Hujan deras, kadang petir sambar menyambar. Di tengah sungai, melarung batang (kayu gelondongan dipotong diikat menjadi rakit). Dua saudara, Dian dan Timan berada di atas batang dalam gigil kedinginan. Siang hari.
"Bagaimana ini, Bang," tanya Timan
"Lanjut saja. Jika kita singgah. Peluangnya kecil," sahut Dian.
"Gila banget. Enakan Dia. Datang setor."
"Kita berhujan, berpanas, benyamuk."
"Iya, duduk manis dapat 100 ribu. Gila memang."
Dua orang perambah hutan sejati. Turun temurun dari leluhurnya. Tak sempat mengenyam sekolah.
Mereka lebih khawatir akan 100 ribu daripada sambaran petir. Upeti menanti harus dibayar diujung kampung.
Perkiraan larung batang akan sampai di kampun lepas tengah malam. Uang 100 ribu selamat. Kalau telat, melayang 100 wajib disetorkan.
Dan benar saja. Ada pohon besar tumbang di hadapan mereka. Menghalangi rakit batang.
"Gimana!?"
"Ambil cinsaw. Yang mini saja. Sini aku yang terjun. Kamu urus talinya. Tambatkan sebelum sampa di sana."
Dian berenang, cinsaw di tangan. "Bangakan saja bagaimana berengan sementara kedua tangan memegangi cinsaw. Dia enak-enakan tingga minta setoran." gerutu Timan yang tak lama kemudian bercebur membawa tambang rakit batang ke tepian.
Hampir 3 jam baru batang penghalang sungai tersingkirkan.
"Gimana? Terus apa bermalam di sini?"
"Sepertinya tak sempat lagi."
"Gimana kalau sekali ini kita lawan?"
"Jangan akh. Panjang urusannya nanti."
"Masak harus nginap lagi sih di sini."
Dian mengambil dan menyulut rokok. Setelahnya bungkusan rokok diberikan ke Timan. Mereka benar-benar akrab. Sejak kecil memang selalu bersama.
Sebelum bisa ikut bapaknya ke hutan, Dian dan Timan memang kerjanya mancing ke rawa-rawa. Dan selalu berdua. Maklum rawa di daerahnya memang masih rawan. Banyak ular besar. Sering orang-orang menemukannya.
Semalaman telah dilalui. Pagi hari mereka berangkat lagi. Perkiraan akan sampai di perkampungan menjelang maghrib. Biasanya yang jaga tidak ada. Mungkin salat maghrib, mungkin juga sedang makan.
"Sudah salat tapi tetap malak!" Umpatan teman-teman Dian sesama perambah hutan.
---
Dopeganginya uang 100 ribuan. Basah, lecek bekas terselip dalam saku celana Dian. Entah berapa kali uang itu ikut berendam. Kering, basah, hingga kering lagi. Berhari-hari dalam hutan.
Di dalam hutan memang tak butuh uang. Yang mereka butuhkan hanya beras dan garam. Ikan bisa dicari sambil menanti malam. Tak bakalan kelaparan.
Namun bagi Dian, uang 100 ribu cukup berharga. Cukup untuk jajan anaknya yang masih kelas 4 SD dua puluh hari.
"Bang!"
Tiba-tiba ada suara memanggil dari pinggir sungai. Â Seorang pemancing. Dian dan Timan telah mengenalnya.
Bergegas Dian mencebur ke sungai menenteng tali tambang untuk ditambatkan.
Dengan napas tesengal Diman menghampiri sang pemancing.
"Rokonya mana!" kata sang pemancing.
"Maaf, Pak. Ini baru tarikan pertama setelah 6 bulan kami libur. Utang dulu boleh?" Diman memelas.
"Nanti urusan Nanti. Sekarang dulu yang penting."
"Benar, Pak. Saya kebetulan gak bawa uang. Nanti ya. Maaf."
"Kalau begitu nanti datang ke kantor ya!"
"Jangan Pak. Maaf. Kasihani saya. Ini benar-benar sedang tak bawa uang."
Melihat gelagat tidak mengenakkan. Timan kemudian mencebur dan menghampiri. Diman hanya diam. Menatap tajam ke arah pemancing.
Sementara pemancing dengan ponggahnya memaksa mereka.
"Lima ratus ribu saja. Masak rakit batang sepanjang ini tak ada harganya!"
"Kan Bapak sudah tahu. Kami hanya pekerja. Tugas kami hanya menebang dan menyetorkan. Ada bosnya di sana."
"Iya aku kenal bosnya. Aku juga mengenal kalian."
Bagaimana tak saling kenal! Mereka satu desa. Hidup berdampingan. Hanya terpisah beberapa RT saja. Tapi bagaimana bisa berbuat kejam begitu?
"Terus bagaimana ini?" tanya pemancing.
"Benar, Pak. Nanti jika sudah laku akan kami setor."
"Sebangsa kalian memang begitu. Janji hanya tinggal janji tak pernah ditepati. Pokoknya bila tak ada lima ratus ribu, rakit batang ini biarkan saja di sini."
Dian dan Timan saling berpandangan. Lama mereka berpandangan. Entah bahasa apa yang mereka gunakan. Entah kode rahasia apa yang sedang dipermainkan.
Tiba-tiba saja Timan dengan parang yang terselip di pinggang mengayun ke leher pemancing. Pemancing terging bersimbah darah. Bergerak-gerak sebentar. Kemudian diam.
Dian tahu harus berbuat apa. Mayat itu kemudian dibungkusnya dengan kain sarungnya. Mereka pikul berdua ke arah hutan. Kebetulan tak jauh dari sana ada rawa dengan hutan yang masih lebat.
Tak ada suara. Masing-masing diam dengan hayalannya. Menerawang entah kemana. Mayat kemudian dipendam dalam lumpur rawa.
"Biar dimakan cacing dan lintah. Dasar lintah penghisap darah."
Keduanya mengumpat sambil meludah. Kemudian meninggalkan hutan dan melanjutkan perjalanan.
(Selesai)
Catatan : cerita ini sering diceritakan kembali oleh orang desa apabila melihat ada orang yang begitu arogan dengan kedudukan. Apalagi semena-mena terhadap rakyat jelata. Siapakah Dian dan Timan sesungguhnya tak ada yang tahu. Siapakah pemancing itu. Juga tidak ada yang tahu.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H