Mohon tunggu...
Fransiska Rosilawati
Fransiska Rosilawati Mohon Tunggu... -

Pekerja Pranata Humas

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kita Lebih Pilih Membeli Gengsi Daripada Fungsi

20 Juni 2017   14:54 Diperbarui: 21 Juni 2017   12:45 2285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://messagewrap.com

Pemandangan kasat mata di hampir setiap aktivitas sehari-hari dihadapan kita, baik di tempat-tempat umum, di sudut-sudut jalanan strategis atau tempat keramaian selalu tersuguh sajian informasi berupa iklan dalam berbagai jenis, bentuk dan ukurannya. Baik iklan yang disajikan secara konvensional maupun iklan yang sudah berteknologi elektronik/digital akan selalu tertatap mata. Bahkan di dunia online pun jangan kaget bilamana seketika tampil iklan, termasuk iklan yang bersifat personal tiba-tiba muncul di layar gadget kita.

Demikian halnya promo berbagai produk menjelang momentum lebaran di media massa, media online maupun dalam bentuk lainnya terasa sangat menggejala alias semakin gencar dilakukan dimana-mana. Promo atau lengkapnya promosi disini dimaksud sebagai salah satu cara yang dilakukan oleh lembaga ekonomi atau perusahaan yang umumnya berorientasikan pada pengenalan dan mengkomunikasikan produk yang pada gilirannya diharap mendatangkan profit.

Di satu sisi kehadiran iklan memang diperlukan karena supaya calon pembeli mendapatkan informasi awal tentang produk, keunggulan produk, spesifikasi, deskripsi produk lainnya hingga soal harga/pembayaran yang juga turut dicantumkan. Pendek kata, iklan seringkali menampilkan kata-kata singkat padat, gambar menarik, dikemas secara persuasif supaya konsumen/calon pembeli menjadi terpikat.

 Akan tetapi pada sisi lain, kehadiran iklan bisa jadi atau kadang dapat mengganggu, terutama bagi mereka yang tidak memiliki minat maupun kepentingan terhadap produk yang diklankan. Lebih memprihatinkan lagi kalau iklan ditampilkan di tempat-tempat/ruang publik atau di kawasan fasilitas umum, pastinya sangat mengganggu misalnya menghalangi rambu-rambu lalulintas jalan dan sebagainya.

Hal demikian mengingatkan penulis bahwa dalam dunia ilmu komunikasi  pernah disebutkan Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya berjudul Psikologi Komunikasi menyebutkan  adanya dampak-dampak atau efek atas kehadiran media, baik berupa efek secara fisik maupun efek atas terpaan pesan (kognitif, afektif, dan behavioral). Efek kognitif terjadi bila ada perubahan apa yang diketahui, dipahami, dipersepsi, berkait dengan transmisi pengetahuan. Efek afektif timbul bila ada perubahan terhadap apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci. Efek behavioral merujuk pada perilaku nyata, menerima pesan dan mendukung untuk melakukannya (Rakhmat, 2007:219).

Berkait paparan di atas, selanjutnya perlu kita pertanyaan: apakah kita mudah terpengaruh atas kehadiran informasi seperti gencarnya iklan-iklan dari berbagai produk yang hampir setiap hari, setiap saat terpampang dan hadir dihadapan kita?

Bagi mereka yang tidak menyadari mungkin saja apa yang secara gencar di-iklankan segera ingin membelinya, yang penting ada duit -- langsung berupaya untuk memiliki atau mengkonsumsi produk yang ditawarkan melalui iklan. Namun ada juga yang lebih cermat atau cerdas dalam memahami kehadiran iklan yang kian hari terus "menggempur" waktu dan ruang kita. Itu semua adalah pilihan dalam menjalani kehidupan masa kini , tidak layak untuk menghalangi terhadap siapapun.

Hanya saja kalau boleh penulis memilih, mungkin di era kekinian yang semuanya mengacu pada globalisasi (baca: liberalisasi ekonomi) ada kalanya kita tetap dan selalu berpikiran kritis dalam mengambil sikap dan berkeputusan. Beragam produk diciptakan dan persaingan usaha semakin ketat untuk merebut pangsa pasar. Termasuk kehadiran pesan melalui iklan-iklan yang disampaikan melalui berbagai media komunikasi merupakan salah satu kiat perusahaan untuk menggaet pembeli.   

Belakangan ini nampak bahwa persaingan produk dengan tampilan iklannya yang cenderung juga bersaing untuk merebut konsumen. Bahkan ada yang menyebutkan diskon harga hingga 50 persen lebih. Beli 1 (satu) produk dapat membawa pulang 2 (dua) produk yang ditawarkan. Pengumpulan poin dapat ditukarkan sebagai reward, setiap pembelian dalam jumlah tertentu dapat mengikuti undian berhadiah, dan iming-iming menarik lainnya sebagai daya pikat.

Sehubungan hal tersebut, sebaiknya kita perlu bersikap bijak. Membijaki gencarnya iklan berarti pula apapun informasi yang menerpa bisa kita terima namun perlu disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kepentingan yang ada dalam setiap pribadi atau keluarga sendiri. Langkah ini menunjukkan pula bahwa kita masih perduli akan lingkungan internal rumah tangga.

Membeli fungsi, bukan membeli gengsi

Adakalanya sikap konsumtif timbul karena lingkungan pergaulan sehari-hari, baik di lingkungan kerja atau relasi dimanapun kita berada. Di tengah kehidupan yang  cenderung meterialistis di zaman global ini, tidak jarang kepemilikan 'barang baru' atau 'barang mewah' menjadikan simbol status seseorang. Untuk level mereka yang kaya harta mungkin barang atau produk apapun bisa dibeli, namun bagi kalangan menengah ke bawah belum tentu keinginan yang 'serba wah' selalu terpenuhi karena kebutuhan pokok masih harus dicukupi.

Mengikuti trend kehidupan masa kini dengan tawaran produk-produk barang 'berkelas' memang memerlukan kecermatan dalam rencana membelanjakan uang yang kita miliki. Disamping perlunya efisiensi, tidak mudah tergiur, juga lebih bijak mendahulukan pemenuhan kebutuhan (bukan keinginan). Karena kebutuhan harus dibeli, tetapi keinginan bisa ditunda, begitulah kiranya.

Sama halnya bilamana kita secara ambisius menuruti keinginan (yang tak ada batasnya) tentunya sudah terlepas dari kontrol diri. Sebagai satu contoh: melihat perkembangan produk gadget/smartphone yang setiap enam bulan menawarkan produk baru, fitur atau menu baru, dan harganyapun baru -- agaknya tidak harus selalu dimiliki -- kecuali jika barang tersebut sudah menjadikan sarana pokok untuk bekerja dan menghasilkan uang.

Terlepas dari sikap menggurui, tulisan ini tidaklah bermaksud menghalangi seseorang untuk memenuhi keinginannya dalam membeli sekaligus mengkonsumsi barang yang hendak dibeli/dimiliki. Jauh dari itu, pesan moralnya hanya sebatas imbauan bahwa alangkah bijaknya: membeli fungsi, bukan membeli gengsi !  Karena dengan membeli fungsi akan banyak menunjang produktivitas kegiatan sehari-hari. Sedangkan membeli gengsi lebih pada penampilan gaya hidup yang belum tentu sesuai dengan situasi dan kondisi riil dalam kehidupan berkeluarga. (Fransiska Rosilawati).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun