Pembukaan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) seakan membuka gerbang surga para pemburu kerja. Ribuan bahkan jutaan penduduk usia produktif berlomba mendaftarkan diri.
Mengadu nasib di Sistem Seleksi CPNS Nasional (SSCN) adalah pilihan sekaligus harapan. Sejumlah pelamar bukanlah sekadar fresh graduate, mereka bahkan sudah "mapan" dalam dunia kerja. Namun nasib mereka pupus di langkah pertama setelah berkas dinyatakan cukup. Mereka jatuh saat berhadapan dengan ujian Seleksi Kompetensi Dasar (SKD).
Contoh kasus, hasil SKD Kanwil Kementrian Agama (Kemenag) Provinsi Maluku, dilaksanakan tanggal 7 sampai 10 November 2018 lalu, dari 1.795 orang peserta ikut, hanya 10 orang dinyatakan lolos passing grade. Sementara formasi CPNS yang dibutuhkan sebanyak 120 orang.
Jauh panggang dari api, perkiraan banyak pihak meleset. Bahkan jumlah tersebut tidak lagi memenuhi kuota tiga kali formasi untuk melangkah ke tahap berikutnya, Seleksi Kemampuan Bakat (SKB).
Kasus serupa terjadi hampir di semua institusi, pusat dan daerah. Berita di media menyebutkan, tingkat kelulusan, bahkan tidak mencapai 1% dari peserta. Ironis. Kejadian ini tentu menjadi pertanyaan besar sekaligus kegundahan sejumlah kalangan, terutama oleh banyak peserta. Protes hingga petisi bermunculan sebagai bentuk sikap mempertanyakan kebijakan pemerintah.Â
Penelusuran penulis melalui komentar peserta SSCN di sejumlah media sosial, menunjukkan sebagian besar mereka mengeluh jatuh di Tes Karakteristik Pribadi (TKP). Disusul Tes Intelegensia Umum (TIU), sering kehabisan waktu karena berpikir keras menyelesaikan soal.
TKP seakan jadi momok bagi pelamar CPNS. Panjangnya kalimat, soal dan jawaban, menjadi pengecoh peserta saat memilih jawaban tepat dengan skor tertinggi. Tidak ada jawaban salah atau benar. Apapun jawaban tetap mendapat skor, 1-5 poin.
Rasa penasaran penulis, akhirnya menelusuri ke beberapa sumber guna mencoba jenis soal yang disodorkan ke peserta SKD tersebut. Meski hanya soal perkiraan sebagaimana tersebar di berbagai sumber di internet. Penulis berkesimpulan sementara untuk dapat memilih jawaban secara tepat memerlukan literasi memadai, tingkat kepribadian dan emosi cukup matang. Bahkan beberapa soal diantaranya baru dirasakan setelah bekerja 10 tahun lamanya.
***
BKN mencatat sebanyak 3.628.331 berkas pelamar dikirim perebutkan 238.015 formasi di 558 instansi, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Hingga tanggal 31 Oktober 2018, dirilis sebanyak 2.812.589 orang dinyatakan lolos administrasi dan diberikan kesempatan mengikuti SKD.
Dalam kurun 90 menit mereka harus mengatur strategi menyelesaikan 100 soal, terdiri dari 35 soal TWK, 30 soal TIU, dan 35 soal TKP. Menghadapi ujian dengan sistem Computer Assisted Test (CAT), ternyata menjadi persoalan sendiri bagi pelamar yang pertama kali mengahdapinya.Â
Di sisi lain, banyaknya persoalan jelang masuk ruang ujian turut memberikan beban menurunkan mental sejumlah peserta. Molornya waktu pelaksanaan hingga berjam-jam, kelelahan dan stres menghinggap, mengoyak emosi saat di ruang ujian. Menurunkan daya konsentrasi peserta menjawab ujian.
Passing grade sebagaimana ditetapkan BKN adalah ambang batas kelulusan atas ujian SKD. Untuk soal TWK, peserta cukup menjawab benar 15 dari 35 soal. Sementara di TIU relatif lebih berat, harus menjawab 16 soal secara benar dari 30 soal yang disajikan. Sedangkan TKP, peserta harus bekerja keras mendapatkan skor 143 dari maksimal 175 bila jawaban tepat sasaran.
Skema awal, peserta yang berhasil passing grade, akan dirangking dan kemudian diambil tiga besar sesuai formasi untuk ikut SKB. Namun kenyataan berkata lain. Jangankan peroleh tiga besar, bahkan banyak peserta berguguran, dan akhirnya tak ada calon satupun.
***
Upaya pemerintah mendapatkan aparatur unggul memang harus dibayar mahal. Betapa tidak, perencanaan panjang, anggaran yang digelontorkan, dan keterlibatan masif di semua lini instansi, bukanlah jumlah sedikit. Akan semua upaya tersebut kandas lantaran minimnya peserta lulus SKD?Â
Bagaimana pun mereka yang lolos CPNS akan memimpin pemerintahan lima belas atau dua puluh tahun mendatang. Mereka harus lebih berkualitas dari kondisi PNS saat ini. Makanya tidak heran bila BKN menetapkan standar yang cukup tinggi. Semua dilakukan guna meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang prima.
Sebelumnya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Asman Abnur mengatakan, permasalahan mendasar PNS sekarang adalah soal kemampuan. Lebih dari 60 persen hanya menguasai urusan surat menyurat alias "juru ketik"Â dan tidak memliki kemampuan khusus.
Dalam sejumlah contoh di sebuah unit kantor, dari 10 PNS yang ada, hanya 4 orang yang dapat diandalkan bekerja. Sisanya lebih berperan sebagai "penonton". Makanya wajar bila beban pekerjaan tidak seimbang antara pegawai satu dengan lainnya.Â
Dampak lainnya adalah banyak pekerjaan yang akhirnya dilempar kepada pihak ketiga atau memperkerjakan pegawai non-PNS yang sudah jelas kualitasnya diperlukan pada pekerjaan tertentu.
BKN, tahun ini mengadakan CPNS dalam jumlah besar bukan tanpa alasan. Moratorium yang menjadi kebijakan pemerintah beberapa tahun belakang, telah mengikis banyak jumlah PNS akibat pensiun tanpa ditambal pengadaan baru secara memadai. Di tahun 2018 saja, disebutkan ada 220.000 PNS pensiun.
Dari sisi jumlah, setidaknya ada 4,5 juta PNS saat ini. Jika dibandingkan jumlah penduduk diperoleh persentase 1.7, berarti 1.7% PNS melayani 100 orang penduduk. Namun dalam sistem penyelenggaraan pemerintah, kuantitas aparatur harus tetap dibarengi dengan kualitas.
Mengutip pepatah presiden pertama kita Bapak Ir. Soekarno, "Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia". Dari ungkapan tersebut jelas bermakna kualitas lebih penting dari sekedar kuantitas. Sudah semestinya pemerintah tidak perlu resah, meski begitu banyak energi dan sumber daya dikeluarkan demi memperoleh CPNS berkualitas unggul. Karena sekali lagi mereka adalah generasi yang akan memegang tonggak pemimpin pemerintahan masa depan.
Pengalaman membuktikan, beban negara atas kondisi aparaturnya, jangan sampai terulang. Mereka harus menjadi terdepan, bergerak dinamis seiring perkembangan jaman dan dinamika tuntutan pelayanan publik yang semakin prima.
Pada akhirnya, dari passing grade itu, semua pihak bisa berkaca tentang gambaran kualitas generasi muda bangsa Indonesia. Passing grade juga dapat dipakai sebagai alat ukur tingkat literasi generasi milenial sekaligus menjadi bahan evaluasi sistem pendidikan saat ini.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H