Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Pengemis Zaman Now, Terpaksa atau Profesi?

9 Maret 2020   13:37 Diperbarui: 9 Maret 2020   13:52 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. CNN Indonesia | Pengemis Profesional di Dubai Bisa Raup Rp982 Juta Per Bulan

Fatwa mengemis haram dan Perda larangan ngemis merupakan salah satu cara menangkal maraknya pengemis yang mejadikan ngemis sebagai profesi juga.

Saya kemudian berpikir. Ibu setengah tua tadi termasuk dalam kategori mengemis dengan terpaksa atau sebagai profesi? Yang jelas ketika kondisi memaksa meminta bantuan orang lain berupa uang maka hal tersebut dianggap memalukan.

Lantas, empati pada kemiskinan orang lain berada di mana? Ketika si miskin tak meminta, adakah orang yang berpunya atau orang kaya menaruh rasa belas kasihan dan memberi derma?

Ketika yang kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin seharusnya nalar empati dan berbagi menjadi budaya tersendiri. Kalau bisa sebelum diminta oleh si miskin, di kaya telah memberikannya.

Kondisi nyata di masyarakat kita menunjukkan semakin terkikisnya rasa empati pada si kaya. Kita juga tak boleh menyalahkan mereka. Hak individu masing-masing orang untuk mau berbagi atau tidak. Tak ada paksaan pada mereka.

Apalagi mendekati ramadan, biasanya para pengemis menyerbu ibukota dan kota-kota besar untuk mengemis. Bagaimana antisipasi pemerintah dan warga sehingga pengemis yang menjadikan ngemis sebagai profesi tak lagi menjanjikan. Sehingga kita benar-benar akan menemukan orang yang meminta memang karena terpaksa.

Bagaimana pun, tangan di atas pasti lebih baik dari tangan di bawah. Memberi lebih baik dari meminta. Sekecil apa pun bentuknya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun