Serangkut pertanyaan mesti dijawab segera. Mengingat musim operasional penyelenggaraan haji sudah di depan mata. Pemenuhan infrastruktur, sinkronisasi sistem antar bank dan antar negara, dan segala macam persiapan sistem transaksi keuangan.
Dukungan Infrastruktur
Kota Mekah dan Madinah, khususnya sekitaran masjid didesain sebagai kota ibadah. Meski banyak perdagangan, kedua kota itu tidak dirancang sebagai kota bisnis. Jadi wajar bila di sana tidak banyak tersedia mesin penarikan uang.
Demikian pula toko penjaja dagangan, tidak banyak menyediakan fasilitas pembayaran non tunai. Baik gunakan kartu kredit, kartu debit, atau kartu sistem keuangan lainnya. Sebagian besar dari mereka lebih senang pembayaran tunai.
Selain itu, saat musim haji sepanjang jalan kota Mekah dan Madinah berjejer pedagang musiman. Di tempat inilah seringnya jemaah haji Indonesia belanja kebutuhan sehari-hari dan oleh-oleh dengan harga relatif murah. Sebagai pedagang musiman, tentu tidak mempersiapkan diri dengan perangkat transaksi non tunai.
Pengalaman saya selama musim haji di kota Mekah dan Madinah, merasakan tidak mudah mencari mesin penarikan uang tunai. Masih lebih mudah mencari loket penukaran mata uang.
Mesin penarikan uang tunai, kalaupun ada letaknya cukup jauh dari jangkauan tempat tinggal jemaah. Ini jelas menjadi kendala utama jemaah saat berkebutuhan mendesak.
Persoalan berikutnya, meski ketemu mesin penarikan unag tunai, mungkin tidak leluasa seperti halnya di Indonesia. Karena di layar mesin hanya tertulis bahasa Arab "gundul" tanpa harakat. Jika pun ingin berganti bahasa, yang ada bahasa Inggris.
Budaya Menggunakan Kartu Debit
Dalam banyak hal, menggeser budaya gunakan uang kertas ke uang plastik perlu waktu dan edukasi terus menerus. Sementara profil jemaah haji saat ini bukanlah generasi yang terbiasa dengan transaksi elektronik.
Sosialisasi sampai tataran ketua regu sekalipun, sepertinya tidak akan menjawab persoalan seluruhnya. Mengingat kebutuhan transaksi keuangan setiap jemaah bersifat pribadi dan sewaktu-waktu.