GNE sudah menanam investasi dengan membangun gedungnya. Tapi apa yang terjadi? Industri itu layu sebelum berkembang. Ketika menjadi pejabat, saya berusaha membantu. Tapi “dikalahkan” oleh aturan. Lho koq aturan?
Ide atau saran saya waktu itu meminta Dinas terkait untuk membeli produk yang dihasilkan oleh GNE, kemudian memasukkannya ke dalam paket hibah yang akan dibagikan ke kelompok-kelompok tani.
Bahasa saya mirip dengan apa yang disampaikan oleh pak Gub sekarang. Kalau pemerintah tidak mau membantu industri, apalagi yang sifatnya IKM, untuk membeli produknya, maka kita tidak akan pernah memiliki industri yang sesungguhnya produknya kita butuhkan di daerah ini.
Kita akan selamanya mengimpor produk tersebut dari luar. Dan itu artinya, petani atau produsen kita di NTB tidak akan pernah mendapatkan berkah nilai tambah.
Tapi itulah faktanya. Teman-teman kadis tidak mau ambil resiko. Membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Apalagi belinya ke satu produsen saja. Nanti terganjal istilah punya “vested interest” atau monopli.
Padahal kalau kita mau membantu mereka, para IKM itu, ya, pemerintah harus mau membeli produknya dalam skala besar. Dan berkesinambungan. Katakanlah tiga atau lima tahun. Baru mereka bisa tumbuh. Dan setelah tumbuh, barulah mereka akan mampu menghadapi persaingan pasar. Karena yang tidak mungkin dilakukan adalah menyetop produk yang sama dari luar daerah atau luar negeri.
Maka “affirmative policy” seperti judul buku pertama saya sewaktu jadi Kepala Bappeda NTB, yang harus dilaksanakan.
Artinya ada kebijakan khusus dari pemerintah yang berani untuk keluar dari pakem aturan yang ada. Seperti aturan tender misalnya. Kalau belanja di atas dua ratus juta harus melalui tender terbuka. Nah kalau tender terbuka, pastilah IKM kita akan kalah dari produk industri besar.
Untuk itu, solusinya pak Gub dan DPRD buat Perda. Perda tentang industrialisasi di NTB. Di PERDA itulah diatur hal-hal atau seluk beluk tentang bagaimana pemerintah berperan aktif dalam membantu IKM-IKM kita di NTB sehingga produk yang dihasilkan mampu menyaingi produk dari luar daerah.
Sekarang ini memang sudah ada Rumah Kemasan milik Dinas Perindustrian.
IKM-IKM bisa mendapatkan fasilitas kemasan secara murah atau gratis. Tapi ternyata itu masih belum mampu mendongkrak IKM kita. Karena kapasitasnya masih terbatas. Anggaran yang disiapkan APBD untuk itu juga sangat minim.