Mohon tunggu...
NoVote
NoVote Mohon Tunggu... Guru - Mohon maaf jika tak bisa vote balik dan komen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Terimakasih

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lost Sense

17 Maret 2020   01:41 Diperbarui: 17 Maret 2020   09:31 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tara Nel Feeling Lost or Stuck - Tara Nel - Counsellor

Mangga Dua Square Pukul 12 siang. Aku ada di barisan entah yang ke berapa. Mengular naga, sebagian besar kepanasan. Tak ada jejalan. Tak ada percakapan. Seperti zombie berjalan, pelan. Tak ingin saling berdekatan.

Lift sengaja tak berfungsi, jalan menuju LRT bergerak bagai semut. Tidak seperti biasa, saling berjejal mendahuli. Tak ada yang ingin bersentuhan. Aku juga.

Anak tangga ke 4 tempatku berdiri, sebelah kananku adalah jalan panjang dengan pagar besi berdiri tak bisa dilewati.

Hari terakhir sebelum.semua akses tertutup. Warung-warung di pinggir jalan lenyap. Ojol laju hilir mudik, tak seperti biasa mangkal di ujung perempatan.

Manusia banyak tapi sepi dari percapakan. Tak ada saling bertegur sapa. Hampi semua aku kenal. Teman satu ruang, etalase pakaian jadi. Lantai 3.

Di depanku ibu muda, tas besar diangkat setengah diseret. Bahan makanan kebutuhan bulanan mungkin. Ada di depanku. Sebentar-sebentar menoleh ke belakang. Siapa tau ada penguntit barang bawaan. Aku hanya diam. Pura-pura tak memperhatikan.

Jarak satu tangga adalah jarak aman. Tak ada penularan, begitu pikirku dalam hati. Kalau bisa sampai ke rumah aku tak akan bersentuhan dengan siapa pun. Orang lain mungkin akan berpikiran sama. Pulang selamat sampai di rumah tak membawa apa-apa. Apalagi virus corona. Amit-amit.

Satu jam berlalu, hanya dua anak tangga mampu kunaiki. Pergeseran lambat. Ibu tadi juga dua anak tangga dinaiki.

Satu setengah jam berikutnya, ibu sampai di lantai 2. Aku masih di anak tangga terkahir. Kebelet pipis sejak tadi aku tahan. Jika aku pergi ke toilet, pasti akan lepas dari antrian. Tak mungkin akan tiba sampai di rumah.

Tiba-tiba, ibu yang aku perhatikan tadi terjatuh. Mulanya kukira sengaja meletakkan barang bawaan, kelelahan berdiri sengaja duduk menjatuhkan diri. Kepalanya terkulai, pingsan!

Siapa yang akan menolong. Orang-orang hanya menatap bengong. Ingin bersentuhan? Jangan-jangam terjangkit virus corona. Bagaimana ini?

Tak ada satpam, tak ada petugas kesehatan. Ingin melakukan pertolongan? Jangan-jangan jadi korban.

Dalam kelalutan pikiran, menolong atau meninggalkan. Tiba-tiba aku teringat kontak darurat. Iya, telpon 119? Cepat-cepat kuambil gawai dari dalam tas sanggul.

"Nomor yang anda tuju sedang sibuk."

"Nomor yang anda tuju sedang sibuk."

"Nomor yang anda tuju sedang sibuk."

Sudah tiga kali, tak ada sahutan sama sekali. Bagaimana ini? Memegang dan melakukan pertolongan? Aku harus melakukan apa? Jika pingsan biasa pasti dengan minyak angin atau minyak kayu putih mampu menyadarkannya.

Magaimana menyentuhnya. Padahal lewat pernapasan dan mulutlah virus corona menyebar.

Ibu tersebut tak bergerak. Orang-orang juga tak ada yang merespon. Hampir semua seolah-olah tak tahu apa yang terjadi. Hanya aku prang terdekat dengan tubuhnya. Aku juga tak bosa bernuat banyak. Bagiamana ini? Bagaimana ini? Batinku berkata berkali-kali. Menolong atau membiarkanya sendiri.

Akhirnya dalam keadaan setengah sadar, tiba-tiba tubuhku membungkuk mendekati. Mengoleskan minyak angin ke hidungnya. Dan berhasil ibu itu tersadar lagi. Pelan-pelan membuka mata. Menatap seolah tak percaya. Kebingunan sedang ada di mana. Tak bersuara. Aku juga.

Apakah individualisme begitu besar hingga keselamatan diri lebih utama? Pertanyaan itu kemudian berkali-kali ada di dalam dada. Apakah hanya karena virus corona kemanusiaan hilang entah kemana. Ketakutankah?

Nyatanya aku mampu berdiri dan antri seperti biasa.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun