“Abang udah tau belum berita tentang si X ini? Ternyata dia yang selingkuh tapi malah menuduh istrinya selingkuh. Ini buktinya dia malah nikah duluan dan istri barunya udah hamil duluan! Parah banget nggak sih?”
Dengan panas hati aku berkata begitu ke suami setelah baca berita tentang seorang tokoh publik yang ketika itu tengah menjadi sorotan karena perceraiannya dengan istrinya.
Pria itu menceraikan istrinya karena katanya si istri telah terbukti berselingkuh. Namun tak berapa lama kemudian pria ini menikah dengan wanita lain, yang adalah asisten pribadi sang istri!
Hujatan dan kritik pedas dari netizen yang pada umumnya adalah kaum wanita / istri memenuhi kolom komentar di berita tersebut. Membuatku juga tersulut emosi pada sosok pria yang memperlakukan istrinya dengan zalim itu.
Makanya hal itu aku mau bahas dengan suami. Namun suami hanya merespon, “Oh gitu ya..”
Aku kurang puas dengan respon yang terlalu tenang itu. Aku lanjut menjelaskan segala informasi yang aku baca di media plus asumsi pribadiku tentang ketidakpatutan perbuatan itu.
Namun lagi-lagi, masih dengan tenang, suami hanya berkata,
“Yah, berita-berita itu kan belum tentu benar. Kita kan belum dengar langsung dari pihak-pihak yang terlibat”
Aku langsung emosi mendengar jawaban itu,
“Masa sih masih diragukan bila semua media sudah berkata demikian? Kan nggak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Masa media mau ngarang-ngarang cerita? Kan mereka juga perlu menjaga integritas!”
Lalu suami menjelaskan lagi, masih dengan tenang dan tak sedikit pun terpengaruhi,
“Media berita kan juga punya kepentingan. Mungkin biar banyak yang baca. Mungkin biar dapat uang. Jadi lebih banyak mengangkat berita yang kontroversial. Kita kan nggak tau langsung ceritanya dari pihak yang terkait. Kita juga nggak ada di posisi mereka dan nggak tau apa yang jadi alasan mereka berbuat demikian. Jadi nggak boleh langsung mengambil kesimpulan dan menghakimi."
Aku terdiam dengan hati dongkol mendengar jawabannya yang sok diplomatis itu. Kesal rasanya niatku untuk bergibah terpaksa padam.
Aku sadari, aku tak tertarik untuk melakukan investigasi terkait benar tidaknya berita itu. Penting amat sih? Aku hanya sedang ingin melampiaskan hasrat bergibah.
Dan respon tenang, netral dan tidak memihak yang ditunjukkan suami menurutku nggak asik banget. Tau nggak sih respon yang aku harapkan?
Harusnya tuh dia menanggapi dengan ekspresi kaget, menatap fokus padaku dengan rasa ingin tau yang besar lalu ikutan tersulut emosi dan berkata,
"Masa sih? Ya ampun parah banget ya si pria itu!”
Lalu pembicaraan bisa berlanjut makin seru dan cerita itu bisa digoreng menjadi semakin nikmat.
Seperti biasanya bila bergibah dengan teman atau ibu-ibu tetangga. Satu topik bisa dikupas tuntas dan setiap orang akan mengeluarkan opini masing-masing yang makin lama ngobrol bisa makin liar imajinasinya.
Selama ini, walau aku bukan narasumber yang baik karena jarang punya info gosip terbaru, tapi aku suka dengerin orang bergosip. Aku dalam hati ikutan menilai orang yang sedang digosipin itu. Bila seseorang digosipin berkelakuan buruk, aku pun segera menilai buruk orang tersebut tanpa terlebih dahulu mengecek kebenarannya.
Di jaman media sosial ini juga sering kali baca berita viral tentang keburukan tokoh tertentu dan dalam hati langsung menilai buruk orang tersebut. Walau aku tak menghujat di kolom komentar namun dalam hati aku menyimpan persepsi buruk pada orang tersebut.
Setelah aku menikah, suami adalah orang yang dengannya aku paling banyak ngobrol. Jadi aku juga suka bahas gosip yang lagi viral, baik itu di kalangan tokoh publik, anggota keluarga atau di lingkungan sekitar. Tapi selalu aku mendapati respon yang kurang greget.
Awalnya aku sering protes bahwa respon nya nggak asik. Tapi lama-lama ternyata hal itu menular juga padaku. Saat ini aku menjadi lebih netral, tidak terlalu mudah percaya dan terpengaruh pada gosip atau berita tentang kejelekan orang lain yang aku baca atau dengar.
Aku mulai menyadari bahwa bergibah itu adalah tindakan yang jahat. Apalagi bila kita di belakangnya bergibah namun di depan orang nya bersikap sok ramah. Itu munafik.
Hal itu juga menurutku tidak adil. Saat kita menceritakan keburukan seseorang, hal itu akan mempengaruhi persepsi dan sikap si pendengar terhadap orang tersebut. Misalnya jadi benci dan ikut-ikutan memusuhi.
Aku pernah mengalami diperlakukan tidak baik oleh sekumpulan orang hanya karena salah satu dari genk itu mengatakan hal yang buruk tentangku. Mungkin demi rasa solidaritas, anggota genk nya yang lain pun jadi ikut memusuhiku padahal kami tak ada masalah dan mereka belum tau kebenarannya dari pihakku.
Aku juga mulai belajar untuk berempati setelah dengar podcast nya Daniel Mananta yaitu Daniel Tetangga Kamu. Bintang tamunya pada episode awal-awal adalah tokoh-tokoh yang pernah banyak dihujat netizen karena berita kontroversial kehidupan mereka.
Di podcast itu mereka cerita bagaimana mereka berjuang melewati masa-masa berat itu. Bahkan ada yang pernah berniat bunuh diri karena tak kuat menanggung cobaan berat dihujat para netizen itu.
Mengapa seseorang merasa berhak berkata kasar, memaki dan menyumpahi orang lain hanya karena dengar atau baca berita yang belum tentu juga kebenarannya?
Kita bahkan belum tau apakah seseorang itu benar-benar salah.
Atau mungkin dia memang telah berbuat salah, lalu apa hak kita menghakimi orang lain?
Mereka juga mungkin telah menyesali dan menanggung akibat dari keputusan mereka yang salah. Bahkan mungkin ada yang depresi dan ingin mengakhiri hidupnya.
Tindakan menghujat dan menghakimi itu bagi kita mungkin hal ringan tapi tidak bagi mereka yang mengalaminya.
Janganlah menghakimi orang lain kecuali kamu memang berprofesi sebagai hakim.
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1975.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H