"Benar, Pak. Nanti jika sudah laku akan kami setor."
"Sebangsa kalian memang begitu. Janji hanya tinggal janji tak pernah ditepati. Pokoknya bila tak ada lima ratus ribu, rakit batang ini biarkan saja di sini."
Dian dan Timan saling berpandangan. Lama mereka berpandangan. Entah bahasa apa yang mereka gunakan. Entah kode rahasia apa yang sedang dipermainkan.
Tiba-tiba saja Timan dengan parang yang terselip di pinggang mengayun ke leher pemancing. Pemancing terging bersimbah darah. Bergerak-gerak sebentar. Kemudian diam.
Dian tahu harus berbuat apa. Mayat itu kemudian dibungkusnya dengan kain sarungnya. Mereka pikul berdua ke arah hutan. Kebetulan tak jauh dari sana ada rawa dengan hutan yang masih lebat.
Tak ada suara. Masing-masing diam dengan hayalannya. Menerawang entah kemana. Mayat kemudian dipendam dalam lumpur rawa.
"Biar dimakan cacing dan lintah. Dasar lintah penghisap darah."
Keduanya mengumpat sambil meludah. Kemudian meninggalkan hutan dan melanjutkan perjalanan.
(Selesai)
Catatan : cerita ini sering diceritakan kembali oleh orang desa apabila melihat ada orang yang begitu arogan dengan kedudukan. Apalagi semena-mena terhadap rakyat jelata. Siapakah Dian dan Timan sesungguhnya tak ada yang tahu. Siapakah pemancing itu. Juga tidak ada yang tahu.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H