Saya mau terus belajar. Saya tidak mau kalah dengan super ego saya. Itulah keyakinan yang masih saya jaga. Keyakinan yang membuat saya bertahan. Membuat saya bangkit walaupun sudah jatuh untuk yang kesekian kalinya.
Akhirnya saya pun bertanya pada Psikolog, "Mengapa saya bisa begini? Mengapa saya selalu mudah membenci diri saya sendiri dan tak memberi sedikit pun celah ampunan kepada saya sendiri?"
Beliau menjawab, "Kondisi yang kamu alami ini terjadi di internal diri kamu. Sebabnya bukan dari lingkungan. Hipotesis saya sebabnya dari banyak faktor. Bisa jadi pengalaman di masa lalu yang mendalam. Atau juga didikan orang tua. Akhirnya jadi pembiasaan diri tanpa kamu sadari."
Lalu saya tanya kembali, "Kenapa kondisi mental saya ini bisa tergolong mental yang tidak sehat? Apakah salah jika kita marah pada diri sendiri agar bisa berubah?"
Beliau menjawab sambil tertawa, "Ya jelas gak sehat dong, Ci. Kamu itu terlalu idealis. Idealis yang buta akhirnya membuat kamu menutup mata bahwa kamu juga manusia yang tidak sempurna. Manusia melakukan kesalahan, berbuat dosa adalah hal yang wajar. Seberapa besar sih memang kesalahanmu? Kenapa kesalahan kecil kamu besar-besarkan?Â
Apakah dengan kesalahanmu ini teman-teman kamu benci terhadap diri kamu? Dosen akhirnya menghukumu? Kan tidak begitu kenyataannya, Ci. Mereka menerima diri kamu. Kamu pun harus begitu. Dari pada menyalahkan diri, mengapa tidak fokus mencari solusi untuk ke depan?"
Dari situlah akhirnya pelan-pelan saya coba mengubah semua nilai yang tertanam di super ego saya. Saya mencoba berdamai. Saya coba mencari obat untuk meredakan kebencian yang menghancurkan diri saya sendiri.Â
Obat itu tidak dijual di apotek mana pun. Obat itu hanya kita yang memiliki. Obat itu ternyata tersimpan di dalam diri kita. Obat itu adalah belajar memaafkan.
Apa yang perlu dimaafkan? Semua. Memaafkan masa lalu diri kita. Memaafkan orang-orang yang pernah menyakiti kita. Memaafkan kekurangan diri kita. Memaafkan dosa kita.Â
Tapi sungguh, memaafkan itu bukan perkara mudah. Memaafkan butuh perjuangan tanpa henti. Hanya mereka yang mau dan siap menerima kenyataan yang bisa memaafkan. Hanya mereka yang berpijak pada kebenaran yang mampu memaafkan.
Lantas bagaimana agar berhasil memaafkan?