Kini, 2018 keinginan berhaji dihadapkan pada kenyataan depan mata, antrean pendaftar. Tidak satu atau dua, tapi puluhan tahun lamanya. Bahkan di provinsi Sulawesi Selatan, antrean telah lebih dari empat puluh tahun.
Namun lamanya waktu tunggu bukanlah jaminan seluruh persiapan selesai saat jelang berangkat. Hal ini terverifikasi setiap tahunnya saat pelunasan biaya haji. Lebih dari lima belas ribu jemaah tidak mampu melakukan pelunasan tahap pertama. Sebagian besar dari mereka dikarenakan kemampuan finansial.
Haji juga sebuah panggilan. Banyak umat Islam memiliki cukup syarat, namun belum juga terpanggil melaksanakan haji. Bahkan dari mereka telah terdaftar di Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) sekalipun. Saat depan mata untuk melunasi, belum juga mau dan mampu, lantaran waktu belum memungkinkan.
Untuk itulah, perlu disadari dan tanamkan dalam keimanan setiap calon jemaah, haji adalah perjalanan suci. Sebuah panggilan atas undangan dari yang maha segalanya, Allah SWT. Maka patutlah jika ibadah suci ini dimulai dengan luruskan niat. Niat tulus ikhlas, niscaya akan membuka jalan, mudahkan segala urusan menuju Baitullah.
Setelah niat diletakkan sebagai fondasi, teruskan dengan persiapan lainnya secara dini dan matang. Semua patut direncanakan secara cermat dan terukur. Persiapan dimaksud mencakup finansial, kesehatan, dan ibadah.
Kadar Ibadah
Bagi orang yang belum pernah berhaji, niat saja sudah menjadi suatu istimewa. Betapa dia akan menyimpan niatnya hingga saatnya tiba diutarakan. Saat mulai berniat, orang cenderung menyimpan beberapa waktu lamanya sampai merasa siap.
Sebagai modal awal, tentu yang dilakukan adalah berupaya memantaskan diri atas kadar keimanan dan kadar ibadahnya. Bagaimana pun sosial masyarakat akan ikut melihat dan menilainya. Setelah merasa cukup barulah berani mendaftarkan diri ke Kementerian Agama.
Menyadari bahwa haji bukanlah sekedar status sosial. Haji adalah wujud kadar keimanan kepada Allah. Menghambakan diri kepada Nya, setidaknya sudah nampak atau bahkan teruji melalui kadar ibadah. Juga kadar sosial dalam menjaga hubungan dan perilaku sesama manusia dan sesama makhluk. Keduanya berjalan seimbang dan seirama.
Itulah bibit indikator kemabruran, gambaran hasil yang idamkan setiap jemaah pulang berhaji. Menyandang status "haji mabrur", menumbuhkan akhlak terpuji (mahmudah) dan mengikis habis akhlak buruk (mazmumah). Status ini tidak cukup dinilai dari perubahan wujud pakaian yang dikenakan atau perubahan kosakata yang "kearab-araban".
Meski haji termasuk ibadah berjamaah, namun ada sisi di mana rukun dan wajib patut dipenuhi secara mandiri. Di sinilah kapasitas seorang jemaah akan teruji. Akankah dia paham rangkaian ritual haji beserta hukumnya. Untuk itulah sebelum berangkat, setiap jemaah diminta mengikuti latihan manasik.