Adakalanya sikap konsumtif timbul karena lingkungan pergaulan sehari-hari, baik di lingkungan kerja atau relasi dimanapun kita berada. Di tengah kehidupan yang  cenderung meterialistis di zaman global ini, tidak jarang kepemilikan 'barang baru' atau 'barang mewah' menjadikan simbol status seseorang. Untuk level mereka yang kaya harta mungkin barang atau produk apapun bisa dibeli, namun bagi kalangan menengah ke bawah belum tentu keinginan yang 'serba wah' selalu terpenuhi karena kebutuhan pokok masih harus dicukupi.
Mengikuti trend kehidupan masa kini dengan tawaran produk-produk barang 'berkelas' memang memerlukan kecermatan dalam rencana membelanjakan uang yang kita miliki. Disamping perlunya efisiensi, tidak mudah tergiur, juga lebih bijak mendahulukan pemenuhan kebutuhan (bukan keinginan). Karena kebutuhan harus dibeli, tetapi keinginan bisa ditunda, begitulah kiranya.
Sama halnya bilamana kita secara ambisius menuruti keinginan (yang tak ada batasnya) tentunya sudah terlepas dari kontrol diri. Sebagai satu contoh: melihat perkembangan produk gadget/smartphone yang setiap enam bulan menawarkan produk baru, fitur atau menu baru, dan harganyapun baru -- agaknya tidak harus selalu dimiliki -- kecuali jika barang tersebut sudah menjadikan sarana pokok untuk bekerja dan menghasilkan uang.
Terlepas dari sikap menggurui, tulisan ini tidaklah bermaksud menghalangi seseorang untuk memenuhi keinginannya dalam membeli sekaligus mengkonsumsi barang yang hendak dibeli/dimiliki. Jauh dari itu, pesan moralnya hanya sebatas imbauan bahwa alangkah bijaknya: membeli fungsi, bukan membeli gengsi ! Â Karena dengan membeli fungsi akan banyak menunjang produktivitas kegiatan sehari-hari. Sedangkan membeli gengsi lebih pada penampilan gaya hidup yang belum tentu sesuai dengan situasi dan kondisi riil dalam kehidupan berkeluarga. (Fransiska Rosilawati).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H