Kritik – kritik sosial dihidangkan dengan cantik khususnya tentang pengkastaan masyarakat, sebagian tadi sudah diulas selewat saja, itu yang menjadi gejolak jiwa Daeng Tutu yang merasa dan dianggap dari level rendah dibandingkan dengan keluarga Natisha
Dengan membaca Novel ini penulis sedikit – sedikit kembali belajar bahasa Indonesia yang agak asing, kurang populer dan tentu saja tabu digunakan bagi generasi alay diantaranya :
- Sewaktu keringat mengucur dari kening Kasing, dadanya kembang kempis dan matanya menguarkan amarah . . .
- Aku mengendikkan bahu. “Yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin!”
- Aku penasaran. Kugamitlengan Kasing sambil menoleh beranda.
- Kali ini mengarah ke perutku, lalu memancaslenganku
- Selebihnya, kembali luka akan meracah – racah hatiku.
- Kata demi kata yang Ayah tuturkan langsung lesapkedalam sanubariku.
- Sekarang aku terperenyak disini dengan tingkah layaknya maling.
- Pelan – pelang keheningan menggelimuni kami.
- Dst.
Setting lokasi mengundang pembaca untuk bisa hadir dilokasi pantai gunung dan sawah yang nama – namanya lengkap ditulis semoga ini apa adanya, gregetan ingin datang kesemua yang di catat seperti Tamalatea Kalumpang Tanetea Bukit Lantaka, Bontoramba, Pantai Tamarunang Batujala dan banyak lagi tempat berasa ingin menjejaknya kesana. ( hm . . . lumayan menggoda )
Diantara quote – quote sayang jika tidak ditampilkan . . .
Tidak seorangpun ditakdirkan beruntung sepanjang hidup. Keberuntungan hanya datang sekali – kali, itupun harus di kejar, harus diperjuangkan sendiri . . . . (Natisha, p. 66)
Ini khusus harus menggunakan stabillo oranye ( #ekh . . . ).
Jangan bersikap terlalu manis, jangan bertutur terlalu pahit. Terlalu manis akan tertelan, terlalu pahit akan dimuntahkan ;
Ingatlah falsafah Sulapak Appak. Di dalam dirimu ada api, nyalakan api itu agar kamu tidak di remehkan orang. Ada angin tiuplah angin itu biar kamu terus merasa hidup. Jangan lupakan air, darisana kamu bercermin perihal bagaimana menyesuaikan diri. Lalu tanah. Benar kamu penyabar, tetapi kamu harus ingat bahwa tanah juga sewaktu – waktu bisa marah. Terakhir jika kamu mencari seseorang yang pergi, pencarian itu harus bermula dari mana ia berangkat.” (Natisha, p. 66)
Merawat Amarah adalah sumber . . . kalimat ini maybe yess maybe no.
Lantas mengapa sebegitu benci Rangka kepadaku ? Dari mana asal muasal amarah Rangka dan bagaimana ia merawat amarah itu (Natisha, p.77)