Mangga Dua Square Pukul 12 siang. Aku ada di barisan entah yang ke berapa. Mengular naga, sebagian besar kepanasan. Tak ada jejalan. Tak ada percakapan. Seperti zombie berjalan, pelan. Tak ingin saling berdekatan.
Lift sengaja tak berfungsi, jalan menuju LRT bergerak bagai semut. Tidak seperti biasa, saling berjejal mendahuli. Tak ada yang ingin bersentuhan. Aku juga.
Anak tangga ke 4 tempatku berdiri, sebelah kananku adalah jalan panjang dengan pagar besi berdiri tak bisa dilewati.
Hari terakhir sebelum.semua akses tertutup. Warung-warung di pinggir jalan lenyap. Ojol laju hilir mudik, tak seperti biasa mangkal di ujung perempatan.
Manusia banyak tapi sepi dari percapakan. Tak ada saling bertegur sapa. Hampi semua aku kenal. Teman satu ruang, etalase pakaian jadi. Lantai 3.
Di depanku ibu muda, tas besar diangkat setengah diseret. Bahan makanan kebutuhan bulanan mungkin. Ada di depanku. Sebentar-sebentar menoleh ke belakang. Siapa tau ada penguntit barang bawaan. Aku hanya diam. Pura-pura tak memperhatikan.
Jarak satu tangga adalah jarak aman. Tak ada penularan, begitu pikirku dalam hati. Kalau bisa sampai ke rumah aku tak akan bersentuhan dengan siapa pun. Orang lain mungkin akan berpikiran sama. Pulang selamat sampai di rumah tak membawa apa-apa. Apalagi virus corona. Amit-amit.
Satu jam berlalu, hanya dua anak tangga mampu kunaiki. Pergeseran lambat. Ibu tadi juga dua anak tangga dinaiki.
Satu setengah jam berikutnya, ibu sampai di lantai 2. Aku masih di anak tangga terkahir. Kebelet pipis sejak tadi aku tahan. Jika aku pergi ke toilet, pasti akan lepas dari antrian. Tak mungkin akan tiba sampai di rumah.
Tiba-tiba, ibu yang aku perhatikan tadi terjatuh. Mulanya kukira sengaja meletakkan barang bawaan, kelelahan berdiri sengaja duduk menjatuhkan diri. Kepalanya terkulai, pingsan!
Siapa yang akan menolong. Orang-orang hanya menatap bengong. Ingin bersentuhan? Jangan-jangam terjangkit virus corona. Bagaimana ini?
Tak ada satpam, tak ada petugas kesehatan. Ingin melakukan pertolongan? Jangan-jangan jadi korban.
Dalam kelalutan pikiran, menolong atau meninggalkan. Tiba-tiba aku teringat kontak darurat. Iya, telpon 119? Cepat-cepat kuambil gawai dari dalam tas sanggul.
"Nomor yang anda tuju sedang sibuk."
"Nomor yang anda tuju sedang sibuk."
"Nomor yang anda tuju sedang sibuk."
Sudah tiga kali, tak ada sahutan sama sekali. Bagaimana ini? Memegang dan melakukan pertolongan? Aku harus melakukan apa? Jika pingsan biasa pasti dengan minyak angin atau minyak kayu putih mampu menyadarkannya.
Magaimana menyentuhnya. Padahal lewat pernapasan dan mulutlah virus corona menyebar.
Ibu tersebut tak bergerak. Orang-orang juga tak ada yang merespon. Hampir semua seolah-olah tak tahu apa yang terjadi. Hanya aku prang terdekat dengan tubuhnya. Aku juga tak bosa bernuat banyak. Bagiamana ini? Bagaimana ini? Batinku berkata berkali-kali. Menolong atau membiarkanya sendiri.
Akhirnya dalam keadaan setengah sadar, tiba-tiba tubuhku membungkuk mendekati. Mengoleskan minyak angin ke hidungnya. Dan berhasil ibu itu tersadar lagi. Pelan-pelan membuka mata. Menatap seolah tak percaya. Kebingunan sedang ada di mana. Tak bersuara. Aku juga.
Apakah individualisme begitu besar hingga keselamatan diri lebih utama? Pertanyaan itu kemudian berkali-kali ada di dalam dada. Apakah hanya karena virus corona kemanusiaan hilang entah kemana. Ketakutankah?
Nyatanya aku mampu berdiri dan antri seperti biasa.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H