Beberapa bulan lalu saya pernah berkunjung ke Jakarta, karena urusan pekerjaan. Menetap beberapa pekan. Di sekitaran Mangga Dua.
Pada suatu kesempatan libur, dengan niat berbelanja minyak harum ke Mangga Dua. Sepulang dari belanja, di pinggir jalan menuju penginapan seorang ibu setengah tua, rambut hampir semua putih, lusuh. Keringatnya mengucur, padahal tak terlihat tanda-tanda telah selesai berjalan jauh. Entah karena pandangan saya atau apa, sepertinya ibu itu terlihat sedang pucat.
Ibu tersebut menghentikan langkah saya yang kebetulan melintas di depannya. Di depan mini market ibu itu duduk. Melambai ke arah saya. Saya tak khawatir, tak mungkin ibu itu berbuat jahat. Sekiranya pun jahat, pasti saya lebih kuat untuk melawan.
Saya berhenti mendekati. "Nak, tolong." Lirih suaranya. Saya membungkuk. Menanti apa yang akan diucapkannya. "Saya kehausan. Mau minum," katanya. Saya kebingungan. Benar-benar tak terpikir kalau di dalam market ada org jual minuman.
Saya hanya membungkuk sambil berpikir, apa yang harus saya lakukan. Lama ibu itu menatap saya. Kami saling tatap. Saya amati dari kaki hingga kepala. Orang gilakah ini? Pikir saya. Dasar saya paling yang gila. Jelas-jelas orang sedang kehausan dikira gila.
"Mau beli minum, tak punya uang." katanya membuyarkan kebingungan saya.
Maka segera saya rogoh saku. Kebetulan ada uang 10 ribuan. Uang itulah yang saya berikan. Perempuan setengah tua itu, tak mengucapkan terimakasih. Tersenyum tanda senang pun tidak. Saya tersenyum kemudian berlalu.
Sambil menjauh saya perhatikan gerak gerik ibu itu. Benar! Setengah tertatih, ibu itu berdiri berpegangan ke daun pintu masuk ke dalam market. Dan kemudian ke luar lagi membawa sebotol air mineral. Meminumnya, dan lama botol minuman itu ada di mulutnya. Saya berpikir, berarti ibu itu benar-benar kehausan.
Timbul penyesalahan yang sangat dalam, alangkah bodohnya diriku. Mengapa tidak dari tadi saja saya yang masuk ke mini market dan membelikan minuman manis serta beberapa bungkus roti untuk pengganjal perutnya. Harusnya 20 ribu atau 50 ribu, siapa tau bisa buat beli nasi atau bekal pulang.
Rasa kehausan dan kelaparan memang sungguh tidak nyaman. Saya sering mengalami kehausan dan kelaparan. Bukan karena kemiskinan atau tak ada makan dan minuman. Namun, ketika itu sedang berada di tengah sawah. Maklum hobi saya adalah mancing ikan di sawah.
Tiba-tiba saja merasa gemetar dan lemas. Keringat dingin mengucur deras. Pandangan berkunang-kunang. Suatu ketika pernah tergeletak di pondok di tengah sawah. Tak kuat pulang. Padahal kendaraan ada di dekat badan.
Beruntunglah saat itu ada kenalan yang juga sedang mancing. Akhirnya saya meminta minum padanya. Dan menceritakan kalau sedang kehausan dan kelaparan. Sebotol kecil air mineral dan sebungkus roti diberikan untuk saya minum dan makan. Beberapa saat pun akhirnya saya bisa pulang.
Saya hanya membayangkan, bagaimana nasibnya ibu setengah tua tadi jika tak ada yang memberinan derma padanya. Kebetulan saja ada yang lewat di depannya. Kemudian meminta minum dan diberikan. Bagaimana jika semua orang yang lalu lalang berpikiran, ibu setengah tua tadi hanya bersandiwara?
Kalau saja yang lewat itu menganggap bahwa itu hanya akal-akalan pengemis untuk memperdaya orang lain agar memberikan derma. Mekang tak sedikit pengemis yang sangat kreatif memperdaya para calon penderma. Hingga rasa kasihan dijadikan alasan untuk memaksa memberikan sedekah.
Seperti dirilis laman tribunnews, Â yang akhir tahun lalu sempat menjadi viral di media, ketika seorang kakek yang berusia 65 tahun dan berprofesi sebagai pengemis kedapatan membawa uang senilai 194 juta rupiah ketika tertangkap petugas sedang mengemis.
Sang kakek yang diketahui bernama M kemudian dibawa ke Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 1 yang berada di daerah Kedoya, Jakarta Barat. (30/11/2019)
Alasan si kakek kembali mengemis di Jakarta adalah untuk modal membangun rumah di kampungnya dan juga membeli mobil. Kakek M bahkan memasang target 200 juta untuk hasil mengemisnya. Pengemis punya target akan beli rumah dan mobil? Sungguh mengiris kemarahan.
Hingga akhirnya Bersadarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, pada pasal 40 huruf c disebutkan setiap orang atau badan dilarang memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Bagi yang melanggar pasal tersebut dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta.
Kita tak bisa menyalahkan juga ketika Perda tentang larangan ngemis bagi pengemis di tempar umum. Kalau mengemis jadi lapangan pekerjaan memang memalukan. Namun ketika meminta adalah sebuah keterpaksaan, bagaimana?
Demikian juga hingga fatwa haram bagi orang yang ngemis terpaksa dikeluarkan. Salah satunya adalah antisipasi agar ngemis tak lagi menjadi profesi. Dengan memanfaatkan empati orang lain untuk memberi.
Seperti dirilis liputan6.com, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumenep, Madura, Jawa Timur, mengeluarkan fatwa haram mengemis. Tindakan meminta-minta itu dinilai sebagai hal yang dilarang agama karena dapat merendahkan pribadi seseorang. Fatwa ini pun didukung MUI Pusat. "Tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah. Dalam pengertian, Islam tidak menyenangi orang yang meminta-minta," kata Ketua MUI Pusat, Umar Shihab, di Jakarta, Selasa (25/8)
Demikian juga seperti dirilis laman cnnindonesia.com, pengemis Profesional di Dubai Bisa Raup Rp982 Juta Per Bulan. Karena Dubai negara kaya, pengemis di negara ini justru bisa menghasilkan uang yang banyak hanya dengan meminta-minta 'uang receh.' Bahkan mengemis di Dubai dianggap sangat menguntungkan sehingga banyak orang datang ke Dubai dengan legal dan visa perjalanan tiga bulan, sisanya mereka bisa mengisi kantong dari jalanan. (12/1/2018)
Fatwa mengemis haram dan Perda larangan ngemis merupakan salah satu cara menangkal maraknya pengemis yang mejadikan ngemis sebagai profesi juga.
Saya kemudian berpikir. Ibu setengah tua tadi termasuk dalam kategori mengemis dengan terpaksa atau sebagai profesi? Yang jelas ketika kondisi memaksa meminta bantuan orang lain berupa uang maka hal tersebut dianggap memalukan.
Lantas, empati pada kemiskinan orang lain berada di mana? Ketika si miskin tak meminta, adakah orang yang berpunya atau orang kaya menaruh rasa belas kasihan dan memberi derma?
Ketika yang kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin seharusnya nalar empati dan berbagi menjadi budaya tersendiri. Kalau bisa sebelum diminta oleh si miskin, di kaya telah memberikannya.
Kondisi nyata di masyarakat kita menunjukkan semakin terkikisnya rasa empati pada si kaya. Kita juga tak boleh menyalahkan mereka. Hak individu masing-masing orang untuk mau berbagi atau tidak. Tak ada paksaan pada mereka.
Apalagi mendekati ramadan, biasanya para pengemis menyerbu ibukota dan kota-kota besar untuk mengemis. Bagaimana antisipasi pemerintah dan warga sehingga pengemis yang menjadikan ngemis sebagai profesi tak lagi menjanjikan. Sehingga kita benar-benar akan menemukan orang yang meminta memang karena terpaksa.
Bagaimana pun, tangan di atas pasti lebih baik dari tangan di bawah. Memberi lebih baik dari meminta. Sekecil apa pun bentuknya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H