PERDA tentu tidak bisa meng’halal’kan belanja diluar ketentuan yang diatur oleh peraturan diatasnya, dalam hal ini PP dan UU. Maka usul saya, Pemda NTB, harus berani mengusulkan ke Presiden untuk merubah bunyi Peraturan Pemerintah tentang belanja menggunakan APBD.
Bahwa untuk kepentingan industrialisasi di daerah yang sangat strategis untuk mengentaskan kemiskinan, pemerintah boleh melakukan affirmative policy kepada para IKM. Boleh membeli produk mereka tanpa melalui tender dan dengan harga yang ‘pasti’ membuat mereka untung dan karenanya akan cepat berkembang.
Bukankah Jepang bisa menjadi negara industri superpower mengalahkan Amerika karena menerapkan affirmative policy seperti itu? Jepang seringkali ditegur oleh WTO, karena ketahuan menerapkan dumping policy. Artinya pemerintah membeli produk rakyatnya dengan harga jauh lebih tinggi dari pada harga ekspornya. Dengan sistem dumping itu, Jepang membantu rakyatnya untuk meningkatkan pendapatan dan sekaligus produk-produk Jepang bisa bersaing di pasar global. Contoh yang lebih berani, kalau bicara soal ini adalah China. Dan sekarang China sudah tumbuh ekonominya menyaingi Jepang dan bahkan Amerika. Jauh meninggalkan Indonesia yang di awal tahun 60-an kondisi ekonomi kedua negara itu hampir sama.
Jadi? Ya kalau Pak Gub mau merealisasikan mimpi tentang industrialisasinya, maka itulah yang harus dilaksanakan. Sehingga ‘affirmative policy’ itu punya dasar hukum yang jelas. Bukan kebijakan sporadis, seperti cerita minyak goreng, yang kemudian dikritisi habis-habisan oleh para pegiat ‘pasar bebas’ seperti kita baca di media.
Salah satu “oleh-oleh” yang saya petik selama menjadi birokrat di Pemda hampir sebelas tahun, ya itu. Negara ini sulit berkembang karena dikungkung oleh peraturan yang dibuat sendiri. Wallahu a’lam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H