Mohon tunggu...
Rori Idrus
Rori Idrus Mohon Tunggu... Guru - Pemulung Hikmah

Pemulung hikmah yang berserakan untuk dipungut, dirangkai menjadi sebuah tulisan dan pelajaran kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Batasi Pergerakan Orang, Menanti Ketegasan Pusat

5 April 2020   08:51 Diperbarui: 5 April 2020   19:29 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia terus berjuang melawan pandemi Corona atau Covid-19, sejak awal munculnya kasus pertama 2 Maret sebanyak 2 kasus, hingga hari ini 4 April peningkatan jumlah kasus Covid-19 masih terus terjadi.

Sampai hari ini, Presiden dan pemerintah pusat belum bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir.

Jangankan berakhir, penyebaran Covid-19 menjadi stabil dan menurun saja sama sekali belum bisa dicapai.

Apakah penyebabnya pemerintah tidak tegas dalam membatasi pergerakan orang?

Sejauh ini Presiden Jokowi dan pemerintah pusat belum pernah mengeluarkan larangan apapun terkait pergerakan orang, hanya sebatas anjuran dan himbauan termasuk tidak mengeluarkan larangan mudik lebaran.

Himbauan dan anjuran tersebut berupa bekerja dari rumah, belajar dari rumah, penerapan social distancing atau physical distancing serta Pembatasan Sosial Berskala Besar yang mengacu pada Undang-Undang No.6 Tahun 2020 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Kemudian Sabtu (4/4/2020) Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.9 Tahun 2020 yang berisi pedoman teknis pelaksaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Apa saja bentuk pergerakan orang yang dibatasi oleh Permenkes tentang pelaksanaan PSBB?

Dihimpun dari berbagai sumber (Sabtu 4/4/2020). Berikut pergerakan orang yang dibatasi sesuai pedoman teknis pelaksanaan PSBB:
Pasal 13

(1) Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan;
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
d. pembatasan kegiatan sosial dan budaya;
e. pembatasan moda transportasi; dan
f. pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.

Sebelum peraturan menteri kesehatan tersebut diterbitkan, sebenarnya pada minggu ketiga bulan maret beberapa kepala daerah sudah menerapkan pembatasan pergerakan orang.

Misalnya Walikota Tegal yang menutup akses keluar masuk kota sejumlah 49 titik menggunakan beton seberat 2 ton, tetapi kemudian pada Kamis 2 April lalu dibongkar kembali di sejumlah titik dengan alasan lalu lintas menjadi sangat ruwet.

Kebijakan diganti dengan pemeriksaan suhu badan dan penyemprotan disinfektan, padahal terkait pemudik misalnya, Tegal adalah daerah dengan jumlah perantau sangat banyak di Jakarta.

Anies Baswedan juga sudah berkirim surat resmi ke Istana 28 Maret meminta DKI karantina wilayah, Jokowi menolak itu bukan hak Gubernur tapi karantina wilayah sepenuhnya ditangan Presiden.

Selain itu, Anies mengeluarkan kebijakan pengurangan aktivitas transportasi publik, tetapi dikritik dan ditegur oleh Jokowi dengan alasan membuat antrian panjang, Anies pun menganulir aturan tersebut.

Gubernur Papua melakukan upaya yang sama seperti kepala daerah lainnya, menutup sementara penerbangan dan pelayaran menuju Papua 26 Maret sampai 9 April tetapi sama seperti kepala daerah lainnya kebijakan itu tidak diakui pemerintah.

Sementara, Ridwan Kamil melarang warga Jawa Barat untuk mudik tetapi larangan itu tanpa produk hukum.

"Jangan mudik dulu di situasi pandemi Covid-19 ini," ujar Ridwan melalui akun Instagramnya.

Ini berarti, pusat dan daerah tidak sinergi, daerah ingin tegas membatasi pergerakan orang, sementara pusat sampai hari ini belum mengeluarkan kebijakan yang tegas.

Dampaknya, angka kasus dari hari ke hari terus bertambah, hingga hari Sabtu (4/4/2020) tercatat kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah mencapai angka 2.092 kasus.

Laporan juru bicara pemerintah untuk percepatan penanganan Covid-19 Achmad Yurianto Sabtu 4 April, penambahan kasus per hari rata-rata lebih dari 100 orang sejak 23 Maret, ini terjadi akibat masih adanya pergerakan Orang Tanpa Gejala (OTG).

Yuri menambahkan, "Sebaran kasus sekarang muncul akibat pergerakan OTG dari kota-kota pusat penyebaran Covid-19 ke kota-kota di sekitarnya, ke keluarganya, ke rumah saudaranya."

Lima hari sebelumnya atau Senin 30 Maret, mengutip pernyataan Presiden Jokowi melalui twitter @Jokowi jam 15.29 WIB.
"Delapan hari terakhir, ada 876 bus antar provinsi yang membawa 14.000-an penumpang dari Jabodetabek ke provinsi lain di Jawa. Belum termasuk yang menggunakan kereta api, kapal, pesawat dan mobil pribadi. Mobilitas orang sebesar itu sangat beresiko memperluas penyebaran Covid-19."

Kalau kita kaji dua pernyataan pemerintah diatas, maka ada korelasi sebab akibat antara pernyataan Presiden Jokowi dengan Achmad Yurianto (Juru Bicara Pemerintah Untuk Percepatan Penanganan Covid-19).

Sebab terjadinya pergerakan orang antar provinsi sebanyak 14.000-an, berakibat pada peningkatan jumlah sejak 23 Maret rata-rata kenaikan lebih dari 100 kasus karena masih adanya pergerakan Orang Tanpa Gejala (OTG) dari kota-kota pusat penyebaran Covid-19 ke kota-kota di sekitarnya, ke keluarganya, ke rumah saudaranya."

Selain itu, juga muncul sebaran kasus akibat pergerakan OTG dari kota-kota pusat penyebaran Covid-19 ke kota-kota di sekitarnya, ke keluarganya, ke rumah saudaranya."

Ini berarti menjadi indikasi bahwa gelombang mudik lebih awal sudah mulai berdampak pada sebaran kasus dari kota pusat penyebaran Covid-19 yaitu Jakarta ke kota-kota di sekitarnya, ke keluarganya dan ke rumah saudara para pemudik.

14.000-an orang bergerak dari Jabodetabek sudah berdampak sebaran kasus meluas, padahal masih ada hampir 3 juta perantau yang masih bertahan di Ibukota dan belum dilarang mudik.

Laju interaksi antar manusia masih tinggi, kebijakan pusat tidak tegas, tingkat kedisiplinan masyarakat Indonesia rendah, kapan pandemi berhenti?

Akankah kejadian di China, pasca perayaan Imlek lonjakan kasus terjadi hampir ke seantero China, juga terjadi di Indonesia?

Pasca perayaan lebaran, lonjakan kasus terjadi dan menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia?

Untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19 tidak meluas ke daerah, pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan tegas, apapun resikonya, termasuk resiko runtuhnya ekonomi.

Runtuhnya ekonomi, suatu saat anak Bangsa lainnya bisa membangun kembali, tetapi hilangnya ratusan, ribuan bahkan jutaan nyawa anak Bangsa, tidak pernah dapat dikembalikan lagi.

Rori Idrus
KBC-57 Brebes Jawa Tengah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun