Mohon tunggu...
Rosiady Sayuti
Rosiady Sayuti Mohon Tunggu... Dosen - Ka Prodi Sosiologi Unram

Ph.D. dari The Ohio State University, USA 2008-2013, Kepala Bappeda Provinsi NTB; 2013-2015 Asisten Satu Setda Prov NTB; 2015 - 2016, Kadis Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Prov. NTB; 1 Juni 2016 - 20 Mei 2019, Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.. 10 Juni 2019 - Sekarang Kembali Menjadi Dosen di Universitas Mataram, Sejak Januari 2020 menjadi Ketua Program Studi Sosiologi Universitas Mataram

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Industrialisasi dan Mimpi Gubernur NTB

29 April 2020   04:04 Diperbarui: 29 April 2020   04:04 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PERDA tentu tidak bisa meng’halal’kan belanja diluar ketentuan yang diatur oleh peraturan diatasnya, dalam hal ini PP dan UU. Maka usul saya, Pemda NTB, harus berani mengusulkan ke Presiden untuk merubah bunyi Peraturan Pemerintah tentang belanja menggunakan APBD. 

Bahwa untuk kepentingan industrialisasi di daerah yang sangat strategis untuk mengentaskan kemiskinan, pemerintah boleh melakukan affirmative policy kepada para IKM.  Boleh membeli produk mereka tanpa melalui tender dan dengan harga yang ‘pasti’ membuat mereka untung dan karenanya akan cepat berkembang. 

Bukankah Jepang bisa menjadi negara industri superpower mengalahkan Amerika karena menerapkan affirmative policy seperti itu?  Jepang seringkali ditegur oleh WTO, karena ketahuan menerapkan dumping policy.  Artinya pemerintah membeli produk rakyatnya dengan harga jauh lebih tinggi dari pada harga ekspornya. Dengan sistem dumping itu, Jepang membantu rakyatnya untuk meningkatkan pendapatan dan sekaligus produk-produk Jepang bisa bersaing di pasar global.  Contoh yang lebih berani, kalau bicara soal ini adalah China.  Dan sekarang China sudah tumbuh ekonominya menyaingi Jepang dan bahkan Amerika. Jauh meninggalkan Indonesia yang di awal tahun 60-an kondisi ekonomi kedua negara itu hampir sama.

Jadi? Ya kalau Pak Gub mau merealisasikan mimpi tentang industrialisasinya, maka itulah yang harus dilaksanakan.  Sehingga ‘affirmative policy’ itu punya dasar hukum yang jelas. Bukan kebijakan sporadis, seperti cerita minyak goreng, yang kemudian dikritisi habis-habisan oleh para pegiat ‘pasar bebas’ seperti kita baca di media. 

Salah satu “oleh-oleh” yang  saya petik selama menjadi birokrat di Pemda hampir sebelas tahun, ya itu. Negara ini sulit berkembang karena dikungkung oleh peraturan yang dibuat sendiri. Wallahu a’lam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun