Menjadi Ibu Tunggal itu bukan cita - cita kemudian disematkan dengan tidak sengaja begitu saja dalam diri yang telah tumbuh menjadi dewasa ketika diantaranya suami wafat; pasangan kabur karena hilang rasa tanggung jawab, atau terjadi perceraian dengan sebab apapun dengan beribu alasan plus kejadian - kejadian drama dalam rumah tangga.
Kata Ibu tunggal menjadi sebegitu uniknya saat ini, sebutan yang secara perasaan mungkin lebih halus, terasa lebih sopan tidak menyinggung perasaan dibandingkan jika disematkan sebutan janda yang konotasinya lebih banyak negative ketimbang positifnya.
Makanya akan teras aneh saja jika ada seorang perempuan bercita -- cita hidup di alam yang kejam ini mengikuti jejak perempuan mulia Ibunda Siti Maryam, beliaunya mengandung Isa As. Atas ketentuan Allah Swt.
Beliau Ibunda Siti Maryam menerima keseluruhan takdir Allah yang disematkan pada perempuan suci ini dan diakui kesuciannya oleh Nabi Zakaria As juga kelompok orang suci disekelilingnya juga pada jamannya.
Ibunda Siti Maryam merintih dan menangis menjelang kelahiran Sang putera semata wayang Isa As, sehingga dalam salah satu ayat perempuan suci itu sempat mengadu pada - Nya agar segera saja ia diwafatkan, beliau Sang Perempuan Suci ingin mati seketika itu juga saat rintihan pedih itu menembus alam para Malaikat.
Digambarkan secara gamblang dan detik pada surat Maryam dalam kitab -Nya :
Maka keadaan hendak melahirkan itu memaksa dia berlindung pada pohon kurma, dia berkata, "Wahai kiranya aku mati sebelum ini dan adalah aku dilupakan tidak diingat - ingat". QS. Maryam (19) : 23
Penulis selalu terpaku dan terpana saat ayat ini dibaca ketika tadarus al Quran kemudian muncul perasaan sedih, mencoba berempati pada Ibunda Siti Maryam yang hidup pada beberapa abad yang lalu.
Menangisinya . . . dan mendo'akannya, Allah memastikan Surga adalah tempat paling tepat bagi Ibunda Siti Maryam yang tabah melewati derita fitnahan, caci maki dan setumpuk kepedihan batin atau saat ini sangat Kita kenal dengan kata stigmatisasi.
Kesimpulannya menjadi Ibu Tunggal adalah takdir yang musti kita terima dengan sepenuh keridhaan dan keikhlasan. Tidak ada lagi jalan selain pasrah pada -- Nya, sehingga Allah ciptakan satu tokoh penting penjaga salah satu Surga -- Nya yaitu Ibunda Siti Maryam yang tabah menelusuri takdirnya Allah Swt.
Ibu Tunggal Indonesia, Belum Tercover Dalam RUU Ketahanan Keluarga
Allah pengurus seluruh alam semesta ini dan kita sebagai makhluk- Nya dianugerahi oleh- Nya kitab suci yang wajib menjadi rujukan dalam menembus kehidupan dunia yang kejaam . . . agar bisa menyandarkan diri pada - Nya mengharap kekuatan prima sehingga bisa lebih santai bersegera menjadi hamba - Nya yang tunduk dan patuh pada takdir sebagai seorang Ibu Tunggal.
Dalam tingkat implementasi kita sebagai hamba -- Nya, wajib mengatur secara bijak kehidupan di alam dunia yang sangat kompleks berpatokan pada salah satu kejadian Ibunda Siti Maryam, dan kehidpan riel masa kini.
Kemudian negara muncul hendak menata kehidupan internal keluarga, penting kita sambut dengan suka -- cika jika memang mengakomodir segala kebutuhan kehidupan sebagai Ibu Tunggal yang menjadi salah satu entitas di Negara ini.
Beliau ( Ibunda Siti Maryam ) menjadi Ibu Tunggal ada dalam bimbingan -- Nya langsung, kemudian Kita sebagai makhluk -- Nya dengan sebab berbagai masalah menjadi Ibu Tunggal.
Penulis sebagai salah seorang member Yayasan Ibu Tunggal Indonesia atau populer juga dengan labeling Single Mom Indonesia (SMI) dan salah seorang founder SMI yaitu perempuan tangguh milik negeri cantik, indah dan buat Kami betah di negeri ini yaitu Mom Maureen Hitipeuw beliaunya dua hari menjelang acara Rosi, diseluruh grup – grup whatsapps sudah dishare bakal hadir Effie Putri Adjie sebagai seorang utusan SMI yang cerdas dan faham tentang hukum.
Pada awalnya Kami semua sempat kebingungan dengan share e-flyers Rosi di semua grup whatsapp SMI bahasan yang dimunculkan adalah Ketika Negara Mengatur Keluarga, tentu saja banyak pertanyaan di batin ada apa ini. Sambil menanti saatnya acara Rosi tiba, maka mencoba mencari tahu apa sih RUU Ketahan Keluarga itu.
Berdasar keterangan tertulis dari para pengusung, tujuan RUU Ketahanan Keluarga didasarkan fakta empiris terkait kerentanan keluarga Indonesia, seperti angka kematian Ibu yang masih tinggi dan tempat tinggal tidak layak huni, meningkatnya angka perceraian, penggunaan narkoba, kasus pornografi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kejahatan seksual, penyimpangan seksual, serta penelantaran anggota keluarga.
Mengamati tujuan dari RUU tersebut, mungkin ya Ibu Tunggal masuk dalam kategori keluarga yang rentan, jika sang Ibu bisa melewati masa krisis perceraian yang drama dan kejam masuk dalam jajaran keluarga tangguh.
Akan tetapi memang definisi keluarga dalam RUU ini adalah pasangan yakni ada Ayah, Ibu dan anak. Ibu dan anak tidak masuk dalam kategori keluarga? Makanya utusan SMI Effie Putri Adjie berusaha memaparkan hal yang riel apa saja yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan basic data dari Komunitas Single Mom Indonesia.
Beruntung Kami, seluruh member SMI mendapat undangan untuk turut serta menyaksikan acara Rosi, dalam sorotan saat Effie Putri Adji memaparkan secara lugas beberapa hal diantaranya bahwa Ibu Tunggal penyebabnya adalah :
- Menjadi Ibu Tunggal karena pasangan wafat
- Menjadi Ibu Tunggal karena perceraian dengan berbagai latar belakangnya
- Menjadi Ibu Tunggal karena kecelakaan (hamil, tanpa nikah) dan atas keinginan sendiri memilih menjadi single mom.
- Menjadi Ibu Tunggal karena KDRT yang dilakukan oleh pasangannya yaitu suami.
Dari keempat atau mungkin sesungguhnya lebih penyebab seorang perempuan menyandang menjadi Ibu Tunggal, paling tidak semua kategori ada di Komunitas Ibu Tunggal Indonesia yang saat ini jumlahnya lebih kurang 2600 Single Mom, bagi penulis adanya SMI ini adalah sebagian drama – drama perempuan Indonesia, rerata tinggal di Indonesia kendati ada beberapa member tinggal di Negara lain, dan ajaib saja setiap bulan mudah mendeteksinya bahwa member SMI terus bertambah.
Dari pertambahan member SMI hal tersebut bisa dijadikan salah satu indikator bahwa kehidupan rumah tangga di Indonesia itu memang cukup rentan, apakah RUU Ketahanan Keluarga bisa memikirkan kenyataan drama kaum perempuan yang bermakna Ibu Tunggal.
Justru aneh ketika membahas RUU – Ketahanan Keluarga, Ibu Tunggal hanya sebatas definisi tidak / belum ada keberfihakan atas nasib para Ibu Tunggal pastinya lebih dari 2600 single Mom.
Effie Putri Adjie yang berkesempatan mewakili SMI mencoba menyoroti beberapa pasal pada RUU Ketahanan Keluarga tentu saja dikaitkan dengan kenyataan di lapangan bahwa RUU tersebut “belum” membahas posisi Ibu Tunggal secara apa adanya dan kenyataan di lapangan, di mana posisi Kami sebagai Ibu Tunggal dalam rancangan Undang – Undang ini seperti diantaranya, membahas beberapa pasal ;
Pasal 1 ,
Dalam pasal ini memuat beberapa definisi dari keluarga , ada definisi keluarga, normal ada keluarga Ibu / Ayah dan Ibu Tunggal selewatan saja tentang keluarga tunggal sudah muncul. Namun kemudian dirincikan pada no (pasal) 14 dan 15 dengan batasan seperti kategori sebagai berikut :
- Keluarga Tangguh
- Keluarga berkualitas
- Keluarga rentan
- Keluarga Ibu Tunggal
Dari sisi terminology saja kategori ini masih butuh Kita kritisi bersama karena akan berpeluang menjadi stigma, terkhusus ketika sudah menjadi acuan dikalangan masyarakat, karena jelas ketika RUU sudah diketok dan disahkan menjadi perundang – undangan sebagai Ibu Tunggal akan sangat terbebani dengan beban – beban yang kelewat ideal namum sungguh sepertinya imposible.
Saat undang – undang diimplementasikan ditingkat pelaksanaan ; maka peraturan – peraturan tersebut di bawahnya akan lebih memberikan semacam stigma yang implikasinya langsung pada sisi masyarakat dan menukik pada psyckologi kehidupan Ibu Tunggal dianggap model keluarga yang rentankah atau kategori keluarga yang mana?
Memang sebaiknya digulirkan saja sebagai program – program pemerintah yang lebih menyentuh pada kehidupan keluarga – keluarga misalnya masuk dalam kategori rentan, sehingga wabil khusus tidak menjadi beban yang bertumpuk – tumpuk menimpa Ibu Tunggal.
Pasal 25,
Titik beratnya memang membahas tentang kewajiban Ayah atau Ibu bisalah disebut sebagai kewajiban suami dan istri; dalam konteks kewajiban suami/istri kalau dikaitkan dengan Keluarga Ibu Tunggal maka pasal ini cukup tidak relevan; karena yang diinginkan oleh RUU tampaknya memang untuk kondisi normal, kalau kondisinya cerai Ayah / Ibu yang kemudian masing – masing berperan solo tentu RUU ini hanya untuk kategori yang umum dalam tradisi Nenek Moyang yang relative kokoh dengan jimat istri itu suargo nunut neroko katut.
Sehingga terkesannya Ibu Tunggal silahkan mlipir . . . . tidak masuk dalam kategori rangkaian rakyat Indonesia, trus . . . .kumaha ?
Realitasnya sebagai mana paparan Effie dari 2600 member single Mom Indonesia / Yayasan Ibu Tunggal Indonesia lebih banyak dari mereka harus menghidupi anak dan dirinya sendiri - sendiri, kebanyakan tidak ada pertanggung jawaban mantan suami yang pergi (cerai) sehingga otomatis memang kebanyakannya ibu yang mengambil peran ganda baik itu menjadi Ibu juga menjadi Ayah, sungguh berat menjadi Ibu Tunggal.
Dan Negara musti mengetahui juga bahwa hanya sedikit single Mom yang masih diberikan tunjangan hidup oleh mantan suaminya, selebihnya ya . . . jungkir balik cari sendiri, sedih memang sudah mah diperlakukan kejam oleh mantan . . . kemudian dalam RUU inipun kami merasa termarginalkan.
Pasal .28. ( Untuk Orang Tua dalam profil lengkap )
Sebagaimana pasal 25, dalam pasal inipun pembahasannya kepada keluarga yang normal ada istri dan ada suami, dalam pasal tersebut terkait kewajiban untuk melindungi anak, mendidik dan menumpahkan kasih sayang, kalau dikaitkan dengan orang tua yang sudah bercerai atau Ibu Tunggal agak gimana ya, dan bentuk kewajibannya seperti apa bisa samanya akan tetapi dalam realitas penting juga didefinisikan.
Kebanyakan secara empiris Ibu yang mengambil peran hak pengasuhan anak yang senyatanya seharusnya tetap menjadi tanggung jawab Ayah terlebih kaitannya dengan biaya hidup, pemenuhan hak batin sang putra / putri.
Ketika terjadi perceraian Ayah dan Ibu berpisah, sedang hak perwalian anak otomatis pada Ayahnya secara kenyataan di lapangan tidak ada kata bekas orang tua (Ayah).
Sehingga mungkin anggota Dewan yang terdiri dari Netty Prasetiyani, Ledia Hanifa dari fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari fraksi Golkar, ali Taher dari fraksi PAN, dan Sodik Mudjahid dari fraksi Gerindra_perwakilan dari komisi 9 DPR RI, masih butuh dengar yang lebih luas dan tajam dari pendapat banyak fihak yang terkait diantaranya Ibu Tunggal / Orang tua tunggal.
Di a ntara berbagai kasus perceraian yang terjadi memang Ibu Tunggal termasuk yang dirugikan langsung atau tidak langsung; karena ketika putusan pengadilan mantan pergi (bercerai) melenggang tidak ada sangsi ketika sang Ayah lepas tanggung jawab tidak menafkahi anak dan istri, yang sering terjadi suami lebih konsen dan fokus membiayai isri baru dan anak baru disini pentingnya ada perlindungan dari Pemerintah.
Penting ada pengawasan pemerintah sehingga hak anak baik sandang, papan dan pangan terpenuhi saat sang anak bersama (mantan istri) bukan mantan anak, tidak ada mantan anak dalam hukum dan budaya di manapun.
Hal yang berlaku memang tidak ada sangsi dari Negara terhadap Ayah pada anak dan istri yang diceraikannyaa sehingga secara otomatis saja semua peran harus ditanggung sendiri oleh Ibu.
Adapun tentang pasal 33 karena sangat tidak relevan bagi kondisi empiris "Keluarga" yang definisinya terdiri dari orang tua tunggal dan anak (karena berbagai kondisi: ditinggal pasangan meninggal, bercerai atau karena pilihan), memang pada akhirnya cukup riskan juga bagi kami terhadap peluang stigmatisasi dibeberapa pasal yang hanya memperberat beban orang tua tunggal.
Tentu saja Kita rakyat Indonesia berharap RUU - Ketahanan Keluarga bisa diedit, direvisi, diperbaiki dan disempurnakan sesuai harapat masyarakat yang merasa termarginalkan, meskipun Kami mencoba memahami bahwa motifnya adalah baik, maka semoga baik juga pada akhirnya termassuk baik juga saat pelaksanaannya.
"Kalau motifnya untuk membuat ketahanan nasional, agar keluarga menjadi pilar penting untuk membangun bangsa lebih baik, saya kira tujuan kehadiran RUU Ketahanan Keluarga itu, menurut saya bagus,"
Jangan merasa mentok kemudian kecewa takdir menjadi Ibu Tunggal.
Ibunda Siti Maryam berawal dari takdir Allah hidup sendiri tanpa menikah dan menjadi Ibu Tunggal, sedih, pilu, merana adalah rangkaian drama kehidupan, yang InshaAllah akan indah yang pada akhirnya.
Semoga Kita ditempatkan di Surga – Nya, tanpa ribet melewati proses hisab yang panjang karena jaminannya adalah ridha menelusuri hina dina di dunia kejam ini atau mungkin itu yang dinamakan stigmatisasi tanpa logika.
Ciburial, Bandung.
6 Rajab 1441 H
1 Maret 2020 M
Terimakasih @rosi_kompastv & mba @silalahirosi sudah mengundang kami @singlemomsindonesia untuk berdiskusi bersama dan ikut memberikan sudut pandang, pengalaman empiris dan nilai rasa kami mengenai RUU Ketahanan Keluarga.
Terimakasih ibu @netty_heryawan sudah bersedia memperhatikan dan menerima masukan kami. Semoga apa yang tadi dapat kami sampaikan menjadi masukan positif untuk Indonesia lebih baik, dan sungguh, saya pribadi terpukau dengan ibu @valentina_sagala
Terima kasih untuk ilmu dan ulasan yang dipaparkan dengan lugas🙏.
RUU Ketahanan Keluarga Dirancang Untuk Suami Istri, Bagaimana Nasib Orang Tua Tunggal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H