Saat itu aku mendengar kotbah dari seorang pendeta. Kotbah ini seolah menampar-nampariku untuk tersadar dari lamunanku yang episodenya terus bersambung tak kelar-kelar itu. Kotbah itu membangunkanku dari tidur panjang dalam dunia fantasi. ,
Kotbah itu berkali-kali menekankan bahwa hidupku berharga di mata Tuhan dan aku diciptakan untuk suatu tujuan mulia di muka bumi ini. Keberhargaanku tak ditentukan oleh apapun yang terlihat di permukaan tapi dalam kehidupan batiniahku yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah.
Aku mulai melihat diriku sebagai pribadi yang berharga dan mulia seperti Tuhan melihatku dan mulai mengarahkan hidupku untuk mencapai tujuan yang memang seharusnya aku capai.
Aku tak ingin hanya sekedar bernafas, sekedar belajar, sekedar bekerja, sekedar bertahan hidup, sekedar tak berniat bunuh diri. Aku ingin hidupku maksimal.
Misalkan waktu kesadaranku adalah 100%, selama ini aku mengisinya dengan 50% hidup nyata dan 50% hidup fantasi.
Dengan cara itu, aku hanya mencapai apa yang aku capai saat ini. Mungkin hanya 50% dari potensi yang sebenarnya aku punya. Bagaimana bila aku memaksimalkan 100% waktu sadar itu dengan 100% hidup nyata untuk mencapai tujuanku? Tentu kualitas hidupku bisa jauh lebih baik lagi untuk melakukan apa yang menjadi tugasku dengan baik di dalam hidup ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H