Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dalam pandangan secara umum rakyat Indonesia memiliki wibawa yang berlimpah dengan beberapa sebab diantaranya karena ia disebut sebagai lembaga tertinggi negara.
Tahun 1978 ketika itu penulis mengenyam pendidikan Aliyah sederajat dengan SMA mempelajari tentang MPR baik pembahasan tentang :
- apa itu lembaga tinggi negara,
- apa saja tugas dan wewenangnya,
- bagaimana cara menjadi anggota MPR / DPR RI
- dan berbagai hal tentang DPR / MPR RI
menyimak uraian tentang ini rasanya berat tiada tara telinga seperti tertutup atau memang memndadak tersumbat kemudian matapun mengikuti suara yang lamat – lamat saja sehingga lama – kelamaan suara sang guru menghilang . . . sungguh penulis dan beberapa teman tertidur bahkan terlelap berjamaah.
Akan tetapi bagaimanapun sering terlelap dalam kelas tuntutan ulangan harian dan ulangan umum adalah “menghafalkan” semua yang telah di terangkan Bapak Mustafa Ghani sebagai salah seorang guru senior kami di tahun itu, dan Bapak Guru yang selalu bersemangat menjelaskan tentang pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) kini telah almarhum doa baginya yang tak pernah letih juga tidak pernah ‘berang’ mengarahkan kami. Al – Fatihah.
Tidak ada kata tidak, karena kewajiban mengikuti ulangan harian / umum minimal membacanya dengan tekun “menghafal” pasal demi pasal dan semua ketentuan – ketentuan di dalamnya.
Betul pada waktu tahun 70-an kami sebatas “menghafal” tidak pernah memahaminya sehingga dapat mencapai angka 7 untuk laporan pendidikan bagi penulis menjadi hal yang cukup surprise karena yakin angka lima adalah layak bagi si penidur.
Undangan blogger gathering pada 20 Mei 2017 membuka ingatan – ingatan tentang pembelajaran PMP di masa lalu yang sungguh – sungguh tidak menarik, penuh dengan pasal – pasal aturan – aturan yang sulit di fahami dan PMP layaknya monster yang selalu datang di hari kamis kemudian kami mengantuk berjamaah namun Pak Guru ketika itu sama sekali tidak pernah marah.
Bogger Gathering MPR RI di Bandung