Saya tidak tahu langkah pastinya bagaimana, tapi ini murni dari pengalaman saya pribadi. Pertama, saya coba merenung mencari akar sebab dari kemarahan yang bergejolak di dalam batin saya ini dari mana asal mulanya? Saya panggil kembali ingatan-ingatan di masa lalu.Â
Saya coba mengingat kembali apakah ada hal yang mungkin saya pendam dan belum tersampaikan. Mungkin itu yang menjadi pengganggu di pikiran saya. Akhirnya saya ingat pada satu waktu di mana saya benar-benar merasakan kesedihan luar biasa. Saya ingin marah pada orang yang telah membuat saya sedih. Tapi saya tidak bisa.Â
Karena saya tahu ini bukan sepenuhnya salah dia. Kejadian itu saya alami ketika saya masih kelas IX SMP, umur saya waktu itu masih 14 tahun. Di usia remaja yang secara mental masih labil. Belum bisa membedakan benar dan salah dengan baik. Tapi harus dihadapkan pada kenyataan yang mengguncang psikologisnya.Â
Saya yang waktu itu pertama kali merasakan jatuh cinta dan merasa nyaman karena saya mendapatkan apa yang saya butuhkan. Saya ingat betul, perasaan sayang yang saya miliki ini benar-benar tulus. Saya berusaha mengingatkan dia jika dia salah. Kita hanya saling bercerita. Bertukar pengalaman. Dia selalu mau mendengarkan.Â
Saya pun senang jika mendengarkan semua cerita dia. Delapan bulan lamanya saya mendapatkan pengalaman baru. Pengalaman indah. Yang tak pernah saya rasakan sebelumnya. Hubungan itu membuat saya hidup di dunia baru. Dunia yang membuat saya belajar, membuat saya berani, membuat saya menemukan diri sendiri.
Tapi ya yang namanya remaja masih labil dalam mengambil keputusan. Ya akhirnya dia pun meminta putus. Putus karena alasan dia gagal menjadi sosok yang baik untuk saya. Lucu memang jika diingat-ingat lagi.
Saya di situ kaget, marah, kecewa. Ah semua bersatu dalam satu waktu. Lalu saya hanya bisa menangis. Saya hanya bisa bercerita kepada Ibu saya tercinta. Ibu saya lalu menenangkan saya dan menasihati saya, "Gak perlu marah, De. Kan masih kecil. Itu pilihannya dia. Kalau memang jodoh juga nanti ketemu lagi." Begitu kata ibuku.
Dari situ walau berat saya mencoba bangkit. Ya saya mencoba membangun keyakinan bahwa saya bisa menjalani hidup yang berbeda. Menjalani hidup tanpa dia. Jika bertemu dengan dia saya hanya bisa tersenyum. Walaupun sebenarnya saya ingin ceritakan kondisi saya. Rasa sedih, kecewa, benci, dan marah saya pendam sendiri.
Tidak saya kelola. Karena saya tak mengerti bagaimana caranya. Yang jelas life must go on. Tapi secara tidak sadar perasaan-perasaan negatif tersebut membuat saya trauma.Â
Membuat saya kejam pada diri saya sendiri. Saya takut melihat diri saya jatuh kembali. Saya tutup rapat-rapat pintu hati saya. bahkan di umur 21 tahun ketika ada yang datang pun saya takut. Entah apa yang saya takutkan. Saya hanya takut.
Pikir saya saat itu mungkin memang benar, saya sebetulnya belum memaafkan masa lalu saya. Saya hanya berusaha melupakan tanpa memaafkan. Akhirnya saya pun memberanikan diri menghubungi orang yang dulu pernah menyakiti saya. Saya ceritakan semua. Bukan untuk menyalahkan dia. Tapi saya hanya ingin mengutarakan.Â