Mohon tunggu...
R. Elizabeth
R. Elizabeth Mohon Tunggu... Administrasi - Fans Hiburan Korea dan Jepang

Selama kita hidup, kita akan terus berpikir dan belajar. Dengan demikianlah kita menjadi manusia yang memanusiakan diri sendiri dan sesama kita.

Selanjutnya

Tutup

Film

Makna Foto Keluarga dan Pengabadian Memori dalam Film Jepang "Asadake!" (2020)

22 Juni 2021   01:53 Diperbarui: 22 Juni 2021   02:50 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Perhatian: Tulisan ini mengulas hampir seluruh bagian cerita dari film. Kesimpulan tulisan ada di paragraf terakhir.)

Film “Asadake!” (Inggris: The Asada Family!) adalah film yang disutradarai oleh Ryota Nakano dan dirilis pada tahun 2020. Film ini terinspirasi dari kisah nyata dan buku fotografi berjudul “Asadake!” yang diterbitkan oleh fotografer Masashi Asada pada tahun 2007 dan “Album no Chikara” (Kekuatan Album) oleh Akaaka pada tahun 2015. Film ini juga memenangkan kategori Film Asia Terbaik dalam Festival Film Internasional Warsaw 2020 lalu. Tidak hanya itu, pemeran protagonis Masashi Asada, yaitu Ninomiya Kazunari, salah seorang anggota grup populer Jepang ARASHI, juga dinominasikan sebagai Aktor Terbaik dalam Japan Academy Award 2020.

Asadake bercerita tentang keluarga unik bermarga Asada yang berbeda dari keluarga pada umumnya. Keluarga Asada terdiri dari ayah rumah tangga, ibu yang bekerja sebagai kepala suster, kakak lelaki pekerja kantoran, dan adik lelaki bungsu, Masashi, yang selalu bercita-cita menjadi fotografer dan behasil mewujudkan mimpinya. Alur cerita dalam film ini adalah campuran alur mundur dan maju. Pengabadian memori melalui foto keluarga adalah tema dari film ini.

Keluarga Asada benar-benar tidak seperti keluarga “normal” atau setidaknya begitulah Masashi menggambarkannya di awal film. Misalnya, suatu siang sang ayah tidak sengaja menjatuhkan pisau ke kakinya hingga terluka parah, Masashi yang buru-buru mencari kakaknya ikut terjatuh hingga dagunya berdarah, lalu sang kakak yang panik tidak hati-hati dan terjatuh dari tangga lantai dua hingga kepalanya bocor. Alhasil, dalam satu hari mereka bertiga sama-sama mendapat jahitan dan keluarga mereka berkumpul di satu rumah sakit bersama dengan sang ibu yang berprofesi suster. Keempatnya tertawa geli karena kejadian konyol ini.

Fotografi yang Memahami Subjeknya

Masashi kecil tertarik pada kamera dan memotret orang lain karena ayahnya. Ayahnya selalu memotret foto keluarga mereka, terutama Masashi dan kakaknya. Tradisi mereka yang paling berkesan adalah setiap tahun ayahnya selalu membuat Masashi dan kakaknya mengenakan baju kembaran, berdiri menempel, dan tersenyum, meski sangat malu karena itu di tempat publik, dan memotret momen itu untuk disimpan menjadi kartu tahun baru.

Pada hari ulang tahunnya yang ke-10, ayahnya menghadiahkan sebuah kamera miliknya untuk Masashi. Menurut sang kakak, Masashi adalah orang yang tidak akan menekan tombol kamera sebelum ia memahami subjek dan objek foto yang ada di hadapannya. Foto paling berkesan yang diambil oleh Masashi kecil adalah foto Wakana-chan, gadis teman kecilnya. Wakana merasa tidak ada orang di dunia ini selain Masashi yang bisa mengambil foto yang 100% memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya. Masashi kemudian serius ingin menekuni fotografi dan pergi bersekolah ke sekolah kejuruan fotografi di Osaka.

Masashi ternyata tidak menepati janjinya untuk bersekolah dengan baik. Ia kembali dengan penampilan urakan dan penuh tato. Sekolahnya juga mengadukan bahwa Masashi sering tidak masuk kelas dan itu bisa membuatnya sulit untuk lulus. Jika Masashi mau lulus, ia harus menyelesaikan satu proyek final fotografi. Tema proyek tesebut adalah foto yang akan kau potret seandainya ini adalah kesempatan terakhirmu dalam hidup untuk memotret. Yang terlintas di benak Masashi hanya satu: keluarganya. Masashi pulang dan meminta keluarganya untuk mereka ulang momen ketika mereka berempat berkumpul di rumah sakit. Masashi memakai perban di dagu, kakaknya di kepala, ayahnya di kaki, dan ibunya memakai seragam susternya. Hasilnya foto lucu yang penuh cinta keluarga itu berhasil mendapatkan penghargaan tertinggi. Masashi pun lulus.

Idealisme dalam Sebuah Foto Keluarga

Tapi setelah lulus, Masashi luntang-lantung di rumah tanpa pekerjaan dan tidak tahu subjek atau objek foto apa yang harus dipotretnya. Wakana-chan, yang entah bagaimana masih menjadi pacarnya, menegur dan menyemangatinya sebelum berangkat ke Tokyo untuk bekerja di toko busana. Masashi yang tidak semangat pergi untuk wawancara kerja yang sudah diusahakan susah payah oleh kakaknya malah pergi memancing. Ayahnya pun datang menghampirinya. Masashi bertanya apakah ayahnya sudah menjadi sosok ideal yang diinginkannya dalam hidup. Apakah ayahnya baik-baik saja dengan perannya sekarang sebagai ayah rumah tangga. Ini juga bisa menjadi pertanyaan besar bagi setiap kita, mungkin sekarang atau nanti di suatu titik dalam hidup, apakah kita memilih pilihan yang ideal untuk diri sendiri dan untuk orang yang kita sayangi? Apakah layak untuk mengorbankan keinginan atau mimpi kita demi orang lain? Kapan kita boleh mendahulukan diri kita sendiri?

Dengan tatapan penuh makna ke arah lautan yang dibayangi temaram senja, ayahnya hanya menjawab bahwa ia baik-baik saja dengan pilihannya. Ibu mereka selalu ingin menjadi suster, maka ayahnyalah yang mengerjakan urusan rumah. Selain itu, ayahnya merasa bangga bisa membesarkan Masashi dan kakaknya dengan baik. Itu sudah cukup. Masashi bertanya memangnya dulu ayahnya ingin jadi apa. Pemadam kebakaran, jawabnya. Setelah mendengar jawaban itu, Masashi kemudian seperti mendapat pencerahan mengenai apa yang ingin dia potret. Ia ingin mewujudkan mimpi-mimpi yang sudah lama tertidur dalam sanubari anggota keluarganya, seperti mimpi polos seperti anak kecil yang mereka lupakan karena harus menyerah pada kenyataan.

Masashi kemudian memulai seri pemotretan keluarga Asada. Pertama-tama Masashi mewujudkan keinginan ayahnya untuk merasakan menjadi pemadam kebakaran. Untuk hal ini, sang ibu dan Masashi mendorong kakaknya untuk membujuk temannya yang berprofesi sebagai pemadam untuk meminjamkan seragam dan mobil pemadam untuk pemotretan foto keluarga. Walau sebenarnya itu permintaan yang mustahil diminta oleh orang yang punya akal sehat yang cukup, tapi sang kakak benar-benar membungkukkan badan dan memohon pada temannya hingga temannya mengalah. Meski awalnya sang kakak tidak begitu bersedia, namun sebenarnya ia selalu ingin ayah ibunya bahagia dan ia tahu Masashi adalah orang yang paling mampu melakukan hal tersebut. Tugasnya adalah mendukung Masashi agar hal itu terjadi. Sampai akhir, sikap sang kakak yang rasional dan dewasa namun tetap melakukan segala cara agar keluarganya senang tidak pernah berubah.

Ketika ayah Masashi keluar dan terlihat gagah dalam balutan seragam pemadam kebakaran, sorot matanya dipenuhi rasa terima kasih kepada Masashi. Masashi kemudian menyetel kameranya menjadi mode potret otomatis setelah 10 detik. Ia berhasil mengambil foto keluarga Asada sebagai pemadam kebakaran. Foto itu kemudian dipajang di ruang makan keluarga. Di mata penulis, foto tersebut adalah simbol kekuatan dan kebersamaan keluarga Asada; tentang bagaimana mereka saling mendukung satu sama lain, tentang mereka yang memandang penting impian setiap anggota, sehingga sang kakak tidak malu menundukkan kepala pada temannya, tentang mereka yang senang menghabiskan waktu bersama-sama demi sebuah foto tanpa mempedulikan pandangan dunia.

Berikutnya, Masashi mewujudkan keinginan ibunya untuk mengambil foto dramatis seperti pasangan suami istri yakuza dan bawahan mereka di depan pintu rumah Jepang tradisional orang lain. Tibalah giliran sang kakak. Sang kakak agak malu untuk memberitahukan mimpinya tapi sang ibu membocorkan bahwa mimpinya ketika kecil adalah menjadi pembalap mobil. Lagi-lagi sang kakak harus membungkukkan badan dalam-dalam kali ini pada petugas arena balapan. Ia akhirnya merasakan sensasi berdiri di atas podium juara satu, merasakan sepersekian kemuliaan seorang pemenang, dan itu membuat wajahnya dihiasi senyuman.

Adegan ini cukup meninggalkan kesan mendalam di mata penulis. Apakah yang dilakukan sang kakak dan keluarganya adalah sesuatu yang konyol dan kekanak-kanakan? Atau apakah mencicipi sedikit saja kenyataan dari mimpi kita yang tidak pernah terwujud sesungguhnya dapat mengobati kekecewaan dan menyembuhkan kita? Di sini penulis menyadari mereka bukan sekadar bermain peran atau berfoto-foto ria.

Setelah berhasil mengabulkan sejenak impian keluarganya dan mengabadikannya dengan kamera, Masashi lanjut memotret keluarga Asada dengan berbagai tema. Contohnya, “Pahlawan yang Kelelahan”, “Perwakilan Jepang”, “Kampanye Pemilu”, “Band”, “Karyawan yang Mabuk Berat”, dan lainnya. Hasil fotonya dijamin mengundang tawa penonton. Foto-foto konyol tersebut semakin istimewa dan kocak karena keempat subjek fotonya adalah keluarga. Masashi percaya diri akan kualitas foto-foto keluarganya ini. Ia bertekad membawa foto-foto keluarga Asada untuk mengadu nasib ke Tokyo dan kelak menjadi fotografer sukses.

Sesampainya di Tokyo, Masashi bersimpuh memohon untuk menumpang tinggal dengan Wakana-chan yang tentu saja diizinkan asalkan suatu hari Masashi membalas budi Wakana-chan sepuluh kali lipat. Selama beberapa tahun, Masashi bekerja sebagai asisten di studio foto sambil berkeliling mencari penerbit yang bersedia menerbitkan buku foto keluarga Asada. Nihil. Ia pluhan kali ditolak. Alasannya sama, karena itu adalah foto keluarganya. Siapa yang mau lihat? Lama-kelamaan semangatnya menipis.

Masashi yang lunglai bertanya pada Wakana-chan, apakah ia harus mengganti subjek fotonya selain keluarga? Ucapannya berbuah pukulan di punggung dan ancaman pengusiran dari Wakana-chan. Ia yang paling memahami bagaimana hebatnya Masashi mengabadikan foto keluarga. Tidak lama kemudian, Wakana menyewa galeri foto agar Masashi dapat mengadakan pameran foto keluarga Asada. Di sinilah Masashi bertemu dengan kepala penerbitan yang tidak kuasa menahan tawa melihat foto-foto jepretannya.

Buku foto keluarga Asada akhirnya berhasil diterbitkan, tapi penjualannya begitu buruk. Kepala penerbitan menghibur Masashi, “Sesuatu yang bagus tetaplah bagus.” Hal tersebut benar adanya. Masashi memenangkan penghargaan bergengsi untuk karya-karya foto keluarganya hingga diwartakan koran ternama. Buku fotonya dinikmati banyak orang. Masashi juga menyertakan kontaknya apabila ada keluarga yang ingin difoto olehnya.

Foto Keluarga Siapapun Tidak Ternilai Harganya

Pelanggan pertamanya adalah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak kecil bernama Sakura. Mereka ingin berfoto memperingati masuknya Sakura ke sekolah dasar. Masashi mewujudkan foto keluarga yang indah di mana mereka bertiga berdiri di bawah pohon sakura sambil mendongak terpukau oleh hujan kelopak sakura yang diam-diam dipersiapkan oleh Masashi.

Masashi juga menerima permintaan foto sebuah keluarga yang memiliki seorang anak yang sakit keras. Anak itu sangat menyukai pelangi. Masashi meminta mereka menggambar “pelangi yang tidak akan lenyap” di baju mereka. Ketika Masashi hendak memotret keluarga yang hangat tersebut, tangannya berhenti untuk sementara waktu. Akting Ninomiya dalam adegan ini patut dipuji. Tanpa dialog atau maupun gestur, hanya melalui air mata yang menggenang di kelopak mata Masashi, penonton dapat merasakan ketidakberdayaan manusia ketika ajal akan segera memanggil orang terkasih.

Selang beberapa waktu, sebuah gempa besar dan tsunami di tahun 2011 memporakporandakan wilayah Tohoku tempat tinggal keluarga Sakura. Masashi segera bergegas ke sana hanya untuk menemukan betapa hancurnya wilayah tersebut. Rumah-rumah rata dengan tanah. Para keluarga mengungsi di gedung sekolah dan bangunan yang masih kokoh. Masashi mencari ke sana dan sini namun tidak menemukan keluarga Sakura. Di depan gedung pengungsian, Masashi melihat ada kios kecil yang dikelola seorang anak muda. Di sana digelar foto-foto keluarga dan album foto para korban gempa yang ditemukan dari antara puing-puing rumah. Foto-foto berharga yang kotor dibersihkan satu per satu oleh pemuda itu dengan harapan suatu saat pemiliknya bisa mengambilnya kembali.

Masashi tergerak untuk membantu pemuda yang bernama Ohno tersebut. Rupanya Ohno mirip dengan Masashi. Ia yang berkuliah di kota lain kembali ke wilayah itu untuk mencari sahabatnya. Ketika tidak sengaja menemukan foto-foto kenalannya dan mengembalikannya pada sang pemilik, serta melihat betapa bersyukurnya mereka, Ohno menjadi sukarelawan yang mengumpulkan dan membersihkan foto-foto lama para korban gempa. Biasanya ia memungut album foto yang sudah ditumpuk pekerja yang membereskan reruntuhan. Siapapun tidak ada yang tega membuang album foto keluarga orang lain. Dengan melakukan semua ini, mungkin Ohno dapat merasa lebih dekat dengan keberadaan sahabatnya.

Masashi kemudian memusatkan perhatian dan tenaganya untuk membantu Ohno sepenuhnya. Ia mengajari Ohno mencuci foto di menggunakan air, serta meminta Ohno membuat papan pameran lebih banyak. Orang yang membantu pun bertambah. Tiba-tiba ada seorang pria paruh baya yang membentak mereka dan menganggap bahwa mereka melakukan hal yang sia-sia. Hal ini cukup melukai Ohno. Keesokannya Ohno baru datang di sore hari. Masashi dengan lembut memberitahu Ohno bahwa hari itu ada beberapa orang yang datang dan sangat berterima kasih karena berhasil menemukan banyak foto dirinya dan keluarganya. Mendengar ini Ohno menundukkan kepalanya dan menangis.

Tim mereka diizinkan untuk menggelar pameran foto di dalam gedung sekolah. Mereka menempelkan ratusan foto di sepanjang tembok, loker sepatu, ruang kelas, dan perpustakaan supaya mudah dilihat dan ditemukan pemilkinya. Ada seorang gadis cilik yang tidak pernah berhasil menemukan foto ayahnya, meski ia menemukan fotonya, adiknya, dan ibunya. Anak itu selalu memakai jam tangan kebesaran milik ayahnya. Ketika melihat tangan Masashi yang penuh tato, ia melihatnya dengan seksama karena mirip sekali dengan tangan ayahnya yang juga bertato.

Kenangan, Sumber Kekuatan Hidup Manusia

Suatu hari pria paruh baya yang dahulu membentak mereka berdiri dengan ragu dan sungkan di luar pintu perpustakaan. Dengan raut wajah penuh kesedihan ia bercerita bahwa ia tidak berhasil menemukan foto anaknya di reruntuhan rumah mereka. Semuanya berpikir keras untuk membantu. Pria itu meniti setiap foto di dinding hingga matanya sakit, namun tidak kunjung menemukan. Masashi kemudian teringat bahwa selain foto keluarga, foto anak itu pasti ada di buku kelulusan. Pria itu akhirnya bisa melihat wajah anak perempuannya. Jemarinya menyentuh wajah anaknya yang begitu kecil di suatu halaman. Buku kelulusan itu pun dipeluknya erat dan dipinjamnya pulang. Momen haru ini dilihat oleh gadis cilik yang selalu memakai jam tangan ayahnya itu.

Gadis cilik itu begitu iri mengapa semua orang tidak bisa membantunya. Ia juga tidak mengerti mengapa foto ayahnya sama sekali tidak ada. Di samping itu, ketika ia meminta Masashi untuk memotret foto keluarga mereka, Masashi menolaknya dengan alasan tidak bisa. Menurut penulis, Masashi menolak gadis cilik itu karena ia belum memahami sepenuhnya keluarga anak itu seperti apa dan apa alasan sang Ayah tidak pernah terlihat di foto.

Masashi harus kembali ke rumahnya untuk memotret foto keluarga Asada terbaru setelah kelahiran anak kakaknya dan merayakan ulang tahun ayahnya. Tapi ayahnya jatuh sakit tepat setelah meniup lilin ulang tahun. Ada kemungkinan setengah tubuh bagian kirinya lumpuh. Masashi yang bersedih dikunjungi oleh Wakana-chan yang khawatir. Wakana-chan sudah tidak tahan lagi karena Masashi selalu seperti ini. Wakana-chan datang dengan konfrontasinya bahwa ia ingin dimasukkan ke dalam foto keluarga Asada oleh Masashi atau Masashi harus membayar seuluh kali lipat hutang-hutangnya pada Wakana selama ini sejumlah 2.000.000 Yen. Tentu saja Masashi menolak membayar uang sejumlah tersebut. Wakana-chan menangis karena senang. Menurut penulis, adegan lamaran ini begitu segar dan benar-benar menjadi ciri khas film Asadake yang  unik.

Untuk mendoakan kesehatan ayahnya, Masashi dan kakaknya pergi ke kuil. Di sana mereka mengenang bagaimana ayah mereka dahulu selalu membuat mereka berangkulan untuk foto kartu tahun baru. Di sinilah Masashi menyadari sudut pandang ayahnya. Secepat kilat ia pulang ke rumahnya untuk pamit pada ibunya, tidak jadi berdoa atau menjenguk ayahnya, ia malah memutuskan untuk segera kembali ke pengungsian gempa. Masashi segera mencari gadis cilik itu dan mengatakan bahwa ia bisa mengambil foto keluarganya.

Masashi akan mereka ulang momen terbahagia keluarga mereka, yaitu piknik musim panas tahun lalu ke pantai bersama sang ayah. Masashi meminjam jam tangan milik ayah gadis cilik itu dan memakainya. Gadis cilik itu sejujurnya amat sedih karena ayahnya sudah tiada dan ia tidak bisa tersenyum gembira ke hadapan kamera meski memakai baju renang di tepi pantai seperti tahun lalu. Tapi ketika Masashi membidikkan kameranya, mata gadis cilik itu terpaku pada tangan bertato dan berjam tangan yang melingkari kamera. Masashi yang bersembunyi di balik kamera persis dengan ayah dalam kenangannya.

Masashi paham dan kini gadis itu juga, karena ayah mereka berdua sama. Ayah mereka tidak terlihat di album foto karena merekalah yang selalu mengambil foto keluarga yang mereka cintai. Gadis cilik itu pun bisa tersenyum gembira sembari menitikkan air mata karena sekarang ia tahu betapa ayahnya menyayanginya. Setelah mewujudkan permintaan gadis cilik, Masashi akhirnya berpisah dengan Tohoku. Ketika melihat papan pengumuman, ia juga lega melihat kabar bahwa keluarga Sakura baik-baik saja. Film ini berakhir bahagia dengan sentuhan yang luar biasa tapi penulis tidak akan menceritakan detailnya.

Makna Foto Keluarga dan Pengabadian Memori

Setelah menonton film yang menghibur sekaligus mengharukan ini, penulis belajar bahwa setidaknya ada tiga hal yang membuat foto keluarga begitu spesial. Ketika kita mengabadikan memori dengan anggota keluarga, foto adalah sarana kita untuk menunjukkan betapa kita menyayangi mereka, sama seperti ayah Masashi dan ayah gadis cilik itu. Lensa kamera mewakili sudut pandang orang yang mengasihi kita bahwa kita ada di mata mereka. Begitu juga Wakana-chan yang ingin masuk ke dalam foto keluarga Asada alias menjadi istri Masashi. Foto keluarga dapat menjadi tanda cinta seseorang. Ia adalah tanda bahwa Anda tidak sendirian.

Foto keluarga ternyata juga tidak harus selalu momen nyata. Keluarga Asada menginspirasi kita bahwa kita dapat merekayasa foto dengan berbagai tema, entah itu untuk berdamai dengan harapan yang tidak sesuai kenyataan atau sekadar untuk bersenang-senang bersama. Yang terpenting adalah kebersamaannya dan bagaimana kebersamaan itu dapat diingat untuk waktu yang lama. Foto-foto keluarga itu berharga dan pantas dirawat dengan baik. Seperti Ohno yang menghargai foto-foto keluarga orang lain, manusia bisa bersimpati dengan sesamanya dan berbagi kesedihan maupun kebahagiaan melalui foto.

Terakhir, hidup manusia itu singkat. Suatu saat kita akan berpisah dan yang tersisa hanyalah kenangan. Foto keluarga merupakan sarana kita untuk terus mengingat wajah dan senyum mereka dan membantu mereka untuk terus hidup dalam kenangan kita.

Di akhir film, Masashi menyimpulkan bahwa hal yang dapat mengisi kekosongan hati orang-orang setelah merasa kehilangan hanyalah memori dan yang dapat memperjelas memori-memori tersebut adalah foto. Foto tidak hanya menyimpan kenangan, terkadang foto juga dapat menjadi sumber kekuatan bagi diri kita saat ini untuk terus melanjutkan hidup. Demikianlah hidup manusia tidak terpisahkan dari memori dan foto-foto yang mengabadikannya untuk waktu yang lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun