***
Istilah yang beredar dan dikenal oleh masyarakat dari haji jenis ini cukup beragam. Ada sebagian mereka menyebut dengan istilah "haji non-kuota", "haji furoda", "haji backpacker", atau "haji undangan". Namun, yang resmi termuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019, haji jenis ini disebut dengan "Haji Mujamalah".
Dalam sejarahnya "daftar haji langsung berangkat" memang betul adanya. Bahkan untuk kuota resmi Indonesia, daftar langsung berangkat terjadi di tahun-tahun sebelum 2007.
Kita masih dapat mengingat, siapa pun saat itu yang ingin berangkat haji dapat mendaftar dan langsung berangkat pada tahun yang sama.
Namun seiring waktu dengan semakin meningkatnya girah beragama dan kemampuan ekonomi, pendaftar semakin banyak dan antrean haji semakin panjang.
Dalam konteks haji di luar kuota resmi sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun silam. Relasi bisnis yang dibangun sejak zaman keemasan "Syekh" (sebutan saat itu untuk pendamping sekaligus pembimbing haji di Arab Saudi), membuahkan mudahnya memperoleh visa undangan dari mitra bisnis di Arab Saudi.
Selain itu, dari sisi pemberangkatan jemaah tidak ada persoalan di imigrasi, baik di Indonesia maupun Arab Saudi.
Peluang bisnis ini kemudian menjadi marak, karena dari sisi ekonomi dinilai menghasilkan untung lebih dibanding haji khusus yang dikelola.
Persoalan kemudian muncul karena lebih pada rasa tidak adil kepada warga Indonesia dan pelindungan yang diberikan selama di luar negeri. Pemerintah mencatat mereka sebagai pelancong biasa bukan jemaah haji.
Hal inilah yang sering menimbulkan persoalan di lapangan. Koordinasi tingkat Kementerian dan Lembaga menjadi kurang terkonsentrasi dan kehabisan energi untuk menyelesaikan persoalan yang timbul dari jemaah haji pelancong.
***