Eksplorasi Tema dan Pesan Moral dalam Novel 'Belenggu' oleh Armijn Pane Menurut Teori Burhan Nurgiyantoro
Belenggu adalah sebuah karya sastra yang mendalam dan kompleks, menggambarkan pergulatan batin manusia dalam mencari kebebasan dan identitas diri. Novel ini menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia dan terus menarik perhatian pembaca dan kritikus hingga saat ini. Novel Belenggu karya Armijn Pane merupakan sebuah karya sastra yang terbit pertama sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1940. Novel ini dibuat semenarik mungkin oleh penulis, sehingga terdapat cerita yang sangat seru dan intens, pesan moral yang terkandung di dalamnya memberikan dampak yang baik bagi pembaca.
Analisis ini menggunakan teori Burhan Nurgiyantoro untuk menganalisis tema dan pengembangan tokoh dalam 'Belenggu', Burhan Nurgiyantoro menyatakan bahwa unsur-unsur pembangun novel mencakup alur, tema, penokohan, latar, sudut pandang, bahasa, dan pesan moral. Unsur-unsur penceritaan dalam fiksi naratif ini merupakan struktur yang membentuk cerita. Tulisan ini akan memusatkan perhatian pada tema dan pesan moral yang terdapat dalam novel 'Belenggu'.
- Tema
Pada novel Belenggu mengisahkan tentang kehidupan seorang lelaki bernama Sukartono yang berprofesi sebagai seorang dokter, ia terjebak dalam konflik batin yang rumit antara cinta dan kewajiban. Sukartono menikahi seorang wanita bernama Sumartini, tetapi hubungan mereka dipenuhi dengan ketegangan dan konflik internal. Sukartono merasa terbelenggu antara kewajiban pernikahan dan cintanya kepada seorang wanita lain, yaitu pasiennya yang merupakan teman sekaligus tetangganya dahulu. Siti Rohayah.
- Motif Perselingkuhan.
        Sebagai seorang suami sekaligus dokter, di tengah kesibukan dan rasa lelah, tentu ia sangat membutuhkan perhatian dari sang istri, sumartini, yang biasa disebut Tini. Tetapi dia tak kunjung mendapatkan perhatian yang ia inginkan, meskipun hal-hal yang kecil. Hal ini dibuktikan pada kutipan narasi berikut.
"Perempuan sekarang cuma me minta hak saja pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang, kalau dia bersimpuh dihadapan suaminya akan menanggalkan sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia Apa lagi hak po rempuan, lain dari memberi hati pada laki-laki
Dokter Sukarteno memandang sepatunya. Dia tersenyua loca rasanya membayang-bayangkan Tini duduk bersimpuh dihadapan nya sedang asyik menanggalkan sepatunya. Mengurus bloc-note saja dia tiada hendak. Tiada hendak...... Betulkah karena tidak haen dak? Tini pelalai di waktu belakangan ini, sampai barang sulaman nya ditaruhnya di meja itu"
Pada suatu hari dia mendapatkan panggilan dari pasien seorang perempuan Bernama Siti Ruqoyah yang biasa Tono sebut Yah, ia ingin diperiksa ke rumahnya, tetapi Yah hanya berpura-pura sakit hanya untuk mendapatkan perhatian dari Tono. Akan tetapi, Tono selalu ingat pesan gurunya untuk tidak langsung menyimpulkan pasien baik-baik saja, dia selalu berpikir mungkin ada hal lain. Karena sering Tono berkunjung ke rumah Yah untuk memeriksa, dia sering mendapatkan perhatian kecil yang tidak ia dapatkan Ketika berada di rumah dengan sang istri, Tini. Sehingga ia sadar dan merasa nyaman. Hal ini dibuktikan pada kutipan.
"Dokter, tiadakah parnas hari ini? Bolehkah saya tanggalkan baju quan dokter?" Dia tiada menunggu jawab dokter Sukartono, dengan segera ditanggalkarnya Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut dihadapan Sukariono, terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari bawah kerosi Sukartono.
"Sudah sedia," katanya dengan senyum simpul. Kartono merasa seolah-olah tercapai cita-citanya, merasa baha- gia didalam hatinya karena dipelihara demikian. Yang demikian sudah lama dinanti-nantinya.