Mohon tunggu...
Rosiana
Rosiana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

A reluctant learner.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Etika Komunikasi Dakwah Daring dalam Konteks Kekinian

18 April 2018   22:11 Diperbarui: 19 April 2018   19:44 4254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan teknologi komunikasi telah menggeser komunikasi dakwah yang awalnya hanya dilakukan secara langsung (konvensional) menjadi tidak langsung atau melalui daring. Hal ini terbukti dengan munculnya ustaz-ustaz di media daring seperti Ustaz Abdul Somad (UAS) yang sempat viral beberapa bulan terakhir.

Bahkan hasil sebuah penelusuran yang dilansir oleh situs detik.com menunjukkan video UAS yang diunggah pada kanal Youtube Fodamara dan Tafaqquh Online sudah ditonton sebanyak 16,255 juta view dari total 1.410 video.

Tak hanya fenomena ustaz digital saja, tetapi akun-akun dakwah juga mulai bermunculan, seperti: akun @teladanrasul di Instagram, akun @IslamQuotes di Twitter, akun @moslem.channel di Facebook, dan lain-lain.

Kemunculan dai dadakan tidak terlepas dari karakteristik media daring yang bebas dan terbuka bagi siapa saja. Jika dalam dakwah konvensional seorang pendakwah dituntut untuk kompeten dan memiliki kejelasan profil, maka lain halnya dengan media daring.

Di media daring siapa pun bisa menjadi dai atau pemimpin opini baru selama bisa menuai viral. Akibatnya siapa saja bisa berdakwah dan menjadi pemimpin opini baru. Apalagi dakwah merupakan kewajiban bagi seluruh muslim seperti firman Allah dalam QS. An Nahl ayat 125.

Tetapi di sisi lain, karakteristik media daring yang bebas juga berpotensi memunculkan dai-dai dadakan yang kurang kompeten untuk melakukan dakwah. Sehingga dakwah yang dilakukan cenderung berisi paksaan, hoaks, dan tidak mengandung data-data ilmiah.

Bahkan ccnindonesia.com telah melansir bahwa dari 200 situs yang diblokir oleh Kemenkominfo di penghujung tahun 2016 lalu, terdapat 11 situs dengan domain nama Islam yang dianggap menyebarkan provokasi berbau SARA.

Jika kemunculan dai-dai dadakan yang kurang kompeten tidak diatasi dengan baik maka akan mengakibatkan tujuan dakwah tidak tercapai dan citra Islam menjadi buruk di masyarakat.

Namun, melihat kondisi masyarakat saat ini yang begitu menjunjung tinggi kebebasan pers, sepertinya sulit untuk membendung kemunculan dai dadakan yang memiliki berbagai kepentingan.

Oleh karenanya, seluruh dai maupun umat Islam yang ingin berdakwah di media daring perlu mengikuti kaidah-kaidah berdakwah yang baik agar tujuan dakwah tercapai dan Islam tidak dipandang buruk.

Dengan demikian, pengetahuan tentang etika komunikasi dakwah daring akan dibahas dalam tulisan ini. Harapannya, dengan mengetahui etika dalam berdakwah daring bisa menumbuhkan kesadaran akan pentingnya etika dalam berdakwah dan meminimalisir perilaku dakwah yang tidak beretika.

Komunikasi Dakwah Daring

Dakwah adalah upaya yang dilakukan oleh da'i untuk menyampaikan pesan melalui media tertentu kepada mad'u guna mengajak mad'u untuk beriman kepada Allah SWT.

Jika dihubungkan dengan konteks daring, maka asumsi dakwah bisa kita batasi menjadi proses menyeru manusia dengan lisan ataupun tulisan agar beriman kepada Allah.

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Wahyu Ilaihi, 2010).

Jika dihubungkan dengan dakwah, maka yang menjadi komunikator adalah dai, komunikannya disebut dengan mad'upesannya adalah materi dakwah, dan tujuannya adalah mad'u bisa beriman kepada Allah melalui materi yang disampaikan.

Sedangkan definisi daring menurut KBBI yaitu: singkatan dari dalam jaringan, terhubung melalui internet atau istilah populernya adalah online. Sehingga komunikasi dakwah daring adalah proses penyampaian materi dakwah oleh dai kepada mad'u melalui media daring dengan tujuan agar mad'u beriman kepada Allah.

Dakwah daring dan konvensional sama-sama bertujuan untuk mengajak manusia agar beriman kepada Allah, menjalankan kebaikan, dan meninggalkan keburukan.

Bedanya, dakwah konvensional dilakukan dengan cara komunikasi langsung, sedangkan dakwah daring dilakukan dengan cara komunikasi tidak langsung (komunikasi media).

Dalam dakwah konvensional dai dan mad'u diketahui secara pasti karena bertatapan langsung. Sementara dalam dakwah daring, dai dan mad'u tidak diketahui secara pasti karena tidak bertatapan langsung.

Kondisi tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi negatif dari penggunaan media daring. Misalnya dari aspek dai,  dai di media daring cenderung menggunakan nama samaran (anonim).

Dai di media daring pun biasanya tidak diketahui bagaimana rekam jejaknya di dunia dakwah. Bahkan tak jarang dakwah yang dilakukan didasari motif lain di luar dakwah seperti untuk merebut kekuasaan dan memecah belah umat.

Sementara dari segi konten dakwah dan penyampaiannya, materi dakwah di media daring sangat bergantung pada penyaji dan bentuknya bisa sangat bebas. Jika budaya cinta kebenaran (objektivitas) dan ilmiah yang berkembang, maka konten-konten yang  yang dihasilkan memiliki data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Sebaliknya, jika budaya responsif dan memandang yang benar sesuai pendapat pribadi (subjektif) yang berkembang, maka konten-konten yang dihasilkan hanya berisi data-data yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.

Sementara dari aspek proses dialog, biasanya proses dialog yang terjadi di media daring saat ini cenderung emosional atau asal bicara karena tidak bertatapan langsung.

Akibatnya respon atau timbal balik yang muncul akan terus menerus bergulir mengikuti arus respon netizen dan suara-suara mayoritas di  media daring.

Agar konsekuensi negatif yang berpotensi muncul di media daring ini tidak terjadi, maka sebagai pendakwah tentu  kita harus menjunjung tinggi etika dakwah daring di manapun berada.

Adapun etika yang harus diperhatikan dalam berdakwah di media daring melingkupi: (1) etika profil dai daring (motif dan kompetensi dai), (2) etika materi dakwah dan bentuk penyampaiannya, dan (3) etika proses proses dialog.

Etika Islam

Dalam KBBI, etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Sehingga, etika Islam bisa didefinisikan sebagai ilmu atau standar penilaian baik dan buruk suatu perilaku berdasarkan ajaran Islam. Dalam hal ini, maka pembahasan etika spesifik pada standar mengukur baik buruknya komunikasi dakwah daring.

Standar untuk mengukur baik dan buruknya perilaku dalam Islam sebetulnya sudah dijelaskan dalam Alquran. Berikut adalah standar etika dalam Islam.

1. Bertujuan untuk menuhankan Allah

Mengesakan Allah merupakan pondasi utama dalam ajaran Islam. Hal ini ditunjukkan dengan sejarah para nabi yang senantiasa berupaya mengerahkan seluruh harta hingga tenaganya untuk mengajak umatnya agar menyembah Allah. Hanya Allah yang patut disembah karena Allah-lah pemilik kesempurnaan dan kebaikan (QS. Ar Rahman: 22-2) dan Allah-lah tempat kembalinya segala urusan (QS. Luqman: 22).

Jika kita menyembah Allah maka segala kebaikan dan keberuntungan akan didapatkan (QS. Ar Rad: 18). Sebaliknya, jika kita tidak menuhankan Allah maka segala keburukan dan kerugian akan didapatkan (QS. Al Baqarah: 165 dan QS. Al Maidah: 44-47).

2. Tidak bertentangan dengan hukum Allah

Tidak melakukan suatu perbuatan jika tidak mengetahui ilmunya (QS. Al Isra: 36). Tidak merusak nilai keseimbangan, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar Rahman: 9 yang memerintahkan manusia untuk menegakkan keadilan. Allah juga menyuruh manusia untuk menempatkan segala hal sesuai fitrahnya (hukum alam) seperti yang tertulis dalam QS. Ar Rum: 30.

3. Tidak menimbulkan kemudaratan pada semesta.

Dapat memberi rahmat bagi alam semesta (QS. Al Anbiya: 107). Tidak melakukan hal yang menimbulkan lebih banyak kemudaratan dibanding kemaslahatannya. Hal ini ditunjukkan dengan larangan Allah untuk meminum khamar karena dapat membawa mudarat seperti yang tertulis dalam QS. Al Baqarah: 219.

Allah juga melarang umat manusia untuk berbuat kerusakan seperti yang tertulis dalam QS. Al A'raf ayat 85, "...dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.."

Etika Komunikasi Dakwah Daring

Profil dai di dalam media daring dikatakan baik jika memenuhi beberapa standar berikut ini. Pertama, memiliki motif untuk menuhankan Allah, bukan motif selainnya seperti mendapatkan popularitas, mendapatkan kekuasaan, bahkan memecah belah umat. 

Kedua, memiliki kesadaran bahwa dampak dari pesan yang disampaikan di media daring berimplikasi pada kerukunan antar umat beragama dan citra Islam.

Ketiga, memiliki kesadaran bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Ash Shafaat: 22-24. Keempat, terus berupaya mempelajari ilmu pengetahuan terkait topik yang diangkat dan mengasah kemampuan komunikasi dan etika komunikasi lisan maupun.

Sementara, standar materi dakwah di media daring yang baik yaitu: (1) harus bersumber dari ajaran Islam, (2) berisi data-data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan (3) memberikan maslahat bagi kehidupan masyarakat.

Sedangkan, etika penyampaian komunikasi dakwah daring meliputi beberapa prinsip sebagai berikut. Pertama, qawlan kariman, artinya dalam menyampaikan pesan kita tidak boleh berkata kasar dan menghina mad'u (QS. Al Isra: 23). Prinsip ini juga sebenarnya sudah diatur dalam UU ITE.

Kedua, qawlan balighan, artinya perkataan yang disampaikan harus disampaikan dengan bil hikmah dan mampu menyentuh aspek pikiran dan perasaan seperti firman Allah dalam QS. An Nisa: 63.

Ketiga, qawlan maysuran, prinsip ini mengatur agar dalam berdakwah hendaknya kita menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh mad'u (QS. Al Isra: 28)

Berdakwah di media daring juga tidak luput dari proses dialog. Oleh karena itu agar proses dialog tidak membawa mudarat maka sudah sepatunya sebagai umat Islam kita harus menekankan objektivitas dalam mencari kebenaran, bukan malah debat kusir yang ingin menang atau kalah.

Kemudian pendapat yang disampaikan harus disertai dengan data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Terakhir, jika pendapat kita keliru maka sudah sepatutnya kita mengakui kekeliruan tersebut dan bersikap lapang dada dalam menerima kebenaran.

Kini dakwah tidak lagi hanya terkungkung dalam media konvensional yang hanya menjangkau segelintir orang. Tetapi dakwah mulai merambah dalam media digital yang bisa menjangkau seluruh umat manusia di muka bumi. Tercapai atau tidaknya tujuan dakwah sangatlah bergantung pada etika dakwah.

Jika kita senantiasa berpijak pada rambu-rambu etis dalam berdakwah tentu akan menciptakan kerukunan, kemaslahatan, dan kesejahteraan bagi seluruh umat. Tetapi jika dakwah yang dilakukan hanya berisi ujaran kebencian, maka bersiaplah untuk menyaksikan kehancuran yang terjadi dalam dalam kehidupan seluruh umat manusia. Oleh karenanya, kita sebagai pendakwah sudah sepatutnya bersikap santun dalam berdakwah.

***

Sumber:

https://news.detik.com/opini/d-3563958/mengenal-dakwah-digital-ustadz-abdul-somad-pekanbaru

https://m.cnnindonesia.com/teknologi/20170103101914-185-183699/kominfo-blokir-voa-islam-dan-10-situs-sara-lainnya/

Mafri, Amir. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Jakarta: Logos, 1999.

Ilaihi, Wahyu. Komunikasi Dakwah. Bandung: ROSDA, 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun