sang kakak yang bernama Brian itu langsung melemparkan pandangannya ke bangku belakang. Pandangannya yang tajam seolah menghunjam ke wajah Violetta. Seketika Violetta yang biasanya selalu santai dan tidak pernah salah tingkah menghadapi makhluk yang namanya cowok, menjadi tegang. Tapi Violetta masih berusaha membalas tatapan dari Brian dengan berani, padahal degup-degup di jantungnya sudah tak terkendali lagi. Aduh! Kenapa ini? Biasanya ia tidak pernah begini.
Brian tersenyum sekilas padanya, lalu mengalihkan pandangnnya ke tempat lain. Violetta menahan napas, karena merasakan jantungnya seperti copot menerima senyuman dari Brian tadi. Senyuman yang benar-benar berbeda dari senyuman dingin yang tadi, karena senyuman ini, dirasakan Violetta seperti sengaja ditujukan untuknya.
Richie melirik Brian yang masih berdiri dengan santai. Tiada tanda-tanda hendak membuka mulut. Ditariknya siku tangan Brian agar maju selangkah ke depan, lalu ia berbisik di dekat telinganya, "Bicaralah sepatah dua patah kata, Brian. Mereka sedang memandangmu dari tadi, nanti dikiranya kamu sombong."
Teguran dari Richie itu menyadarkan Brian. Seketika ia berusaha tersenyum manis. "Hai, semuanya!" ia melambaikan tangan dengan rileks. "Saya Brian, kakak kembarnya Richie, mohon petunjuknya, okey?"
"Okeee...!" jawab para siswa perempuan serempak, lalu mereka tertawa riuh. Mungkin mendengar Brian berbicara, menyejukkan hati mereka. Tampaknya Brian lebih mencuri perhatian dibanding Richie. Menatap wajahnya ataupun mendengar suaranya, akan membuat hati orang menjadi senang. Itulah Brian!
"Nah, para siswa sekalian, adakah bangku kosong untuk Brian dan Richie?' tanya Ibu Guru mengalihkan suasana yang ribut.
"Ada, Bu! Ada!" jawab beberapa orang siswa sambil mengangkat tangan.
"Brian, sini Brian!" terdengar suara beberapa orang siswa saling berebutan memanggil Brian agar duduk di dekat mereka.
Brian mengalihkan pandangannya ke seluruh kelas, melihat banyaknya siswa yang melambaikan tangan padanya, Richie malah tidak ada yang memanggil. Akhirnya Brian berjalan ke bangku yang paling belakang, yaitu bangku yang amat dekat dengan tempat duduk Violetta, hanya dipisahkan oleh sebuah lorong sebagai jalan. Sedangkan Richie sendiri memilih duduk di bangku paling depan, tepat di samping Clarissa.
"Hai!" Richie yang berpembawaan ramah itu menyapa Clarissa yang meliriknya sekilas dan menggeser tempat duduknya ketika melihat kedatangannya.
"Hai!" Clarissa membalas pendek sambil tersenyum dikit.
"Eh..., aku Richie," Richie berusaha merilekskan suasana dengan mengulurkan tagannya pada Clarissa yang dirasanya bersifat pendiam. "Kalau boleh tahu, kamu...?"
"Aku Clarissa," jawab Clarissa sambil mengangguk dan menyambut uluran tangan Richie. "Kalau ada yang tak mengerti, tanya saja," katanya ramah.
"Oh, terima kasih," balas Richie merasa lega. Ia bersyukur karena mendapat teman sebangku yang tidak sombong. (Bersambung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H