“Nah begini kan lebih baik” kata Pak Bram begitu Minah sudah duduk di dekatnya.
“Bagaimana ...... emm kamu kerasan kerja di sini?”
“Iya pak saya kerasan kerja di sini” Minah menjawab dengan kepala menunduk untuk menutupi detak jantungnya yang berdegub-degub. Disembunyikannya dadanya agar tak terlihat gejolak hatinya yang memburu.
“Kata Tito kamu pernah menikah, benar begitu Minah?” bertanya begitu sambil tangan Pak Bram memegang tangan Minah.
“Iya memang benar pak” tangan Minah terasa bergetar.
“Kamu takut? Ndak usah takut. Aku tak akan menerkammu. Kamu tahu kenapa aku ndak ngantar ibu?”
Minah menggelengkan kepalanya.
“Badanku rasanya sakit-sakit, tolong Minah .... kamu bisa pijiti kan?” Pak Bram mengharap anggukan Minah.
“Hmm ..... tapi pak” Minah sebenarnya juga menunggu saat seperti ini, saat bisa berduaan dengan majikannya yang telah disukainya dalam hati.
Pak Bram bangkit dari duduknya, digandengnya Minah memasuki kamarnya. Setelah mengunci kamar, Pak Bram mengganti celana panjangnya dengan sarung dan kaus singlet siap dipijit. Kebetulan Minah juga ahli memijit, jadi tak heran bila Pak Bram merasakan enaknya dipijit Minah.
Pada saat Pak Bram membalikkan badan agar dipijil badan bagian depan, matanya tak lepas dari memandangi Minah. Minah hanya tersipu malu tapi tetap memijit. Sekarang Minah memijit tangat kirinya, tiba-tiba saja tangan kanan Pak Bram meraih Minah ke pelukannya. Minah tak meronta. Saat seperti inilah yang diinginkannya sebenarnya.